Senin, 05 Januari 2009

MELAYANI DENGAN CAKAP

I. PENGANTAR

Tulisan ini merupakan pengembangan dari kertas kerja pada perkuliahan Teologi Kepemimpinan Gereja. Pertanyaan pokok dalam pengembangan kertas kerja tersebut ialah: “Bagaimana menjadi imam/pewarta dan pemimpin umat: di Indonesia, di tahun-tahun 2000-an; dalam Gereja Yesus Kristus di dunia …; bagi Injil Yesus Kristus?” Secara singkat, jawaban kami atas pertanyaan itu ialah: “Dalam konteks dunia yang berubah cepat sekarang ini, seorang pemimpin jemaat tertahbis melayani umat dengan segala kecakapannya, terutama kecakapan spiritual, kecakapan intelektual, dan kecakapan pastoral, sehingga pewartaan Injil Yesus Kristus mewujud-nyata di dalam kehidupannya sendiri, jemaat dan masyarakat.” 
 
II. KECAKAPAN PEMIMPIN JEMAAT TERTAHBIS DALAM DUNIA YANG BERUBAH CEPAT SEKARANG INI

“Dunia terus berlari, tanpa meninggalkan citra dan ‘jejak-jejak ketuhanan’ di belakangnya,” demikian tulis Yasraf Amir Piliang dalam bukunya Dunia yang Berlari: Mencari “Tuhan-tuhan” Digital. Ungkapan ‘dunia yang berlari’ sebelumnya pernah dipakai oleh Anthony Giddens sebagai judul bukunya: The Runaway World. Dengan ungkapan ini Giddens hendak melukiskan bahwa kecepatan pertumbuhan dunia itu tidak sejalan dengan “pertumbuhan” manusianya. Piliang menggunakan ungkapan ini hampir sama pengertiannya dengan Giddens. Bagi Piliang, ungkapan ‘dunia yang berlari’ merupakan metafora yang mengungkapkan perkembangan dunia yang sedemikian cepat, karena arus perubahan yang hipercepat. Lebih lanjut Piliang menuliskan:

“Arus perubahan hipercepat ... telah mengurung masyarakat global di dalam sebuah dunia yang tidak pernah berhenti berlari; tidak pernah menurunkan tempo produksinya; tidak pernah mengurangi kecepatan inovasinya; tidak pernah mengurangi tempo konsumsinya; tidak pernah mengurangi kecepatan informasinya; tidak pernah mengurangi kecepatan pergantian produk, gaya dan gaya hidupnya; tidak pernah beristirahat sejenak; tidak pernah merenung dan refleksi diri, yang di dalamnya manusia harus menyesuaikan dirinya dengan arus kecepatan dunia tersebut; yang di dalamnya tidak ada lagi waktu untuk ‘mengingat’ nama Tuhan.” 

Pemimpin jemaat tertahbis (selanjutnya ditulis PJT) sekarang ini hidup dan berkarya dalam konteks dunia sebagaimana digambarkan Piliang di atas. Ketika melayani umat, PJT menghadapi tantangan-tantangan baru yang tidak ringan. Agar pesan Injil Yesus Kristus sungguh sampai dan mewujud-nyata di dalam kehidupannya sendiri, jemaat dan masyarakat, maka PJT mesti melayani umat dengan segala kecakapannya, terutama: kecakapan spiritual, kecakapan intelektual, dan kecakapan pastoral.


2.1. Kecakapan Spiritual

Kecakapan spiritual tentunya berkaitan erat dengan spiritualitas seorang PJT. Menurut Alister E. McGrath, spiritualitas merupakan bagian dari kehidupan iman dan menyangkut apa yang memberi semangat terhadap kehidupan umat beriman. Spiritualitas tidak sekadar berbicara tentang ide-ide, melainkan suatu cara bagaimana kehidupan iman dipahami serta dihayati. Dalam bahasa Robert Hardawiryana, spiritualitas merupakan: “sikap dasar praktis atau eksistensial orang beriman; merupakan konsekuensi dan ekspresi kesadaran eksistensi religiusnya; mencakup cara-caranya ia biasanya beraksi dan bereaksi selama hidupnya menurut pendirian hidup rohani besarta keputusan-keputusannya yang objektif terdalam”.

Maka, seorang PJT yang memiliki kecakapan spiritual pertama-tama sadar bahwa menjadi PJT itu merupakan tanggapan iman atas panggilan Kristus. Menjadi PJT bukanlah sekadar mengisi lowongan pekerjaan atau menempati profesi tertentu, melainkan sungguh merupakan suatu tanggapan eksistensial sebagai orang beriman. Ini tentu menuntut pemberian diri secara penuh, bahkan pengosongan diri (kenosis) secara total, sebagaimana Kristus telah melakukannya, sehingga pelayanan yang dilaksanakannya tidak melulu menjadi – mengutip Henri J.M. Nouwen – “pekerjaan dengan jam kerja pukul delapan sampai pukul lima, akan tetapi pertama-tama adalah jalan hidup”. Untuk itu seorang PJT akan terus-menerus memelihara relasi yang akrab dengan Allah di dalam Kristus.

Namun, PJT juga mesti sadar bahwa menjadi PJT juga merupakan tanggapan atas panggilan yang bersifat insani. Menjadi PJT berarti tidak semata-mata hidup di dalam realitas rohani, melainkan juga di dalam realitas insani. Maka, kecakapan spiritual menunjuk pada kemampuan diri berelasi dengan sekaligus Yang ilahi dan konteks kehidupan yang insani. Tanggapan iman atas panggilan Allah tertuju tidak hanya pada persoalan rohani, tetapi terutama pada pergumulan manusiawi. Roderick Strange menuliskan, “Ketika panggilan imamat dipahami sekaligus sebagai panggilan manusiawi dan ilahi, kita sadar bahwa kenyataan itu membuka diri kita untuk membangun relasi dengan diri kita sendiri, dengan Tuhan, dan dengan sesama.” 

Dalam konteks dunia yang berubah cepat sekarang ini, kecakapan spiritual menjadi signifikan, terutama dalam menghadapi tendensi “penggersangan simbolik” (symbolic drain), yakni menghampanya “kebudayaan”, termasuk di dalamnya aktivitas-aktivitas keagamaan dan hidup sehari-hari, dari makna-makna yang dalam. Seorang PJT yang memiliki kecakapan spiritual akan selalu menampilkan wajah “kebudayaan” dengan makna-makna yang dalam. Aktivitas-aktivitas keagamaan dan hidup sehari-hari tak lepas dari pemaknaannya. Aktivitas-aktivitas itu tidak hanyut dalam bahaya rutinisme dan formalisme, tetapi sebaliknya mendapatkan muatan spiritual berupa makna-makna yang dalam. Henri J.M. Nouwen menyebut orang yang memiliki kecakapan seperti ini sebagai “seorang kontemplatif”. 

“Seorang kontemplatif tidak haus atau serakah mencari kontak-kontak manusia. Ia dipimpin oleh suatu visi yang ia temukan yang jauh lebih bermakna daripada yang dipikirkan oleh dunia yang posesif ini. Ia tidak terombang-ambing oleh mode yang sesaat saja karena ia mempunyai hubungan dengan yang paling dasar, inti dan mutlak.” 

2.2. Kecakapan Intelektual
PJT mestilah seorang yang memiliki kecakapan intelektual sebab dengan kecakapan ini ia dapat melayani umat secara efektif dan kreatif. Melayani secara efektif dan kreatif berarti melayani dengan tepat sasaran dan bersifat menggerakkan umat. Maka, seorang PJT pertama-tama mestilah memiliki kemampuan “menentukan suatu nada bersama untuk bekerja sama”. Nada bersama itu tidak lain ialah visi bersama (shared vision). 

Selain dapat merumuskan visi bersama, seorang PJT mesti mampu mengilhamkan umat agar bergerak bersamanya demi pencapaian visi bersama. Di sini PJT tampil baik sebagai pembawa atau pemegang “impian” (baca: visi bersama) maupun sebagai pendorong perubahan. Untuk itu, PJT mesti menjadi seorang yang terus-menerus belajar agar ia semakin akurat membaca perubahan, mengantisipasi masa depan, dan mempengaruhi serta menggerakkan umat yang dipimpinnya. 

Jadi, kecakapan intelektual hanya dapat diperoleh melalui kebiasaan belajar. Seorang PJT bukanlah sekadar bi(a)sa mengajar, tetapi juga biasa belajar. Belajar di sini tentu tidak harus selalu formal, bisa juga informal, yakni belajar dari realitas kehidupan. Barangkali yang terakhir ini seharusnya mendapatkan perhatian lebih, karena bagaimana pun belajar dari realitas kehidupan bersifat faktual dan kontekstual. Berkaitan dengan belajar ini, PJT mau tidak mau mesti merupakan seorang yang gemar membaca baik teks (tulisan) maupun konteks (realitas kehidupan).

2.3. Kecakapan Pastoral
 Kecakapan pastoral berkaitan erat dengan kemampuan PJT dalam menggembalakan umat dengan baik. Menurut Thomas P. Sweetser, menggembalakan dengan baik mengandung suatu campuran atau gabungan antara memimpin (leading) dan mengatur (managing), namun dengan proporsi lebih pada kepemimpinan daripada pengaturan. Memimpin adalah menolong umat untuk menentukan ke mana ia akan pergi, apa yang akan merupakan visi dan masa depannya. Jika tujuan sudah ditentukan, maka pengaturan adalah kombinasi dari semua yang harus dilakukan dan diperoleh untuk tujuan tersebut.  

Dalam kaitannya pengaturan, PJT mesti mengusahakan keseimbangan yang sehat antara aktivitas hidup pribadi dan aktivitas pelayanan jemaat. Sweetser menegaskan bahwa sebaiknya seorang pastor mengatur dan menentukan suatu muatan kerja yang wajar. Ia menuliskan:

“Dua belas jam sehari, enam hari seminggu itu terlalu banyak untuk siapa pn. Lebih baik menemukan dengan tepat apa yang penting, dan sisanya biarkanlah atau salurkan kepada orang lain. Tak penting berapa lamanya orang bekerja, sebab tak pernah cukup memenuhi tuntutan-tuntutan umat maupun komunitas yang lebih luas.” 

Kecakapan pastoral tampaknya menyangkut upaya pengenalan dan persahabatan PJT dengan umatnya. Bagaimana pun, pengenalan dan persahabatan dengan umat merupakan pokok penting dalam upaya penggembalaan yang baik. Yesus berkata: “Akulah gembala yang baik dan Aku mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba-Ku mengenal Aku” (Yoh 10:14). Jadi, sebagaimana Yesus Sang Gembala berhubungan dengan domba-domba-Nya dalam pengenalan dan persahabatan yang akrab, demikian juga seharusnya PJT berhubungan dengan umatnya. Di sini kegiatan perkunjungan kepada umat (“cura animarum” – harfiah: “penyembuhan jiwa-jiwa”) menjadi relevan dan signifikan untuk dilakukan oleh PJT. Seorang PJT yang memiliki kecakapan pastoral pastilah melaksanakan “cura animarum”. 

Berkaitan dengan kecakapan pastoral menyangkut relasi antara PJT dan umat, seorang PJT sudah seharusnya memiliki kemampuan komunikasi empatik. Komunikasi empatik, atau “komunikasi yang dilandasi kesadaran untuk memahami dengan perasaan, kepedulian dan perhatian”, perlu digalakkan dalam konteks masyarakat sekarang ini, menimbang bahwa – seperti diungkapkan oleh Idi Subandy Ibrahim – komunikasi ini semakin sirna di era “keberlimpahan komunikasi”. 

“Manusia kontemporer mempunyai perilaku berbicara terlalu banyak tapi sebenarnya tanpa menyampaikan makna. Manusia kontemporer juga menyaksikan dan mendengar begitu banyak berita tapi tanpa merasakan makna. Semakin banyak kita mendengarkan komentar politisi atau komentator politik mengenai suatu isu, tanpa sikap kritis, tak jarang kita bingung dibuatnya. Semakin sering kita menyaksikan acara-acara hiburan di televisi, tanpa sikap selektif, semakin kita tidak tahu apa sebenarnya yang ingin kita peroleh dari aktivitas itu. Semakin banyak kita menyerap informasi dari media semakin kita tidak tahu apa arti itu semua bagi kehidupan.” 

Dengan komunikasi empatik, seorang PJT akhirnya dapat menjalin pengenalan dan persahabatan secara lebih mendalam. Komunikasi empatik merupakan suatu langkah untuk berbela-rasa. Komunikasi ini selalu dimulai dengan mendengarkan kawan bicara. Jalaluddin Rumi pernah berkata: “Karena untuk berbicara orang harus lebih mendengarkan, belajarlah bicara dengan mendengarkan.” Jadi, PJT seharusnya lebih banyak mendengarkan umat daripada berbicara, supaya ketika ia berbicara, maka apa yang dibicarakannya itu sungguh bermakna bagi kehidupan umat.


III. PENUTUP: MELAYANI DENGAN CAKAP DEMI INJIL YESUS KRISTUS
Pewartaan Injil merupakan hakikat dari kehidupan Gereja. Tanpa pewartaan Injil yang awalnya dilakukan oleh Yesus Kristus, maka Gereja pada gilirannya tidak akan ada. Dalam karya Roh Kudus, pewartaan Injil mendorong kelahiran dan pertumbuhan persekutuan umat (communio) baru, yang selanjutnya disebut Gereja, sehingga dengan dan bersama communio itu, rencana keselamatan Allah di dunia ini mewujud-nyata.

Dalam konteks dunia yang berubah cepat, pewartaan Injil mendapatkan tantangan-tantangan besar. Namun, itu tidak berarti lantas Gereja tidak mewartakan Injil Yesus Kristus. Bagaimana pun, Gereja mesti terus mewartakan Injil selama ia hadir di dunia ini. Maka, pemimpin jemaat tertahbis (PJT) seharusnya melayani dengan cakap di tengah jemaat dan masyarakat seiring perubahan dunia yang berlangsung cepat. 

Hendri M. Sendjaja


KEPUSTAKAAN
Chandra, Robby I., Ketika Pemimpin Harus Menghadapi Perubahan, Bina Media Informasi, Bandung 2005.

Hardawiryana, Robert, Spiritualitas Imam Diosesan Melayani Gereja di Indonesia Masa Kini, Kanisius, Yogyakarta 2000.

Ibrahim, Idi Subandy, Sirnanya Komunikasi Empatik: Krisis Budaya Komunikasi dalam Masyarakat Kontemporer, Pustaka Bani Quraisy & Fiskontak, Bandung 2004.

Kieser, Bernhard, “Agar Kisah-Nya Diteruskan: Suatu Wacana Teologi Mengenai Presbiter sebagai Jabatan dalam Gereja,” Diktat Kuliah Teologi Kepemimpinan Gereja, Program Magister Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2006.

Lobinger, Fritz, Menjadi Sama dengan Saudara dan Saudarinya: Pemimpin-pemimpin Jemaat Tertahbis, diterjemahkan oleh Yosef Maria Florisan, dari Like His Brother and Sisters: Ordaining Community Leaders, Penerbit Obor & LPBAJ, Jakarta & Maumere 2000. 

McGrath, Alister E., Spiritualitas Kristen: Sebuah Introduksi, diterjemahkan dari Christian Spirituality: An Introduction, Bina Media Perintis, Medan 2007.

Nouwen, Henri J.M., Pelayanan yang Kreatif, diterjemahkan oleh A. Hari Kustana, dkk., dari Creative Ministry, Kanisius, Yogyakarta 1997.

Nouwen, Henri J.M., Yang Terluka Yang Menyembuhkan: Pelayanan dalam Masyarakat Modern, diterjemahkan dari The Wounded Healer: Ministry in Contemporary Society, oleh Christina, dkk., Kanisius, Yogyakarta 2000.

Piliang, Yasraf Amir, Dunia yang Berlari: Mencari “Tuhan-tuhan” Digital, Grasindo, Jakarta 2004.

Strange, Roderick, The Risk of Discipleship: Imamat Bukan Sekadar Selibat, diterjemahkan oleh ESTI St. Paulus, Kanisius, Yogyakarta 2007.

Sweetser, Thomas P., Paroki sebagai Perjanjian: Undangan Berpastoral Bersama sebagai Mitra, diterjemahkan dari The Parish as Covenant: A Call to Pastoral Partnership, oleh F.X. Hadisumarta, Dioma, Malang 2005.

Tidak ada komentar: