Jumat, 30 Januari 2009

POTRET TIGA TEOLOG FEMINIS MENEGAKKAN KOMUNITAS DEMOKRATIS




HARUS diakui, masyarakat kita sekarang ini masih memposisikan kaum perempuan sebagai warga kelas dua, yang tersisih dan tertindas. Kaum perempuan lebih sering menjadi korban atau objek, daripada subjek yang berdiri sendiri. Maka, pertanyaan “mengapa” atas kondisi ini menjadi relevan dan signifikan. Dengan pertanyaan ini kita semakin sadar akan posisi sebenarnya kaum perempuan di tengah masyarakat, sehingga kita dapat berbuat sesuatu untuk/bersama mereka demi kesejahteran bersama (doing something for/with the victims for “bonum commune”).

Menurut Elizabeth Schüssler Fiorenza, apabila ingin mengubah kedudukan perempuan, maka orang harus belajar teologi. Pandangan ini mendorong kaum perempuan untuk lebih banyak mempelajari teologi, sebab refleksi teologi membantu mereka untuk memahami dan mendalami realitas yang sesungguhnya. Pada gilirannya kaum perempuan pun tidak hanya belajar teologi tetapi juga berteologi (doing theology). Apa yang mereka lakukan pada prinsipnya mengarah pada satu cita-cita, yakni masyarakat tanpa dominasi, suatu komunitas demokratis.

Tulisan ini hendak menampilkan tiga potret teolog perempuan yang bergumul dan berjuang demi masyarakat tanpa dominasi. Seperti halnya suatu potret yang bersifat terbatas, tulisan ini pun tidak mungkin mengungkapkan seluruh kekayaan pemikiran masing-masing teolog. 


I. Teologi Agustina Nunuk Prasetyo Murniati

Berangkat dari keprihatinan akan kondisi faktual yang terjadi – bahwa relasi perempuan dan laki-laki dalam masyarakat dunia, khususnya Indonesia, masih bercorak subordinat – Agustina Nunuk Prasetyo Murniati (selanjutnya ditulis Nunuk, sesuai dengan panggilannya) mulai belajar teologi dan berusaha berteologi. Perempuan kelahiran Yogyakarta, 21 Agustus 1943, ini menempuh pendidikan formal teologi di Maryknoll School of Theology, New York. Ia menyadari bahwa untuk berteologi, seorang perempuan membutuhkan usaha dengan sikap tekun dan militan sebab ia dihadapkan pada berbagai cemooh dan pelecehan terhadap pikiran dan perasaannya. Nunuk menuliskan bahwa “Sarana yang selama ini digunakan untuk berteologi sudah ‘telanjur’ menempatkan perempuan pada posisi marjinal. Budaya patriarki telah mewarnai penulisan Kitab Suci, penafsirannya, ritual, sistematika dan metodologi untuk berteologi, dan bahkan gambaran tentang citra Allah.”  



1.1. Gambaran tentang Allah

Nunuk mengakui bahwa sebagai perempuan priyayi Jawa, dalam keluarga Katolik, ia tidak luput dari konstruksi sosial-budaya lokal yang patriarkal. Dari lingkungan terdekatnya, melalui orangtuanya, Nunuk mendapatkan gambaran awal tentang Allah Tritunggal: Allah Bapa sebagai hakim yang mengadili manusia, Roh Kudus sebagai sumber penerangan dan kekuatan, Yesus sebagai yang berhati seluas samudera sehingga kasih-Nya melimpah ruah ke mana-mana. Ia pun mengenal Bunda Maria sebagai tempat mengadu dan mohon doa restu, dan Bapa Yosef sebagai orang yang mengajarkan kesederhanaan.

Gambaran tentang Allah Tritunggal yang melekat pada Nunuk itu pada gilirannya menjadi masalah manakala berjumpa dengan realitas hidup, secara khusus realitas ketidakadilan terhadap perempuan. “Berhadapan dengan penderitaan perempuan itu, aku menyadari betapa citra Allah merupakan pemikiran kaum lelaki,” demikian tulis Nunuk.  

Bagaimanapun relasi dengan Allah adalah sangat pribadi, dan karena itu tidak dapat dibakukan dan tidak boleh dipaksakan. Ideologi gender patriarkal yang membakukan citra Allah ternyata tidak sesuai dengan realitas hidup. Itulah sebabnya dalam perkembangan kemudian Nunuk tidak lagi merasa nyaman membuat tanda salib sambil berkata “demi Allah Bapa, Putra, dan Roh Kudus”, tidak lagi mantap kalau ber-credo “aku percaya akan Allah Bapa yang mahakuasa” dan kalau diberkati dengan simbol laki-laki – maksudnya formula “dalam nama Bapa, Putra (yakni Yesus), dan Roh Kudus (yang membuat Maria mengandung)” tampaknya semua berwajah laki-laki. Nunuk menjumpai Allah dalam citra bukan sebagai “Bapa yang mahakuasa”, dan bukan pula sebagai “yang berwajah laki-laki”, melainkan sebagai Sang Pemberi Hidup, yang penuh kasih, perlindungan dan pemeliharaan. Nunuk menuliskan: 

“Pergumulan membebaskan aku ketika dengan bebas aku menggunakan bahasaku sendiri untuk berdoa dan menyatakan credo, untuk membuat tanda salib atau tanda berkat. Pilihan bahasa, citra, dan simbol sesuai dengan realitas hidup dapat membebaskan kita dari belenggu konstruksi sosial.” 

 
1.2. Gambaran tentang Yesus 

Menurut Nunuk, kita tertipu kalau bergumul untuk memahami siapa Yesus dan melihat Yesus dari kacamata kaum laki-laki saja tanpa mencari siapa Yesus sebenarnya. Penelusuran historis tentang Yesus pada gilirannya mengantar Nunuk untuk mengatakan bahwa Yesus adalah Pejuang kebenaran dan keadilan. Yesus membina kepercayaan bahwa hanya kasih Allah yang menyelamatkan kehidupan, bukan kuasa manusia. Perbuatan-perbuatan Yesus merupakan usaha-usaha untuk mengubah situasi sosial-politik-budaya yang menindas kaum miskin, perempuan, anak, serta orang pinggiran lainnya, sebab Yesus mencita-citakan dunia baru, yang ada di dalam pemeliharaan Kasih Allah Pencipta. 

Dalam pandangan profan, ketertolakan Yesus yang berujung pada kematiannya di kayu salib merupakan “kegagalan perjuangan”. Namun dalam pandangan iman akan Allah, orang dapat menangkap warta kebangkitannya. Yesus dibangkitkan dan bersatu hidup dengan Allah. Maka ia disebut “Tuhan”. Menurut Nunuk, sekalipun kata “Tuhan” jika didengar dalam alam budaya patriarki bercitra laki-laki yang berkuasa serta harus disembah dan ditaati, kita seharusnya segera mengingat Yesus sebagai laki-laki yang hidup dalam budaya patriarkhi tetapi memberi teladan dan arti kepada kaum laki-laki untuk mengubah budaya yang sudah tidak manusiawi lagi. Yesus bukanlah seorang tuan atau master yang melestarikan subordinasi perempuan. Yesus adalah Tuhan, yang membebaskan orang dari cengkeraman mitos “tulang rusuk” dan “buah terlarang”. 


1.3. Gambaran tentang Bunda Maria

Menurut Nunuk, semua atribut dan dogma diperuntukkan Bunda Maria, yang diharapkan untuk diteladani semua “perempuan idaman”, jelas dilatarbelakangi oleh konstruksi perempuan dari perspektif laki-laki. Bunda Maria sebagai perempuan, digambarkan sempurna, diangkat untuk mengimbangi citra perempuan yang tergambar dalam Hawa, perempuan yang jatuh dalam dosa. Jadi, teologi Maria datang dari atas, dari kehendak budaya patriarki yang memengaruhi. 

Pada gilirannya Nunuk mengembangkan teologi Maria atau Mariologi dari bawah, yakni refleksi tentang keimanan dan hidup Maria sebagai pribadi seorang perempuan. Berdasarkan Injil Lukas, Nunuk menegaskan bahwa pilihan Maria untuk menjadi ibu adalah pilihan bebas. Pilihan bebas Maria ini menggambarkan imannya, dan memungkinkan Allah masuk ke dalam sejarah manusia. 

Apabila Gereja Katolik tetap mempertahankan Maria sebagai simbol perempuan, demikian tegas Nunuk, maka pandangan tentang Maria harus berubah. Maria harus dipandang sebagai perempuan sederhana yang dikondisikan oleh masyarakat seperti perempuan lain, yang dibentuk dalam stereotype seperti perempuan lain. Namun Maria berhasil dalam memahami dirinya sebagai pribadi yang bebas dan hanya bergantung kepada Allah. Kedekatannya dengan Allah menunjukkan pemahaman Maria terhadap kehendak Allah. Ia mengutamakan kehendak Allah dalam kehendak bebasnya sebagai pribadi. Maria seperti ini tidak “tersembunyi” di belakang bayangan laki-laki. Ia bebas dan karena itu gambarannya mampu membebaskan perempuan lain. 


1.4. Komentar

Tampak jelas Nunuk berusaha mengimani Allah tidak lagi dari apa yang dikatakan orang lain, entah itu dari orangtua, teman, guru, teolog, atau pastor. Ia pun tidak secara mentah-mentah menghayati Allah sebagaimana dipaparkan Kitab Suci, sebab Kitab Suci pun dipengaruhi budaya patriarki. Nunuk menghampiri dan menyembah Allah “dalam roh dan kebenaran” secara otentik, melalui pengalamannya sendiri sebagai perempuan, dan bersama kaum perempuan.

Otentisitas pemikiran teologis Nunuk ini memang menggugat kemapanan teologi yang dipengaruhi budaya patriarki. Selama ini, paling tidak sampai kemunculan teologi feminis, teologi berwajah laki-laki karena ia dikuasai oleh laki-laki. Tidak dapat disangkali, teologi berwajah laki-laki itu menyembunyikan atau bahkan menyisihkan suara-suara perempuan, dan karena itu ia pun tidak mustahil membuahkan ketidakadilan dan ketidakbenaran. Ini tentu ironis, sebab bukankah percakapan (logos) tentang Tuhan (theos) itu seharusnya menampilkan wajah yang utuh dari ciptaan, baik laki-laki maupun perempuan, baik manusia maupun alam, yang pada gilirannya bermuara pada kesejahteraan bersama, bonum commune?

Nunuk berhasil menampilkan teologi yang sejati ketika ia memulai teologinya melalui jalan (methodos) dari bawah, yakni dari pengalaman keseharian sebagai perempuan, dan bersama perempuan, yang direfleksikan secara imani. Jalan ini tampaknya adalah jalan yang menentang arus, sebab teologi umum yang berwajah laki-laki itu datang dari atas, dari suatu pernyataan-pernyataan dogmatis yang dipandang sebagai kebenaran tunggal. Demikianlah saya dapat memaklumi apabila orang memandang teologi Nunuk sebagai teologi aneh yang ngeyel. Orang yang berkata itu pastilah masih melekat dengan budaya patriarki, atau setidak-tidaknya dia adalah orang yang tidak tahu bahwa dirinya adalah korban dari budaya patriarki. Orang itu harus belajar teologi Nunuk sampai ia sendiri bisa berteologi seperti Nunuk.



II. Teologi Ada María Isasi-Díaz

Ada María Isasi-Díaz lahir dan dibesarkan di La Habana, Kuba. Ia meninggalkan tanah kelahirannya dan menetap di Amerika Serikat pada 1960. Di negeri Paman Sam ini ia belajar teologi di Union Theological Seminary, New York, dan pada 1990 ia menyelesaikan studi doktoralnya (Ph.D.) dengan konsentrasi studi Etika Kristen. Studi ini dan keterlibatannya dalam gerakan teologi feminis mendorong dia untuk membangun suatu teologi dari perspektif perempuan-perempuan Amerika Latin yang tinggal di Amerika Serikat. Ia pun mulai berdialog dengan teologi-teologi berwajah perempuan dan teologi-teologi pembebasan yang bermunculan di seluruh dunia. Kini kalangan akademis mengenal nama Ada Maria Isasi-Díaz sebagai pelopor Teologi Mujerista.


2.1. Teologi Mujerista

Isasi-Díaz menciptakan sendiri istilah mujerista. Istilah ini merupakan acuan pada seorang perempuan Hispanik atau Latina yang berjuang untuk membebaskan dirinya, tidak saja sebagai individu tetapi juga sebagai anggota dalam suatu komunitas Hispanik. Isasi-Díaz menuliskan, “Mujerista is the word we have chosen to name devotion to Latinas’ liberation.” 

Menurut Isasi-Díaz, seorang mujerista adalah seseorang yang menentukan pilihannya untuk berpihak pada perempuan Latina yang berjuang demi pembebasan. Di tengah realitas masyarakat yang menyisihkannya, seorang mujerista mampu memandang dirinya sebagai pribadi yang bebas, yang tidak terpuruk oleh label minoritas atau marginal. Mujerista memahami tugasnya sebagai pejuang yang berpengharapan dalam perwujudan keadilan dan kedamaian. Ia percaya bahwa masyarakat di mana ia berada membutuhkan perubahan radikal. “Our mission is to challenge oppresive structures that refuse to allow us to be full members of society while preserving our distinctiveness as Hispanic women,” demikian tulis Isasi-Díaz. 

Isasi-Díaz menyebut praksis pembebasan kaum perempuan Hispanik atau Latinas sebagai teologi mujerista. Teologi ini memungkinkan kaum perempuan Hispanik untuk memahami bahwa tujuan perjuangan mereka adalah tidak terlibat dalam, dan mengambil keuntungan dari, struktur-struktur yang menindas, melainkan mengubah struktur-struktur itu secara radikal. Dalam bahasa teologis dan agama, ini berarti bahwa teologi mujerista membantu para perempuan Hispanik untuk menemukan dan menegaskan kehadiran Allah di tengah komunitas mereka dan pewahyuan Allah dalam keseharian hidup mereka. Selanjutnya, teologi mujerista mendesak dan menolong para perempuan Hispanik dalam menentukan pilihan masa depan mereka. Dalam bahasa teologis dan agama, ini berarti bahwa teologi mujerista memungkinkan para perempuan Hispanik untuk memahami pokok eskhatologi dalam kehidupan setiap orang Kristen. Akhirnya teologi mujerista memungkinkan para perempuan Hispanik atau Latinas untuk memahami seberapa jauh mereka larut dalam sistem-sistem yang berlaku di masyarakat, termasuk sistem-sistem keagamaan. Teologi mujerista membantu para perempuan Hispanik untuk menyadari bahwa perubahan struktur secara radikal tidak akan terjadi apabila setiap diri mereka tidak berubah secara radikal. Dalam bahasa teologis dan agama, ini berarti bahwa teologi mujerista membantu para perempuan Hispanik dalam proses pertobatan, menolong mereka untuk menyadari realitas dosa dalam kehidupan mereka. 


2.2. Gambaran tentang Allah dan Yesus

Bersama Yolanda Tarango, Isasi-Díaz menggali gambaran tentang Allah melalui wawancara enam perempuan Hispanik keturunan Meksiko, Kuba dan Puerto Rico. Mereka mendapati gambaran Allah sebagai “sentimento” (perasaan yang mendalam), “Roh”, “campuran sifat terbaik yang saya kagumi dalam diri orang lain”, dan “Wujud Tertinggi yang memberi kehidupan”. Keenam perempuan Hispanik ini, sekalipun tidak mengabaikannya, tidak berbicara secara dominan tentang Yesus. 

Lebih lanjut Isasi-Díaz mengungkapkan bahwa kebanyakan kaum perempuan Hispanik akar rumput lebih mengenal dan merayakan figur para Kudus (the Saints) daripada figur Yesus. Bahkan di negara-negara di mana figur Yesus menjadi pokok keagamaan rakyat, figur Yesus yang disembah dan dipuja tidak bertautan dengan Yesus historis atau Yesus dari kristologi. Di Peru, misalnya, devosi utama masyarakat urban adalah kepada El Seńor de Los Milagros (Tuhan Mujizat-Mujizat). Gambaran El Seńor de Los Milagros terdiri atas Yesus di atas kayu salib bersama Maria dan Yohanes. Namun, jika orang mendengar secara cermat doa-doa, nyanyian-nyanyian, dan cerita-cerita mujizat-mujizat yang El Seńor lakukan bagi masyarakat, maka gambaran El Seńor ini jelas tidak merujuk kepada Yesus dalam Injil. Mereka mengenal El Seńor, tetapi tidak tahu Yesus dalam Injil. Mereka tidak mengenal konsep bahwa El Seńor adalah Allah yang menjadi manusia. Bagi mereka, yang paling penting adalah apa yang El Seńor telah lakukan dalam hidup mereka dan bukan siapa El Seńor itu. 

Menurut Isasi-Díaz, banyak teolog yang mengenyam pendidikan akademis mengabaikan kenyataan bahwa sebagian besar kaum perempuan Hispanik sangat kurang menautkan kehidupan iman mereka kepada Yesus. Oleh karena itu, ketika mereka berbicara tentang Yesus dari kaum perempuan Hispanik, mereka memang menggambarkan Yesus secara baru, tetapi itu lebih sebagai gambaran imajiner belaka, bukan Yesus sebagaimana dipahami oleh kaum perempuan Hispanik akar rumput. Seorang teolog mujerista akan mengungkapkan gambaran Allah dan Yesus dari pengalaman hidup para perempuan Hispanik, sehingga tidak mengherankan kalau ia memandang bahwa Kitab Suci bukanlah segala-galanya. 


2.3. Pandangan tentang Kitab Suci

Seperti dinyatakan di atas, teologi mujerista berangkat dari pengalaman pergumulan kaum perempuan Hispanik yang mempertahankan kelangsungan hidup mereka, dan bukan dari Kitab Suci. Kekristenan kaum perempuan Hispanik adalah suatu mestizaje (hibrid) yang dipengaruhi oleh kekatolikan devosional warisan penakluk Spanyol (Spanish conquest), dan oleh praktek-praktek keagamaan orang Afrika dan orang Amerindian. Kekatolikan conquistadores kurang didasarkan pada Kitab Suci, demikian pula praktek keagamaan rakyat. Akibatnya sebagian besar perempuan Hispanik tidak membaca Kitab Suci dan hanya mengenal versi-versi populer cerita-cerita Kitab Suci. 

Isasi-Díaz berpendapat bahwa perempuan Hispanik seharusnya dan harus menerima Kitab Suci sebagai otoritatif dan menggunakan Kitab Suci sebagai unsur intrinsik dalam pemahaman-pemahaman keagamaan, sejauh itu dapat memungkinkan mereka untuk berteologi, untuk berjuang demi kelangsungan hidup. Kitab Suci bukanlah sumber teologi mujerista. Hanya beberapa bagian dari Kitab Suci, yang memungkinkan suatu pemahaman pembebasan sejati perempuan Hispanik, diterima sebagai kebenaran yang tersingkap, suatu “dokumen pewahyuan ilahi berkaitan dengan keselamatan”. 


2.4. Komentar

Sebagai seorang teolog Kristen, Ada Maria Isasi-Díaz tampak melangkah lebih berani dengan teologi mujerista-nya. Ia jelas mau merekonstruksi teologi Kristen demi perjuangannya mengubah secara radikal sistem-sistem yang berlaku di masyarakat, secara khusus komunitas Hispanik di Amerika Serikat, yang sarat dengan logika patriarki.

Dalam pemikiran teologinya, Isasi-Díaz jelas memandang pewahyuan Allah secara utuh dan konsisten, tidak hanya sebatas di dalam Kitab Suci atau tradisi Gereja tetapi juga di dalam kenyataan sejarah dan pengalaman hidup para perempuan Hispanik. Oleh karena itu, kalau ia berani mengatakan bahwa teologi mujerista tidak bersumber pada Kitab Suci, dan karena itu pula tidak menautkannya kepada Allah dalam Kitab Suci atau kepada Yesus dalam Injil, melainkan pada praksis pembebasan kaum perempuan Hispanik, maka keberaniannya itu tentu merupakan buah refleksi iman yang otentik.

Tentu saja teologi mujerista tidak dapat berlaku universal karena ia sarat dengan muatan pengalaman lokal, secara khusus pengalaman perempuan Hispanik di Amerika Serikat. Namun, dari teologi ini kita dapat belajar tentang metodologi teologi yang mampu mengangkat suara-suara kaum tersisih di tengah realitas kehidupan. Lebih dari itu, kita pun dapat merasakan gelora semangat dalam teologi ini, yakni semangat untuk berjuang di dalam hidup demi perwujudan komunitas demokratis. Kata Isasi-Díaz, “La vida es la lucha!” – “Perjuangan adalah hidup!”



III. Teologi Chung Hyun Kyung

Salah seorang teolog feminis Asia yang berjuang untuk pembebasan kaum perempuan di dunia, secara khusus Asia, adalah Chung Hyun Kyung. Perempuan asal Korea ini mengenyam pendidikan teologi di Claremont School of Theology (1984), di Women’s Theological Center, Boston (1984), dan di Union Theological Seminary, New York (Ph.D., 1989). Pada 1990 ia memperkenalkan teologi perempuan Asia melalui bukunya Struggle to be the Sun Again. Dari judul bukunya ini, ia bermaksud mengungkapkan bahwa kaum perempuan Asia sedang berjuang untuk pembebasan. Terinspirasi oleh puisi “The Hidden Sun” karya Hiratsuka Raicho, Chung Hyun Kyung hendak menegaskan bahwa semula perempuan Asia adalah matahari, seorang pribadi yang otentik. Namun kemudian perempuan Asia adalah bulan, suatu gambaran yang menunjukkan pribadi yang terbelenggu oleh bayang-bayang laki-laki. Oleh karena itu, perempuan Asia berjuang untuk menjadi matahari kembali, menjadi pribadi yang bebas dari bayang-bayang laki-laki.


3.1. Teologi Perempuan Asia

Chung Hyun Kyung mengungkapkan bahwa teologi perempuan Asia lahir dari airmata dan keluh-kesah kaum perempuan Asia, dan dari hasrat yang membara untuk pembebasan dan keutuhan ciptaan. Sejarah panjang penderitaan karena kolonialisasi telah membuat kaum perempuan Asia menangis dan menjerit. Mereka hidup di bawah bayang-bayang laki-laki (budaya patriarki) yang berkuasa mengatur, menindas, melecehkan kedirian mereka sebagai manusia yang berpribadi. Kolonialisme, neo-kolonialisme, militerisme, dan kediktatoran adalah realitas harian kebanyakan perempuan Asia. Realitas seperti itu menyebabkan kaum perempuan Asia terpuruk sebagai yang miskin di antara kaum miskin. 

Dalam kerinduan mereka untuk kepenuhan sebagai manusia, perempuan Asia menjumpai dan datang kepada Allah. Chung Hyun Kyung menegaskan bahwa bagi perempuan Asia hal itu berarti suatu upaya memahami tujuan ultim dari kehidupan mereka dan upaya menemukan makna dari kehadiran mereka dalam sejarah dan kosmos ini. Demikianlah pemahaman perempuan Asia tentang kemanusiaan secara langsung bertalian dengan pemahaman tentang siapa Allah dan apa yang Allah lakukan di tengah penderitaan mereka dan perjuangan mereka demi pembebasan.  


3.2. Gambaran tentang Allah

Chung Hyun Kyung memaparkan beberapa gambaran tentang Allah yang muncul dari kaum perempuan Asia. Banyak perempuan Asia berpikir bahwa Allah memiliki kualitas-kualitas baik perempuan maupun laki-laki. Gambaran Allah semacam ini berasal dari agama-agama asli Asia yang mengenal dewa-dewi. Mereka percaya bahwa gambaran inklusif Allah yang memiliki sisi kelaki-lakian dan sisi keperempuanan menawarkan kesederajatan dan harmoni antara laki-laki dan perempuan.  

Gambaran lain tentang Allah yang muncul di tengah kaum perempuan Asia adalah Allah sebagai komunitas, bukan individu. Gambaran ini berhasil memberdayakan banyak perempuan Asia untuk keluar dari individualisme mereka, serta menggerakkan mereka untuk mengambil bagian dalam relasi kesalingbergantungan di tengah komunitas. 

Menurut Chung Hyun Kyung, generasi teolog perempuan Asia belakangan memunculkan gambaran Allah sebagai Roh Pemberi Hidup. Roh yang demikian ini dapat mereka jumpai di dalam diri mereka dan di dalam segala sesuatu yang mengembangkan kehidupan. Dengan perkataan lain, teolog-teolog perempuan Asia ini mengangkat imanensi Allah dalam teologi-teologi mereka. 

Chung Hyun Kyung sendiri merefleksikan Allah sebagai sumber pemberdayaan bagi kehidupan dan pembebasan di dalam dunia alami dan insani. Ia memohon pertolongan Roh Kudus melalui roh-roh kaum tertindas yang setia berjuang demi kehidupan. 


3.3. Gambaran tentang Yesus

Menurut Chung Hyun Kyung, untuk mengungkapkan pengalaman-pengalaman mereka mengenai Yesus, kebanyakan perempuan Asia memakai gelar-gelar tradisional yang mereka telah terima dari para misionaris. Karena banyak gereja Kristen di Asia masih dikuasai teologi-teologi misionari Barat dan penafsiran-penafsiran androsentrik atas Kitab Suci, maka beberapa teologi perempuan Asia di permukaannya tampak serupa dengan teologi-teologi misionari Barat atau teologi-teologi laki-laki Asia. Namun, jika kita perhatikan dengan seksama, maka kita akan menemukan kemunculan makna baru dari bahasa lama, seperti makna baru tentang Yesus sebagai hamba yang menderita, Yesus sebagai Tuhan, dan Yesus sebagai Imanuel. 

Chung Hyun Kyung mengungkapkan bahwa semakin bebas para perempuan Asia dari otoritas-otoritas patriarkal di dalam keluarga mereka, gereja dan masyarakat, maka semakin mereka berlaku kreatif di dalam pengungkapan mereka tentang Yesus Kristus. Kadang-kadang gambaran-gambaran tradisional Yahudi dan Kristen tentang Yesus telah terputus sama sekali dari gambaran-gambaran yang berasal dari gerakan perempuan Asia. Sebagai contoh, Chung Hyun Kyung memaparkan gambaran Yesus sebagai Pembebas, Tokoh Revolusioner, dan Martir Politik. Selain itu, ia pun memaparkan gambaran Yesus sebagai Ibu, Perempuan dan Shaman, dan sebagai Pekerja dan Bulir Padi. Semua gambaran baru tentang Yesus tersebut berasal dari konteks sosial dan pengalaman kaum perempuan Asia yang direfleksikan secara imani. 


3.4. Komentar

Paparan Chung Hyun Kyung tentang teologi perempuan Asia menyimpulkan satu fenomena yang terjadi di negara-negara Asia, yakni kebangkitan kaum perempuan. Suatu kebangkitan menandakan upaya meninggalkan kehidupan lama yang dalam konteks realitas kaum perempuan Asia berupa kondisi keterpurukan di bawah bayang-bayang laki-laki. Dengan demikian, suatu kebangkitan adalah perjalanan hidup baru yang diperjuangkan, tanpa mengenal takut dan lelah sebab ada pengharapan.

Perjuangan “to be the sun again” Chung Hyun Kyung melalui teologi dan berteologi mendapat tantangan manakala ia dituduh sebagai seorang sinkretis. Menurut saya, tuduhan sebagai seorang sinkretis kepada seorang teolog feminis adalah hal yang tidak aneh mengingat metodologi teologi feminis yang bersifat induktif, dari bawah, dari pengalaman-pengalaman kaum perempuan di tengah realitas kehidupan mereka. Saya menduga, orang yang mencap sinkretis terhadap teolog feminis seperti Chung Hyun Kyung, Ada Maria Isasi-Díaz, atau Agustina Nunuk Prasetyo Murniati, tidak bertindak otentik dalam keberimanannya kepada Allah. Ia justru dapat disebut sebagai seorang sinkretis, karena ia memiliki kekuasan hegemonik ketika menafsirkan Kitab Suci, menjumpai Allah atau Yesus di luar pengalaman hidupnya sendiri. Yang jelas, ia pasti adalah seorang yang tidak menghayati apa artinya hidup dalam komunitas demokratis. Teolog-teolog feminis bagaimanapun sudah dan terus mewujudkan komunitas demokratis itu.

 

Hendri M. Sendjaja


Kepustakaan

“Chung Hyun Kyung,” dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Chung_Hyun_Kyung (diakses 11 Oktober 2007).

Chung, Hyun Kyung. 1990. Struggle to be the Sun Again: Introducing Asian Women’s Theology. New York: Orbis Books.

Clifford, Anne M. 2002. Memperkenalkan Teologi Feminis, terj. Yosef M. Florisan. Maumere: Ledalero.

Isasi-Díaz, Ada María. 1989. “Mujeristas: A Name of Our Own!” dalam The Christian Century, May 24-31. Diakses dari http://www.religion-online.org/showarticle.asp?title=874, pada 29 Oktober 2007.

_______. 1996. “The Task of Hispanic Women’s Liberation Theology – Mujeristas: Who We Are and What We Are About,” dalam King, Ursula, ed. Feminist Theology from the Third World: A Reader. London: SPCK; New York: Orbis Books.

_______. 1996. Mujerista Theology. New York: Orbis Books.

_______. 1998. “The Bible and Mujerista Theology,” dalam Thistlethwaite, Susan B., dan Engel, Mary Potter, eds. Lift Every Voice: Constructing Christian Theologies from the Underside. New York: Orbis Books.

 _______. 2004. En la Lucha/In the Struggle: Elaborating a Mujerista Theology. Minneapolis: Fortress.

Murniati, A. Nunuk P. 1997. “Peranan Perempuan dalam Gereja dan Masyarakat,” dalam Beding, Marce, dkk. Gereja Indonesia Pasca-Vatikan II: Refleksi dan Tantangan. Yogyakarta: Kanisius.

_______. 1997. “Pengaruh Ideologi Gender dalam Gereja,” dalam Rohani, No. 44, Oktober.

_______. 1998. “Kesederajatan dalam Kuasa Roh,” dalam Rohani, No. 45, Maret.

_______. 1999. “Teologi Feminis Kristiani di Indonesia,” dalam Gema Duta Wacana, No. 55.

_______. 1999. Gerakan Anti-Kekerasan terhadap Perempuan. Yogyakarta: Kanisius.

_______. 2001. “Spiritualitas Demi Kehidupan, Teologi Demi Pembebasan,” dalam Orientasi Baru: Jurnal Filsafat dan Teologi, No. 14.

_______. 2004. Getar Gender: Bagian Kedua. Magelang: Indonesiatera.

Sabtu, 17 Januari 2009

HUBUNGAN SEKSUAL DI LUAR PERNIKAHAN PADA KAUM MUDA DI BEBERAPA KOTA BESAR, INDONESIA: SUATU PANDANGAN TEOLOGI MORAL KRISTIANI



I. PENGANTAR


“Dok, saya perempuan usia 16 tahun mengapa jika saya melakukan hubungan seks terasa sakit dan saya sudah tidak perawan lagi karena saya telah sering melakukan hubungan seks dengan pacar saya. Tetapi setiap kali saya melakukannya terasa sakit, kenapa ya dok...please jawab ya.”
(Nindya, Bandung)

Pernyataan di atas merupakan salah satu cuplikan konsultasi via email dari seorang muda yang bernama Nidya – entah nama sebenarnya atau tidak – dari Bandung, kepada “dr. Love” alias dr. Wei Siang Yu, seorang pakar medis, khususnya dalam bidang bio-communication, dan pembicara kelas dunia di berbagai konferensi medis dan talkshow kesehatan. Nidya, remaja berumur 16 tahun, telah berani berkonsultasi secara terbuka mengenai apa yang telah dilakukannya berkali-kali dengan pacarnya, yakni hubungan seksual. Ia tampaknya hanyalah satu di antara sekian banyak orang muda lainnya di Indonesia yang jelas-jelas melakukan hubungan seksual di luar pernikahan.
Persoalan moral berkaitan dengan hubungan seksual di luar pernikahan pada kaum muda di beberapa kota besar di Indonesia merupakan fokus tulisan ini. Untuk itu, pertama-tama tulisan ini memaparkan beberapa penjernihan istilah yang dipakai, dan beberapa temuan dari penelitian-penelitian tentang perilaku seksual remaja di beberapa kota besar di Indonesia. Bagian berikutnya menyajikan pandangan teologi moral Kristiani tentang hubungan seksual di luar pernikahan. Bagian akhir tulisan memaparkan beberapa upaya yang dapat dilakukan guna menjawab persoalan hubungan seksual di luar pernikahan.

II. HUBUNGAN SEKSUAL DI LUAR PERNIKAHAN PADA KAUM MUDA DI BEBERAPA KOTA BESAR, INDONESIA

2.1. Penjernihan Istilah
Beberapa istilah yang sering dipakai dalam tulisan ini perlu mendapat penjelasan. Istilah-istilah itu ialah: ‘hubungan seksual’, ‘pernikahan’, ‘hubungan seksual di luar pernikahan’, dan kaum muda.

2.1.1. ‘Hubungan Seksual’ dan ‘Pernikahan’
Dalam tulisan ini, istilah ‘hubungan seksual’ menunjuk pada “tindakan kontak fisik antara laki-laki dan perempuan berupa penetrasi penis ke dalam vagina sedemikian rupa sampai terjadinya orgasme dan ejakulasi”. Orang Arab menyebut hubungan seksual ini dengan istilah ‘nikah’. Sekalipun kata ‘nikah’ sudah menjadi kosakata Bahasa Indonesia, kebanyakan orang menyebut hubungan seksual ini tidak dengan kata ‘nikah’, melainkan ‘kawin’. Padahal, secara etimologis, kata ‘kawin’ sebenarnya tidak secara langsung menunjuk pada tindakan kontak fisik berupa penetrasi penis ke dalam vagina. Kata ‘kawin’ berasal dari Bahasa Jawa Kuno – merupakan turunan dari kata ‘vini’ (Bahasa Sanskerta) – yang berarti: ‘membawa’, ‘memikul’, ‘memanggul’, ‘mengemban’, atau ‘memboyong’. Jadi, kita tidak menemukan unsur ‘hubungan seksual’ dalam pengertian kata ‘kawin’. Maka, aspek sentral dalam kata ‘kawin’ – dan dengan demikian, kata ‘perkawinan’ – ialah “tindakan memboyong mempelai perempuan (dari rumah orangtuanya) ke rumah mempelai laki-laki secara resmi sesuai dengan tatacara adat atau agama.”  
Memang, normalnya dalam suatu perkawinan, pasangan mempelai atau suami-istri itu melakukan hubungan seksual. Oleh karena itu, menurut saya, tidaklah rancu apabila kita menyebut perkawinan sebagai ‘pernikahan’. Justru, dengan menyebut perkawinan sebagai pernikahan, maka “tindakan memboyong mempelai perempuan oleh mempelai laki-laki secara resmi” itu seharusnya dilanjutkan dengan tindakan hubungan seksual. 
Hubungan seksual di luar pernikahan sebenarnya mencakup baik “hubungan seksual pra-nikah” (pre-marital sexual intercourse) maupun “hubungan seksual tanpa menikah”. Hubungan seksual pra-nikah menunjuk pada hubungan seksual yang dilakukan oleh pasangan kekasih laki-laki dan perempuan sebelum akhirnya mereka melangsungkan pernikahan. Sementara hubungan seksual tanpa menikah umumnya menunjuk pada hubungan seksual yang dilakukan pasangan laki-laki dan perempuan yang menjalani hidup bersama tetapi tanpa pernikahan. Orang Indonesia menamakan pasangan yang melakukan hubungan seksual tanpa menikah ini sebagai “pasangan kumpul kebo”. 

Sebagaimana diingatkan Karl-Heinz Peschke, saya sadar bahwa perilaku hubungan seksual pra-nikah dan perilaku hubungan seksual tanpa nikah atau “kumpul kebo” merupakan dua perilaku yang berbeda dan tidak dapat dinilai secara sama. Namun, karena tidak diketahui secara pasti apakah pasangan kaum muda yang melakukan hubungan seksual itu kemudian waktu melangsungkan pernikahan, maka saya terpaksa menyatukan – tetapi tidak ‘menyamakan’ – antara “hubungan seksual pra-nikah” dengan “hubungan seksual tanpa menikah” dalam satu istilah, yakni: “hubungan seksual di luar pernikahan”. 

2.1.2. Kaum Muda
Yang dimaksud kaum muda di sini ialah kaum laki-laki dan perempuan dengan usia antara 15 sampai 24 tahun. Penentuan usia ini berdasarkan pembagian usia kaum muda sebagaimana dipaparkan Charles M. Shelton. Shelton menyatakan bahwa kisaran usia ini merupakan masa ketika kaum muda berada pada tahap pertumbuhan fisik dan perkembangan mental, emosional, sosial, moral, serta religius. Dalam kaitan dengan seksualitas, kisaran usia ini merupakan masa pemasakan seksual yang turut mempengaruhi psikososial diri. 

2.2. Beberapa Temuan
Pada 1998 Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LDFEUI), bekerja sama dengan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), melakukan survei terhadap 8084 orang muda (laki-laki dan perempuan) yang berusia 15 hingga 24 tahun di 20 kabupaten pada 4 propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lampung. Hasil survei itu menyatakan bahwa 3,4% laki-laki dan 2,3% perempuan telah melakukan hubungan seksual di luar pernikahan. 
Pada pertengahan 2002 lalu, Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan, Pusat Pelatihan Bisnis dan Humaniora (LSCK PPBH) Yogyakarta, menyampaikan hasil penelitiannya yang memperkuat asumsi semakin longgarnya perilaku seksual kaum muda. Penelitian yang dilakukan dari Juli 1999 hingga Juli 2002 terhadap 1660 responden mahasiswa dari 16 perguruan tinggi di Yogyakarta, mengungkapkan hasil bahwa 97,5% mahasiswi sudah pernah melakukan hubungan seksual di luar pernikahan, bahkan 90% di antaranya telah melakukan aborsi. 
Dalam Kongres Nasional I Asosiasi Seksologi Indonesia (Konas I ASI) di Denpasar Juli 2002, Hudi Winarso, dari Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, juga mengemukakan penelitian serupa. Dari hasil angket yang disebarkan pada April 2002 terhadap 180 mahasiswa perguruan tinggi negeri di Surabaya, berusia 19 hingga 23 tahun, Hudi Winarso mengungkapkan bahwa 40% mahasiswa telah melakukan hubungan seksual di luar pernikahan. Dari jumlah itu, 70% mahasiswa melakukan dengan pasangan tidak tetap, entah teman, pekerja seks, atau lainnya, dan 2,5% di antaranya pernah tertular Penyakit Menular Seksual (PMS, Sexually Transmitted Disease atau STD). Sementara itu, hasil angket ini pun menyatakan bahwa 7% mahasiswi telah melakukan hubungan seksual di luar pernikahan, dan 80% di antaranya hanya melakukannya dengan pacarnya. 
Pada perkembangannya kaum muda yang melakukan hubungan seksual di luar pernikahan tidak berkurang, malah meningkat. Paling tidak, hasil penelitian Synovate Indonesia membuktikan hal itu. Dari hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 2004 terhadap kaum muda (450 responden dengan kisaran usia 15-24 tahuan) di 4 kota besar di Indonesia (Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan), Synovate menyatakan bahwa 44% responden mengaku sudah melakukan hubungan seksual di luar pernikahan pada usia 16 sampai 18 tahun. Sementara 16% lainnya mengaku sudah melakukan hubungan seksual di luar pernikahan pada usia 13 sampai 15 tahun. 
Hasil penelitian Synovate juga mengungkapkan bahwa rumah menjadi tempat paling favorit untuk melakukan hubungan seksual di luar pernikahan (40%). Kos (26%) dan hotel (26%) juga menjadi pilihan mereka. 
Beberapa responden (68%) dalam penelitian Synovate itu tampaknya sadar bahwa mereka seharusnya menunda hubungan seksual sampai pernikahan. Beberapa (80%) memahami bahwa hubungan seksual pra-nikah itu tidak sesuai dengan nilai dan ajaran agama. Sebagian besar mengaku bahwa hubungan seksual itu dilakukan tanpa rencana. Beberapa responden laki-laki (37%) mengaku bahwa hubungan seksual dengan pasangannya sudah direncanakan. Sementara, beberapa responden perempuan (39%) mengaku dibujuk untuk melakukan hubungan seksual oleh pasangannya. Ketika ditanyakan bagaimana perasaan mereka setelah melakukan hubungan seksual pra-nikah itu, 47% responden perempuan mengaku menyesal karena takut hamil, berdosa, hilang keperawanan dan takut ketahuan orangtua. 

2.3. Letak Persoalan
Di bawah ini beberapa persoalan yang muncul berkaitan dengan hubungan seksual di luar pernikahan:

2.3.1. Risiko-risiko Yang Mengiringi Tindakan Hubungan Seksual di Luar Pernikahan 
Ada berbagai risiko yang mengiringi tindakan hubungan seksual di luar pernikahan, baik berupa risiko-risiko yang mempengaruhi psikis, fisik, maupun relasi sosial dari mereka yang melakukannya.
(a) Kemerosotan kebahagiaan pribadi dan pengambilan keputusan untuk aborsi. Orang yang melakukan hubungan seksual di luar pernikahan pada umumnya akan merasa bersalah dan cemas dengan apa yang telah dilakukannya. Dari hasil penelitian Synovate sebagaimana dipaparkan di atas, kita melihat bahwa banyak responden perempuan mengaku menyesal karena takut hamil, berdosa, hilang keperawanan dan takut ketahuan orangtua. Willard S. Krabill melihat juga gejala-gejala psikis yang mempengaruhi kebahagiaan dari beberapa orang yang melakukan hubungan seksual di luar pernikahan. Krabill mengamati, mereka yang terlibat dalam hubungan seksual di luar pernikahan tidak menjadi lebih bahagia dan tidak memperoleh kesenangan yang lebih besar. Malah sebaliknya, mereka justru menghadapi kecemasan-kecemasan yang bersifat destruktif, baik bagi diri sendiri maupun bagi relasinya dengan pasangannya. 
Tampaknya gejala psikis negatif semakin dirasakan tatkala apa yang dilakukan, yakni hubungan seksual di luar pernikahan, menyebabkan kehamilan. Menurut Didik Joko Martopo, secara psikologis, pada saat seseorang mengalami kehamilan di luar pernikahan, ia cenderung mengambil jalan pintas yang terkesan lebih mudah, seperti menggugurkan kandungan atau aborsi. Padahal, tindakan aborsi pada kaum muda mengandung resiko yang cukup tinggi, terlebih lagi apabila dilakukan tidak sesuai standar profesi medis. Beberapa risiko yang dapat terjadi pada mereka yang melakukan aborsi: 
• Infeksi alat reproduksi karena melakukan kuretase (secara medis) yang dilakukan secara tidak steril. Hal ini dapat membuat kemandulan di kemudian hari setelah menikah. 
• Risiko pendarahan sehingga dapat mengalami shock akibat pendarahan dan gangguan neurologis. Selain itu, pendarahan juga dapat mengakibatkan kematian, baik ibu maupun anak, atau keduanya. 
• Risiko terjadinya reptur uterus atau robeknya rahim lebih besar dan menipisnya dinding rahim akibat kuretase. Ini dapat menyebabkan kemandulan, infeksi, shock hingga kematian ibu dan anak yang dikandungnya. 
• Terjadinya fistula genital traumatis, yakni suatu saluran atau hubungan antara genital dan saluran kencing atau saluran pencernaan yang sebelumnya (secara normal) tidak ada.

Dari hasil penelitian LSCK PPBH Yogyakarta yang telah dipaparkan di atas, kita mengetahui bahwa banyak mahasiswi di Yogyakarta melakukan aborsi. Sebagai informasi tambahan, pada kenyataannya di Indonesia kasus aborsi terjadi setiap tahunnya sebanyak 2,6 juta. Dengan perkataan lain, setiap jamnya terdapat 300 perempuan telah menggugurkan kandungannya. Siswanto Agus Wilopo menyatakan, “Dari jumlah itu, 700 ribu di antaranya dilakukan oleh remaja atau perempuan berusia di bawah 20 tahun.” 

(b) Penularan Penyakit Menular Seksual (PMS, Sexually Transmitted Disease). Kita telah melihat di atas, dari hasil angket yang disebarkan Hudi Winarso di Surabaya, banyak mahasiswa melakukan hubungan seksual secara bebas atau berganti-ganti pasangan. Beberapa di antaranya ternyata pernah tertular PMS.
Yang dimaksud PMS sebenarnya ialah berbagai jenis penyakit atau infeksi – seperti: syphillis, gonorrhea, chlamydia dan genital herpes, termasuk juga AIDS, yang biasanya ditularkan melalui hubungan seksual. PMS pada umumnya berkaitan erat dengan perilaku hubungan seksual yang berganti-ganti pasangan. Itulah sebabnya, seperti ditulis Krabill, satu-satunya metode pencegahan yang dapat dipercaya untuk PMS ialah hanya mempunyai satu teman seksual melalui kesetiaan dalam pernikahan dan malakukan pantang hubungan seksual di luar pernikahan.  
 
2.3.2. Persoalan Moral
 Hubungan seksual di luar pernikahan pada gilirannya menimbulkan banyak persoalan moral. Persoalan yang paling pokok tentunya berkaitan dengan makna tentang hubungan seksual dan makna tentang pernikahan. Hubungan seksual di luar pernikahan tampaknya mengabaikan, atau lebih tepat merendahkan, baik makna tentang hubungan seksual maupun makna tentang pernikahan. Kita akan melihat hal ini lebih jelas lagi pada bagian III tulisan ini.
Seperti telah ditunjukkan di atas, salah satu risiko yang mengiringi tindakan hubungan seksual di luar pernikahan ialah keputusan untuk melakukan aborsi. Tindakan aborsi tentu saja merupakan persoalan moral tersendiri, yang barangkali tidak pada tempatnya jika dibahas dalam tulisan ini. Secara singkat, dalam perspektif moral Kristiani (dalam hal ini, yang jelas ialah Katolik, sementara Protestan tidak seragam), aborsi merupakan tindakan yang dilarang karena bertentangan dengan nilai hidup manusia sebagai makhluk yang bermartarbat.  


III. HUBUNGAN SEKSUAL DI LUAR PERNIKAHAN DALAM PANDANGAN TEOLOGI MORAL KRISTIANI

3.1. Hakikat Hubungan Seksual dan Pernikahan
Secara hakiki, dalam hubungan seksual, dua manusia saling memberi dan menerima sekaligus secara bersamaan, tanpa membedakan atau melihat apa fungsi seksualnya. Baik laki-laki maupun perempuan, keduanya saling memberikan dirinya, dan saling menerima menurut struktur biologis yang memang telah diciptakan untuk itu.  
Maka, hubungan seksual sebenarnya merupakan ungkapan saling cinta antara dua pribadi (laki-laki dan perempuan) dan pendalaman akan cinta itu. Hubungan seksual ialah tanda kodrati penyerahan diri total, puncak hubungan cinta. Karl-Heinz Peschke menuliskan: 
“Hubungan seksual yang tidak merupakan tanda atau ungkapan cinta sejati, tetapi hanya sekadar penenang atau bahkan manipulasi orang lain demi kenikmatan jasmani mengkhianati maknanya yang sejati. Itu adalah kebohongan dan penipuan.” 

Jika makna hubungan seksual di atas sungguh disadari, maka kelamin bisa dianggap sebagai organ cinta dari tubuh kita. Namun, sebaliknya jika makna ini sungguh disangkali – artinya, jika hubungan seksual itu hanya untuk kepuasan hedonis – maka kelamin tetaplah sekadar organ biologis yang berfungsi menurut kodratnya. Jadi, benarlah bahwa hubungan seksual merupakan perwujudan cinta sejati, tetapi perwujudan cinta sejati sesungguhnya menunjuk bukan saja pada tindakan hubungan seksual, melainkan lebih luas daripada sekadar memfungsikan organ biologis. Orang tidak dapat mereduksi cinta sejati menjadi sekadar tindakan hubungan seksual, karena pada kenyataannya setiap kali tindakan hubungan seksual selesai dilakukan, selalu ada sesuatu yang belum tersingkap, selalu ada yang kurang. 
Dengan atau tanpa cinta, hubungan seksual tetap berarti memfungsikan organ tubuh, dalam hal ini, organ reproduksi, menurut kodratnya. Sebagai konsekuensi biologis, hubungan seksual selalu merupakan ungkapan keterbukaan pada keturunan atau anak. Demikianlah hubungan seksual memiliki kaitan yang sangat erat dengan prokreasi. Sekalipun demikian, Bernard Häring mengingatkan:
“Hubungan seksual dilakukan tidak hanya didorong oleh cinta perkawinan yang pada prinsipnya terarahkan pada prokreasi saja, sehingga hubungan seksual menjadi tanpa arti jika tindakan itu dalam kenyataannya sebenarnya tidak meneruskan kehidupan atau tidak bermaksud meneruskan kehidupan. Sang Pencipta telah mengatur segala sesuatu, termasuk bahwa pasangan suami-istri itu harus melakukan hubungan seksual sebelum seorang anak dikandung. Dari sini kita dapat menarik kesimpulan bahwa maksud Sang Pencipta ialah bahwa pelayanan terhadap kehidupan serentak merupakan pelayanan yang lebih intensif kepada kesetiaan timbal balik.” 


Kesetiaan timbal balik itu secara resmi ditempatkan dan diteguhkan di dalam pernikahan. Sebab, “Di dalam perkawinan laki-laki dan perempuan saling mengikat di dalam satu persekutuan, yang cocok agar mereka saling memberikan kehangatan dan rasa betah, memuaskan dambaan seksual pasangan sebagaimana juga menghasilkan keturunan dan memungkinkan pendidikan anak.” 


3.2. Pandangan Kitab Suci tentang Hubungan Seksual di Luar Pernikahan
Pada kenyataannya pandangan Kristiani tentang hubungan seksual di luar pernikahan sangat dipengaruhi oleh ajaran Kitab Suci, secara khusus Perjanjian Baru (PB) menyangkut hal ini. Dituliskan dalam Perjanjian Lama (PL) bahwa prostitusi kultis atau profan ditentang secara keras (Im 19:29; Ul 23:18-19; Sir 9:6; Yer 5:8; Am 2:7). PL menuliskan bahwa seandainya seorang perempuan dinikahi oleh seorang laki-laki lalu diketahui tidak perawan lagi, maka perempuan itu harus dirajam (Ul 22:21). Namun, PL tidak mencatat adanya larangan umum bagi para laki-laki untuk hubungan seksual pra-nikah. 
PB menolak secara keras setiap bentuk percabulan (porneia) dan melihatnya sebagai hal yang bertentangan dengan kebenaran Kerajaan Allah. Kitab Injil mencatat bahwa Kristus memasukkan percabulan bersama perceraian ke dalam daftar kejahatan yang berasal dari hati, dan Dia pun menajiskannya (Mat 15:19-20; Mrk 7:21-23). Surat-surat Paulus berkali-kali mengecam tindakan seksual amoral. Paulus tampaknya lebih sering berbicara tentang percabulan (porneia) daripada tentang perceraian atau perselingkuhan (moikheia). Dalam 1Kor 7:1-2, Paulus menilai bahwa sebenarnya baik kalau seorang laki-laki tidak beristri. Namun, karena bahaya porneia, maka setiap laki-laki sebaiknya memiliki istri dan setiap perempuan memiliki suami. Paulus tampaknya mau menegaskan bahwa hubungan seksual hanya boleh terjadi di dalam pernikahan. 

3.3. Pandangan Tradisi Gereja tentang Hubungan Seksual di Luar Pernikahan
Konsili Vatikan II menyadari bahwa martabat pernikahan dan keluarga mendapat tantangan besar karena maraknya “poligami, malapetaka perceraian, apa yang disebut percintaan bebas, dan cacat-cedera lainnya. Selain itu cinta perkawinan cukup sering dicemarkan oleh cinta diri, gila kenikmatan dan ulah-cara yang tidak halal melawan timbulnya keturunan.” Oleh karena itu, Konsili bermaksud menjelaskan berbagai pokok ajaran Gereja tentang martabat perkawinan dan keluarga, agar hal itu dapat “menerangi serta meneguhkan umat Kristiani dan semua orang, yang berusaha membela dan mengembangkan martabat asli maupun nilai luhur dan kesucian status perkawinan.” (Gaudium et Spes, 47)
Pada 29 Desember 1975 “Kongregasi Suci Ajaran Iman” mengeluarkan deklarasi yang berkaitan dengan etika seksual, Persona Humana. Artikel VII dokumen tersebut menegaskan bahwa hubungan seksual mesti dilakukan di dalam pernikahan karena hal itu merupakan perwujuan cinta suci, seperti perwujudan cinta Kristus dalam jemaat-Nya. Dalam pernikahan, cinta seksual antara pasangan laki-laki dan perempuan menjadi teguh dalam komunitas yang hidup. Selain itu, dalam pernikahan, anak – buah dari hubungan seksual – akan hidup di tengah lingkungan yang mantap sehingga ia dapat bertumbuhkembang secara baik. 
Dalam buku informasi dan referensi Iman Katolik yang dikeluarkan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), ditegaskan bahwa seks haruslah dihormati sebagai sesuatu yang manusiawi. Seks bukanlah naluri alam yang harus mendapatkan pelepasan, melainkan bagian hidup yang pantas dibina, dididik, dan dikembangkan, penuh nilai dan kasih. Oleh karena itu, seks bukan urusan yang diserahkan kepada kehendak orang perorangan, melainkan menuntut tanggung jawab sosial. Kelakuan seksual menyangkut relasi antar-manusia. Maka nilai perilaku seksual pertama-tama menyangkut hubungan hati. 
Menurut ajaran moral Katolik, sebagaimana ditulis dalam Iman Katolik, hubungan seksual (sanggama) mendapat tempatnya yang tepat dan wajar dalam pernikahan, sebab hanya dalam hubungan mantap dan pribadi antara suami dan istri hubungan seksual itu dapat menjadi ungkapan jujur bagi kasih dan penyerahan. Sebaliknya dalam pernikahan, hubungan pribadi dikuatkan dan dikembangkan oleh tindakan hubungan seksual dalam kasih dan penyerahan. 
  

IV. PENUTUP

Hubungan seksual seharusnya merupakan tindakan unitif laki-laki dan perempuan sebagai perwujudan cinta yang sejati, karena itu hubungan seksual mestinya dilakukan di dalam pernikahan. Selain itu, hubungan seksual juga merupakan tindakan prokreatif, artinya tindakan membuka diri bagi keturunan atau anak, sebagai perwujudan mitra kerja Allah dalam penciptaan dan pemeliharaan kehidupan. 
Namun, perkembangan zaman sekarang ini menunjukkan bahwa makna hakiki dari hubungan seksual telah tergerus. Hubungan seksual menjadi sekadar tindakan untuk kepuasan hedonis, oleh karena itu banyak kaum muda masa kini melakukan hubungan seksual sekalipun di luar pernikahan. Perilaku kaum muda semacam itu, tidak dapat dipungkiri, merupakan suatu bentuk pelecehan bagi nilai luhur dan kesucian pernikahan dan hidup berkeluarga.
Bagaimana pun upaya mengatasi persoalan hubungan seksual di luar pernikahan pada kaum muda tidaklah semudah seperti kita membalikkan telapak tangan. Upaya mengatasi persoalan ini menghadapi tantangan pelik dan sistemik (maksudnya saling berkaitan) seiring dengan kemajuan zaman, terutama kemajuan teknologi informasi. Kemajuan teknologi informasi masa kini tampaknya menumbuhkan mentalitas hedonisme pada kaum muda. Mentalitas hedonisme ini kemudian bertumbuh menjadi gaya hidup, termasuk gaya hidup dalam pergaulan antar-lawan jenis, lebih tepatnya gaya hidup dalam berpacaran. Maka, seiring dengan perkembangan fisik (khususnya seksualitas) dan psikis pada kisaran usianya, pasangan kaum muda yang bergaya pacaran dengan mentalitas hedonisme akan tidak segan untuk melakukan hubungan seksual di luar pernikahan.
Upaya mengatasi persoalan hubungan seksual di luar pernikahan pada kaum muda tampaknya perlu melibatkan banyak pihak yang masih memegang teguh dan terus berjuang untuk nilai luhur dan kesucian pernikahan dan hidup berkeluarga. Pihak-pihak tersebut tentu saja tidak terkecuali ialah lembaga pendidikan. Bukan saja memberikan pendidikan tentang seksualitas manusia, tapi yang lebih penting ialah pendidikan nilai-nilai yang berkaitan dengan seksualitas manusia. Barangkali di sinilah pentingnya disiplin teologi moral Kristiani menyumbang kepada dunia pendidikan Indonesia.

Hendri M. Sendjaja


KEPUSTAKAAN

Dokumen:
Dokumen Konsili Vatikan II, terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Dok. Pen. KWI, 1993.

Konferensi Waligereja Indonesia. Iman Katolik: Buku Informasi dan Referensi. Yogyakarta: Kanisius, dan Jakarta: Penerbit Obor, 2000.

Sacred Congregation for the Doctrine of the Faith. Persona Humana: Declaration on Certain Questions Concerning Sexual Ethics, art. VII, http://www.vatican.va/roman_curia/congregations/cfaith/ documents/rc_con_cfaith_doc_19751229_persona-humana_en.html (diakses 09 Nov 2008).

Buku-buku:
Eminyan, Maurice. Teologi Keluarga, terj. J. Hadiwiratno. Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Gunawan, F.X. Rudy.Mendobrak Tabu: Seks, Kebudayaan, dan Kebejatan Manusia. Yogyakarta: Galang Press, 2000.

Krabill, Willard S. “Pemberian dan Perkawinan,” dalam Anne K. Hershberger, ed. Seksualitas: Pemberian Allah, terj. B.H. Nababan, dan P. Lumbantobing. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008.

Kusmaryanto, C.B. Tolak Aborsi: Budaya Kehidupan Versus Budaya Kematian. Yogyakarta: Kanisius, 2006.

Mönk, F.J., A.M.P. Knoers, dan Siti Rahayu Haditono. Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006.

Peschke, Karl-Heinz. Etika Kristiani. Jilid III: Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi, terj. Alex Armanjaya. Maumere: Penerbit Ledalero, 2003.

Shelton, Charles M. Spiritualitas Kaum Muda: Bagaimana Mengenal dan Mengembangkannya, terj. Y. Rudiyanto. Yogyakarta: Kanisius, 1995.

Artikel-artikel:
Arixs, “Apa Bedanya: “Kawin” – “Nikah” – “Married” – “Merit”?,” dalam http://cybertokoh.com/ mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=3352 (diakses 10 November 08). 

“Berhubungan Intim di Usia Belia,” dalam http://www.rileks.com/konsultasi/109-berhubungan-intim-di-usia-belia.html (diakses 11 November 2008).

Darwisyah, Siti Rokhmawati. “Seksualitas Remaja Indonesia,” dalam http://situs.kesrepro.info/krr/ krr03.htm (diakses 26 Oktober 2008).

Kartika, Lily Bertha. “Survei: Remaja Indonesia Punya Pengalaman Seks Sejak Usia 16,” dalam Kompas Cyber Media, 28 Januari 2005, http://www2.kompas.com/kesehatan/news/0501/28/ 064217.htm (diakses 10 November 2008).

Martopo, Didik Joko. “Sex Pranikah dan Aborsi,” dalam http://www.bkkbn.go.id/ceria/ma36sekspra nikah.html (diakses 11 November 2008).

“The Philosophy of Love,” dalam Koran Tempo, 20 Februari 2005, http://wap.korantempo.com/ view_details.php?idedisi=1694&idcategory=90&idkoran=34041&y=2005&m=02&d=20 (diakses 10 November 2008).

Saraswati,Widya. “Bila Seks Pranikah Dianggap Lumrah..!,” dalam Kompas Cyber Media, 30 Oktober 2002, http://www2.kompas.com/kesehatan/news/0210/30/214613.htm (diakses 09 November 2008).

“Setiap Jam Terjadi 300 Aborsi di Indonesia,” dalam Antara News, 23 November 2006, http://www.antara.co.id/print/?id=1164281786 (diakses 11 November 08).

Jumat, 16 Januari 2009

PEWARTAAN INJIL DALAM KONTEKS MASYARAKAT INDONESIA



Dalam konteks masyarakat Indonesia, pewartaan Injil yang dilaksanakan oleh Gereja, sebagai wujud partisipasi di dalam misi Allah (missio Dei), berlangsung melalui suatu proses kontekstualisasi dengan mengikuti dinamika misteri inkarnasi, Paskah, dan Pentakosta.


I. Pengantar: Konteks Masyarakat Indonesia

“Asia merupakan benua yang terluas di bumi, dan dihuni oleh hampir duapertiga penduduk dunia, sedangkan Cina dan India mempunyai hampir separuh penduduk bumi. Ciri yang paling mempesonakan pada benua itu ialah keaneka-ragaman bangsa-bangsanya, yang ‘mewarisi kebudayaan-kebudayaan, agama-agama dan tradisi yang serba kuno’….
Perihal pengembangan ekonomi, situasi-situasi di benua Asia banyak berbeda-beda …. Berbagai negeri berkembang maju sekali; negeri-negeri lain berkembang melalui kebijakan-kebijakan ekonomi yang efektif, sedangkan negeri-negeri lainnya masih terdapat dalam kemelaratan yang sungguh nista, bahkan termasuk bangsa-bangsa yang paling miskin di dunia.” 

Kutipan di atas hendak menunjukkan realitas konteks Asia pada umumnya. Tiga realitas menjadi ciri konteks masyarakat Asia, yakni: kemajemukan agama, kemajemukan budaya, dan kemiskinan.

Sebagai salah satu negara di Asia, Indonesia tidak terlepas dari ketiga realitas di atas. Indonesia merupakan negeri yang jumlah penduduknya tercatat sebagai keempat besar di dunia – setelah Cina, India dan Amerika Serikat – yakni: 205,8 juta jiwa (menurut Sensus Penduduk 2000). Masyarakat Indonesia terdiri atas lebih dari 1000 etnis atau subetnis, sehingga dapat dikatakan corak pluri-etnis dan pluri-budaya mewarnai realitas konteks Indonesia. Selain itu, corak pluri-agama juga mewarnai konteks Indonesia. 

Kemiskinan tampaknya masih menjadi kenyataan hidup banyak warga Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2007 sebesar 37,17 juta jiwa. Jumlah penduduk miskin itu merupakan 16,58% dari seluruh penduduk Indonesia. 
Dalam konteks masyarakat Indonesia seperti itu, Gereja hadir dan mewartakan Injil. Gereja menyadari, ada tantangan besar yang mesti dihadapi. Pada satu sisi Gereja menyadari bahwa keberadaannya di tengah masyarakat Indonesia merupakan panggilan Allah yang penuh rahmat dalam pemenuhan rencana keselamatan Allah. Itu berarti, Gereja di Indonesia – yang tak dapat dielakkan kebanyakan mendapat pengaruh dari misi Kristiani Barat di masa lalu – seharusnya meyakini bahwa Allahlah yang sebenarnya menghendaki keberadaannya dalam ruang lingkup Indonesia. Dengan keyakinan ini, Gereja di Indonesia mestinya mampu hidup dan berkarya secara otentik demi pemenuhan rencana keselamatan Allah. Pada sisi lain, Gereja di Indonesia menyadari bahwa keberadaannya tidak terlepas dari realitas konteks Indonesia itu sendiri. Gereja hadir di tengah realitas masyarakat Indonesia yang pluri-agama, pluri-budaya, dan masih diwarnai kemiskinan. Maka, tantangan besar yang dihadapi Gereja ialah bagaimana pewartaan Injil dapat berlangsung secara kontekstual.

II. Pewartaan Injil, Gereja, dan Misi Allah (Missio Dei)

“Gereja mempunyai kesadaran yang hidup mengenai kenyataan bahwa kata-kata Sang Penebus, ‘Aku harus memberitakan Injil Kerajaan Allah’, berlaku juga sebenarnya untuk Gereja. … Mewartakan Injil sesungguhnya merupakan suatu rahmat dan panggilan yang khas bagi Gereja, merupakan identitasnya yang terdalam. Gereja ada untuk mewartakan Injil ….” 

Pewartaan Injil merupakan hakikat dari kehidupan Gereja. Tanpa pewartaan Injil yang awalnya dilakukan oleh Yesus Kristus, maka Gereja pada gilirannya tidak akan ada. Dalam karya Roh Kudus, pewartaan Injil mendorong kelahiran dan pertumbuhan persekutuan umat (communio) baru, yang selanjutnya disebut Gereja, sehingga dengan dan bersama communio itu, rencana keselamatan Allah di dunia ini mewujud-nyata. 
Perlu ditegaskan di sini, dengan mengacu pada pewartaan Injil yang dilakukan Yesus, ‘pewartaan Injil’ seharusnya dipahami sebagai upaya ‘memberitakan Kabar Baik Kerajaan Allah’ (“eunggeliosathtai me dei tēn basileian tou theou” – Luk 4:43). Itu berarti Kerajaan Allah merupakan pusat pewartaan Injil. Karl Rahner menegaskan bahwa Gereja tidaklah identik dengan Kerajaan Allah. Maka, pewartaan Injil pada hakikatnya bukanlah upaya memperluas institusi/denominasi Gereja – karena (institusi/denominasi) Gereja bukan pusat pewartaan! Pewartaan Injil merupakan upaya memperluas kehidupan dalam Kerajaan Allah sebagaimana Yesus telah nyatakan. Bagi Gereja, ‘memperluas kehidupan dalam Kerajaan Allah sebagaimana Yesus telah nyatakan’ pada gilirannya berarti mewujud-nyatakan dan menumbuh-kembangkan kehidupan dan persekutuan yang di dalamnya kekuasaan dan rahmat Allah mewujud-nyata (bdk. Luk 4:18-21). Ini sebenarnya merupakan wujud partisipasi Gereja di dalam misi Allah (missio Dei). Jürgen Moltmann menuliskan: 
“It is not the church that has a mission of salvation to fulfil to the world; it is that mission of the Son and the Spirit through the Father that includes the church, creating a church as it goes on its ways. … The Church participates in Christ’s messianic mission and in creative mission of the Spirit." 

Patut dicatat, gagasan tentang misi Allah (missio Dei) muncul pertama kali pada Konferensi International Missionary of Council (IMC) di Willingen (1952). Konferensi itu mengaitkan misi dengan hakikat Allah Tritunggal. Misi pertama-tama dipahami sebagai aktivitas Allah Tritunggal, bukan aktivitas Gereja. Aktivitas misioner Gereja menandakan bahwa Gereja turut serta di dalam misi Allah (missio Dei).  

III. Proses Kontekstualisasi, dan Dinamika Misteri Inkarnasi, Paskah dan Pentakosta
Dalam rangka mengemban misi Allah di Indonesia, Gereja mewartakan Injil di tengah masyarakat yang bercorak pluri-agama, pluri-budaya dan masih diwarnai kemiskinan. Di sini pewartaan Injil mestinya berlangsung secara dialogis dengan konteks masyarakat setempat. Dengan perkataan lain, pewartaan Injil mestinya berlangsung melalui proses kontekstualisasi dengan mengikuti dinamika misteri inkarnasi, Paskah dan Pentakosta.

3.1. Proses Kontekstualisasi
Dalam lingkungan misiologi, kata ‘kontekstualisasi’ pertama kali diperkenalkan oleh Theological Education Fund (TEF) pada 1972. TEF – dibentuk IMC dalam konferensinya di Ghana pada 1957-1958 – menuliskan:
“Kontekstualisasi bukanlah semata-mata mode atau semboyan melainkan suatu kebutuhan teologis yang dituntut oleh sifat Firman yang telah menjadi daging di dunia. … Kontekstualisasi mencakup segala sesuatu yang tersirat dalam istilah ‘pempribumian’, namun lebih dalam daripada itu. Kontekstualisasi berkaitan dengan penilaian kita terhadap konteks-konteks dalam Dunia Ketiga. Istilah ‘pempribumian’ cenderung dipergunakan dalam pengertian menanamkan Injil ke dalam suatu budaya tradisional. Sedangkan kontekstualisasi dengan tidak mengabaikan konteks-konteks budaya, memperhitungkan juga proses sekularisasi, teknologi dan perjuangan manusia demi keadilan, yang menjadi ciri saat ini dalam sejarah bangsa-bangsa Dunia Ketiga.” 

Menurut Stephen B. Bevans, istilah ‘kontekstualisasi’ memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan istilah-istilah lainnya. Istilah ‘kontekstualisasi’ memperluas dan sekaligus memperbaiki istilah lama. Istilah ‘pempribumian’ memusatkan perhatian melulu pada matra budaya pengalaman manusia, sedangkan kontekstualisasi memperluas pemahaman tentang kebudayaan sehingga mencakup persoalan-persoalan sosial, politik dan ekonomi. 
Dalam banyak dokumen, Gereja Katolik Roma lebih memakai istilah ‘inkulturasi’ daripada ‘kontekstualisasi’. E. Martasudjita mengartikan ‘inkulturasi’sebagai: “suatu proses yang terus-menerus dalam mana Injil diungkapkan ke dalam suatu situasi sosio-politis dan religius-kultural dan sekaligus Injil itu menjadi daya dan kekuatan yang mengubah dan mentransformasikan situasi tersebut dan kehidupan orang-orang setempat.” Dengan definisi ini, Martasudjita tampaknya mau memperluas makna inkulturasi, yakni tidak hanya terpusat pada persoalan budaya, tetapi juga mencakup persoalan-persoalan sosial dan politik. Menurut kami, definisi dari Martasudjita ini dapat diterapkan juga untuk istilah ‘kontekstualisasi’. Dengan demikian kita tidak lagi memperdebatkan istilah mana yang lebih tepat: apakah inkulturasi atau kontekstualisasi.

3.2. Mengikuti Dinamika Misteri Inkarnasi
Injil Yohanes 1:14 menyatakan: “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita” (“Kai ólogos sarx egeneto kai eskēnosen en hemin”). Dari kutipan prolog Injil Yohanes ini, kita mengetahui bahwa Firman telah berubah (egeneto) menjadi “sesuatu yang tidak ilahi” (ditunjukkan dengan kata sarx). Yohanes memakai ungkapan “diam di antara kita” – di mana kata Yunani ‘diam’: eskēnosen berasal dari kata skēnoō, secara harfiah berarti ‘berkemah’ – untuk menunjukkan kedekatan Firman itu sekarang dengan manusia. Dengan kata ‘diam’ atau ‘berkemah’, kita pun teringat pada kisah kehadiran YHWH dalam kemah suci di tengah bangsa Israel yang sedang berjalan menuju Kanaan (Kel 40:34-38). 
Pewartaan Injil yang berlangsung secara dialogis yakni melalui proses kontekstualisasi mendapatkan pijakannya dengan mengikuti misteri inkarnasi. Itu berarti pewartaan Injil mesti merupakan tanda kedekatan Firman dengan konteks kehidupan manusia. Konsekuensinya, pewartaan Injil pertama-tama bukan berbicara tentang “dunia di sana dan nanti” tetapi “dunia di sini dan sekarang ini”. Dalam konteks masyarakat Indonesia, pewartaan Injil berarti berdialog di dalam dan dengan realitas pluri-agama, pluri-budaya, dan kemiskinan. Memakai bahasa Choan Seng Song, pewartaan Injil dengan mengikuti misteri inkarnasi merupakan upaya Gereja “bersaksi bagi penderitaan Allah dalam penderitaan manusia, mengekspresikan harapan Allah dalam harapan manusia, menyampaikan dukacita Allah dalam dukacita manusia, menunjukkan kemarahan Allah dalam kemarahan manusia … menggemakan tawa Allah dalam tawa manusia.” 

3.3. Mengikuti Dinamika Misteri Paskah
Theological Advisory Commission FABC menjelaskan bahwa dalam kehidupan Yesus, misteri inkarnasi bergerak menuju penderitaan, kematian dan kebangkitan. Dengan pemberian diri secara penuh dan kenosis secara total, dalam ketaatan dan cinta, Yesus menjadi sumber kehidupan dan persekutuan yang baru. Maka misteri Paskah merupakan hukum dan makna bagi aktivitas misioner Gereja.  
Dengan mengikuti dinamika misteri Paskah, Gereja yang mewartakan Injil Kerajaan Allah mesti turut terlibat di dalam pergumulan manusia. Di sini Gereja mestinya memberi diri secara penuh dan melakukan kenosis secara total, dalam ketaatan dan cinta, demi kehidupan dan persekutuan baru. Gereja berupaya mewujud-nyatakan dan menumbuh-kembangkan kehidupan dan persekutuan yang di dalamnya kekuasaan dan rahmat Allah mewujud-nyata. Upaya ini tentu tidaklah mudah karena tampaknya banyak unsur menjadi penghalang dan perusak kehidupan dan persekutuan yang baru. Ketidakmudahan ini merupakan “salib” yang harus dipikul Gereja, “the cost of discipleship,” kata Dietrich Bonhoeffer. 

3.4. Mengikuti Dinamika Misteri Pentakosta
Menurut J.M.R. Tillard, peristiwa Pentakosta, sebagaimana dicatat Lukas dalam Kisah Para Rasul, merupakan pembalikan dari peristiwa Menara Babel. Pada abad pertama Bapa-bapa Gereja telah menunjuk adanya kesejajaran tipis dengan kontras yang tajam antara kisah Pentakosta (Kis 2:1-13) dan kisah Menara Babel (Kej 11:1-9). Kontras dengan kekacauan bahasa dan keterpisahan umat manusia dalam kisah Menara Babel, kisah Pentakosta justru mengungkapkan keterpahaman bahasa dan kesatuan umat manusia. Pada waktu Pentakosta, perbedaan bahasa-bahasa – simbol dari keterpisahan umat manusia – tidak lagi bersifat memisahkan, melainkan disatukan untuk memahami Firman. Maka, dengan Pentakosta terbentuklah persekutuan baru, communio semua orang.
Dengan mengikuti dinamika misteri Pentakosta, Gereja mewartakan Injil di tengah konteks masyarakat demi mewujud-nyatakan dan menumbuh-kembangkan kehidupan dan persekutuan yang baru. Di sini dialog menjadi relevan dan signifikan dalam aktivitas misioner Gereja. Namun seperti ditegaskan oleh S. Wesley Ariarajah, dialog mestinya pertama-tama bukanlah usaha menyelesaikan konflik yang terjadi di tengah masyarakat, melainkan usaha membangun suatu masyarakat yang saling bergaul, penuh cinta dan bernalar. Dialog merupakan upaya menyelami masalah yang menyebabkan ketidakrukunan dan konflik di tengah masyarakat. Dalam rangka itu, dialog membutuhkan penelitian, analisis, pengamatan serius, dan kemampuan memerangi berbagai tantangan destruktif bagi perwujudan communio semua orang.

IV. Penutup: Membangun Komunitas Dialogis di tengah Masyarakat Indonesia
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang bercorak pluri-agama, pluri-budaya, dan masih diwarnai oleh kemiskinan, Gereja mewartakan Injil melalui proses kontekstualisasi dengan mengikuti misteri karya Allah Tritunggal Mahakudus sebagaimana dinyatakan dalam misteri inkarnasi, Paskah, dan Pentakosta. Proses kontekstualisasi yang didorong, diarahkan dan dijiwai oleh Injil Kerajaan Allah itu berlangsung hingga terwujudnya kehidupan dan persekutuan (communio) yang baru, yang di dalamnya kekuasan dan rahmat Allah mewujud-nyata. Maka, Gereja di Indonesia mestinya mulai membangun komunitas dialogis di tengah masyarakat, komunitas yang saling bergaul dalam cinta dan ketaatan kepada Allah. Upaya ini tentunya memaksa Gereja untuk berbenah diri: membuang jauh mentalitas triumfalistik dan sungguh meneladani Kristus sebagai pewarta Injil yang pertama yang memberi diri secara penuh dan melakukan kenosis secara total. 
Membangun komunitas dialogis seharusnya dimulai dari dalam Gereja itu sendiri. Ini berarti Gereja sungguh mesti memiliki kesadaran ekumenis. Bagaimana mungkin Gereja dapat mewartakan Injil di tengah masyarakat jika pada dirinya sendiri masih hidup dengan keterpisahan? Tidaklah keliru jika aktivitas misioner Gereja tertuju pula pada dirinya sendiri.
Last but not least, membangun komunitas dialogis di tengah masyarakat Indonesia seharusnya merupakan wujud praktis dari kesadaran ekumenis secara luas. Bagaimana mungkin Gereja mewartakan Injil tanpa sungguh-sungguh membangun komunitas dialogis? Di sini jelas, relasi misi dan dialog menjadi tak terpisahkan.

Hendri M. Sendjaja



KEPUSTAKAAN

Dokumen:
Dokumen Konsili Vatikan II, terj. R. Hardawiryana, Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta 2004.
Dupuis, Jacques,“Gereja, Kerajaan Allah, dan ‘Umat Lain’,” dalam Dokumen Sidang-sidang Federasi Konferensi-konferensi para Uskup se-Asia 1992-1995, terj. R. Hardawiryana, Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta 1997.
Evangelii Nuntiandi, artikel 14; Evangelii Nuntiandi (Mewartakan Injil), Seri Dokumen Gerejawi No. 6, terj. R. Hardawiryana, Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta 2008, 15.
Gereja di Asia, Paus Yohanes Paulus II: Anjuran Apostolik Pasca Sinodal, New Delhi 6-11-1999, Seri Dokumen Gerejawi No. 57, terj. R. Hardawiryana, Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta 2000, 16, 18.

Buku:
Ariarajah, S. Wesley. 2008. Tak Mungkin Tanpa Sesamaku: Isu-isu dalam Relasi Antar-Iman, terj. Nico A. Likumahuwa, BPK Gunung Mulia, Jakarta.
Bevans, Stephen B. 2002. Model-model Teologi Kontekstual, terj. Yosef Maria Florisan, Penerbit Ledalero, Maumere.
Bosch, David J. 1997. Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah, terj. Stephen Suleeman, BPK Gunung Mulia, Jakarta.
Choan, Seng Song. 1993. Sebutkanlah Nama-nama Kami: Teologi Cerita dari Perspektif Asia, terj. Yohanna Sidarta, BPK Gunung Mulia, Jakarta.
Hesselgrave, David J., dan Edward Rommen. 1995. Kontekstualisasi: Makna, Metode dan Model, terj. Stephen Suleeman, BPK Gunung Mulia, Jakarta.
Moltmann, Jürgen. 1977. The Church in the Power of the Spirit, SCM Press LTD, London.
Olla, Paulinus Yan. 2008. Dipanggil Menjadi Saksi Kristus: Spiritualitas Misioner dalam Teologi Spiritual. Kanisius, Yogyakarta.
Theological Advisory Commission FABC. 1995. “Tesis-tesis tentang Gereja Lokal: suatu Refleksi Teologis dalam Konteks Asia,” dalam Georg Kirchberger (ed.), Gereja Berwajah Asia, Nusa Indah, Ende. 
Tillard, J.M.R. 1992. Church of Churches: the Ecclesiology of Communion, trans. R.C. de Peauc. The Liturgical, Collegeville.
Suryadinata, Leo, dkk., 2003. Penduduk Indonesia: Etnis dan Agama dalam Era Perubahan Politik, LP3ES, Jakarta.

Artikel:
ANTARA News, “Penduduk Miskin per Maret 2007 Turun 2,13 juta,” dalam http://www.antara.co.id/ print/?i=1183389898 (diakses 06 Desember 08).
Martasudjita, E. “Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal,” Diktat Catatan Matakuliah Teologi Inkulturasi pada Program Magister Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta 2008, 9 (tidak diterbitkan).

Senin, 05 Januari 2009

MELAYANI DENGAN CAKAP

I. PENGANTAR

Tulisan ini merupakan pengembangan dari kertas kerja pada perkuliahan Teologi Kepemimpinan Gereja. Pertanyaan pokok dalam pengembangan kertas kerja tersebut ialah: “Bagaimana menjadi imam/pewarta dan pemimpin umat: di Indonesia, di tahun-tahun 2000-an; dalam Gereja Yesus Kristus di dunia …; bagi Injil Yesus Kristus?” Secara singkat, jawaban kami atas pertanyaan itu ialah: “Dalam konteks dunia yang berubah cepat sekarang ini, seorang pemimpin jemaat tertahbis melayani umat dengan segala kecakapannya, terutama kecakapan spiritual, kecakapan intelektual, dan kecakapan pastoral, sehingga pewartaan Injil Yesus Kristus mewujud-nyata di dalam kehidupannya sendiri, jemaat dan masyarakat.” 
 
II. KECAKAPAN PEMIMPIN JEMAAT TERTAHBIS DALAM DUNIA YANG BERUBAH CEPAT SEKARANG INI

“Dunia terus berlari, tanpa meninggalkan citra dan ‘jejak-jejak ketuhanan’ di belakangnya,” demikian tulis Yasraf Amir Piliang dalam bukunya Dunia yang Berlari: Mencari “Tuhan-tuhan” Digital. Ungkapan ‘dunia yang berlari’ sebelumnya pernah dipakai oleh Anthony Giddens sebagai judul bukunya: The Runaway World. Dengan ungkapan ini Giddens hendak melukiskan bahwa kecepatan pertumbuhan dunia itu tidak sejalan dengan “pertumbuhan” manusianya. Piliang menggunakan ungkapan ini hampir sama pengertiannya dengan Giddens. Bagi Piliang, ungkapan ‘dunia yang berlari’ merupakan metafora yang mengungkapkan perkembangan dunia yang sedemikian cepat, karena arus perubahan yang hipercepat. Lebih lanjut Piliang menuliskan:

“Arus perubahan hipercepat ... telah mengurung masyarakat global di dalam sebuah dunia yang tidak pernah berhenti berlari; tidak pernah menurunkan tempo produksinya; tidak pernah mengurangi kecepatan inovasinya; tidak pernah mengurangi tempo konsumsinya; tidak pernah mengurangi kecepatan informasinya; tidak pernah mengurangi kecepatan pergantian produk, gaya dan gaya hidupnya; tidak pernah beristirahat sejenak; tidak pernah merenung dan refleksi diri, yang di dalamnya manusia harus menyesuaikan dirinya dengan arus kecepatan dunia tersebut; yang di dalamnya tidak ada lagi waktu untuk ‘mengingat’ nama Tuhan.” 

Pemimpin jemaat tertahbis (selanjutnya ditulis PJT) sekarang ini hidup dan berkarya dalam konteks dunia sebagaimana digambarkan Piliang di atas. Ketika melayani umat, PJT menghadapi tantangan-tantangan baru yang tidak ringan. Agar pesan Injil Yesus Kristus sungguh sampai dan mewujud-nyata di dalam kehidupannya sendiri, jemaat dan masyarakat, maka PJT mesti melayani umat dengan segala kecakapannya, terutama: kecakapan spiritual, kecakapan intelektual, dan kecakapan pastoral.


2.1. Kecakapan Spiritual

Kecakapan spiritual tentunya berkaitan erat dengan spiritualitas seorang PJT. Menurut Alister E. McGrath, spiritualitas merupakan bagian dari kehidupan iman dan menyangkut apa yang memberi semangat terhadap kehidupan umat beriman. Spiritualitas tidak sekadar berbicara tentang ide-ide, melainkan suatu cara bagaimana kehidupan iman dipahami serta dihayati. Dalam bahasa Robert Hardawiryana, spiritualitas merupakan: “sikap dasar praktis atau eksistensial orang beriman; merupakan konsekuensi dan ekspresi kesadaran eksistensi religiusnya; mencakup cara-caranya ia biasanya beraksi dan bereaksi selama hidupnya menurut pendirian hidup rohani besarta keputusan-keputusannya yang objektif terdalam”.

Maka, seorang PJT yang memiliki kecakapan spiritual pertama-tama sadar bahwa menjadi PJT itu merupakan tanggapan iman atas panggilan Kristus. Menjadi PJT bukanlah sekadar mengisi lowongan pekerjaan atau menempati profesi tertentu, melainkan sungguh merupakan suatu tanggapan eksistensial sebagai orang beriman. Ini tentu menuntut pemberian diri secara penuh, bahkan pengosongan diri (kenosis) secara total, sebagaimana Kristus telah melakukannya, sehingga pelayanan yang dilaksanakannya tidak melulu menjadi – mengutip Henri J.M. Nouwen – “pekerjaan dengan jam kerja pukul delapan sampai pukul lima, akan tetapi pertama-tama adalah jalan hidup”. Untuk itu seorang PJT akan terus-menerus memelihara relasi yang akrab dengan Allah di dalam Kristus.

Namun, PJT juga mesti sadar bahwa menjadi PJT juga merupakan tanggapan atas panggilan yang bersifat insani. Menjadi PJT berarti tidak semata-mata hidup di dalam realitas rohani, melainkan juga di dalam realitas insani. Maka, kecakapan spiritual menunjuk pada kemampuan diri berelasi dengan sekaligus Yang ilahi dan konteks kehidupan yang insani. Tanggapan iman atas panggilan Allah tertuju tidak hanya pada persoalan rohani, tetapi terutama pada pergumulan manusiawi. Roderick Strange menuliskan, “Ketika panggilan imamat dipahami sekaligus sebagai panggilan manusiawi dan ilahi, kita sadar bahwa kenyataan itu membuka diri kita untuk membangun relasi dengan diri kita sendiri, dengan Tuhan, dan dengan sesama.” 

Dalam konteks dunia yang berubah cepat sekarang ini, kecakapan spiritual menjadi signifikan, terutama dalam menghadapi tendensi “penggersangan simbolik” (symbolic drain), yakni menghampanya “kebudayaan”, termasuk di dalamnya aktivitas-aktivitas keagamaan dan hidup sehari-hari, dari makna-makna yang dalam. Seorang PJT yang memiliki kecakapan spiritual akan selalu menampilkan wajah “kebudayaan” dengan makna-makna yang dalam. Aktivitas-aktivitas keagamaan dan hidup sehari-hari tak lepas dari pemaknaannya. Aktivitas-aktivitas itu tidak hanyut dalam bahaya rutinisme dan formalisme, tetapi sebaliknya mendapatkan muatan spiritual berupa makna-makna yang dalam. Henri J.M. Nouwen menyebut orang yang memiliki kecakapan seperti ini sebagai “seorang kontemplatif”. 

“Seorang kontemplatif tidak haus atau serakah mencari kontak-kontak manusia. Ia dipimpin oleh suatu visi yang ia temukan yang jauh lebih bermakna daripada yang dipikirkan oleh dunia yang posesif ini. Ia tidak terombang-ambing oleh mode yang sesaat saja karena ia mempunyai hubungan dengan yang paling dasar, inti dan mutlak.” 

2.2. Kecakapan Intelektual
PJT mestilah seorang yang memiliki kecakapan intelektual sebab dengan kecakapan ini ia dapat melayani umat secara efektif dan kreatif. Melayani secara efektif dan kreatif berarti melayani dengan tepat sasaran dan bersifat menggerakkan umat. Maka, seorang PJT pertama-tama mestilah memiliki kemampuan “menentukan suatu nada bersama untuk bekerja sama”. Nada bersama itu tidak lain ialah visi bersama (shared vision). 

Selain dapat merumuskan visi bersama, seorang PJT mesti mampu mengilhamkan umat agar bergerak bersamanya demi pencapaian visi bersama. Di sini PJT tampil baik sebagai pembawa atau pemegang “impian” (baca: visi bersama) maupun sebagai pendorong perubahan. Untuk itu, PJT mesti menjadi seorang yang terus-menerus belajar agar ia semakin akurat membaca perubahan, mengantisipasi masa depan, dan mempengaruhi serta menggerakkan umat yang dipimpinnya. 

Jadi, kecakapan intelektual hanya dapat diperoleh melalui kebiasaan belajar. Seorang PJT bukanlah sekadar bi(a)sa mengajar, tetapi juga biasa belajar. Belajar di sini tentu tidak harus selalu formal, bisa juga informal, yakni belajar dari realitas kehidupan. Barangkali yang terakhir ini seharusnya mendapatkan perhatian lebih, karena bagaimana pun belajar dari realitas kehidupan bersifat faktual dan kontekstual. Berkaitan dengan belajar ini, PJT mau tidak mau mesti merupakan seorang yang gemar membaca baik teks (tulisan) maupun konteks (realitas kehidupan).

2.3. Kecakapan Pastoral
 Kecakapan pastoral berkaitan erat dengan kemampuan PJT dalam menggembalakan umat dengan baik. Menurut Thomas P. Sweetser, menggembalakan dengan baik mengandung suatu campuran atau gabungan antara memimpin (leading) dan mengatur (managing), namun dengan proporsi lebih pada kepemimpinan daripada pengaturan. Memimpin adalah menolong umat untuk menentukan ke mana ia akan pergi, apa yang akan merupakan visi dan masa depannya. Jika tujuan sudah ditentukan, maka pengaturan adalah kombinasi dari semua yang harus dilakukan dan diperoleh untuk tujuan tersebut.  

Dalam kaitannya pengaturan, PJT mesti mengusahakan keseimbangan yang sehat antara aktivitas hidup pribadi dan aktivitas pelayanan jemaat. Sweetser menegaskan bahwa sebaiknya seorang pastor mengatur dan menentukan suatu muatan kerja yang wajar. Ia menuliskan:

“Dua belas jam sehari, enam hari seminggu itu terlalu banyak untuk siapa pn. Lebih baik menemukan dengan tepat apa yang penting, dan sisanya biarkanlah atau salurkan kepada orang lain. Tak penting berapa lamanya orang bekerja, sebab tak pernah cukup memenuhi tuntutan-tuntutan umat maupun komunitas yang lebih luas.” 

Kecakapan pastoral tampaknya menyangkut upaya pengenalan dan persahabatan PJT dengan umatnya. Bagaimana pun, pengenalan dan persahabatan dengan umat merupakan pokok penting dalam upaya penggembalaan yang baik. Yesus berkata: “Akulah gembala yang baik dan Aku mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba-Ku mengenal Aku” (Yoh 10:14). Jadi, sebagaimana Yesus Sang Gembala berhubungan dengan domba-domba-Nya dalam pengenalan dan persahabatan yang akrab, demikian juga seharusnya PJT berhubungan dengan umatnya. Di sini kegiatan perkunjungan kepada umat (“cura animarum” – harfiah: “penyembuhan jiwa-jiwa”) menjadi relevan dan signifikan untuk dilakukan oleh PJT. Seorang PJT yang memiliki kecakapan pastoral pastilah melaksanakan “cura animarum”. 

Berkaitan dengan kecakapan pastoral menyangkut relasi antara PJT dan umat, seorang PJT sudah seharusnya memiliki kemampuan komunikasi empatik. Komunikasi empatik, atau “komunikasi yang dilandasi kesadaran untuk memahami dengan perasaan, kepedulian dan perhatian”, perlu digalakkan dalam konteks masyarakat sekarang ini, menimbang bahwa – seperti diungkapkan oleh Idi Subandy Ibrahim – komunikasi ini semakin sirna di era “keberlimpahan komunikasi”. 

“Manusia kontemporer mempunyai perilaku berbicara terlalu banyak tapi sebenarnya tanpa menyampaikan makna. Manusia kontemporer juga menyaksikan dan mendengar begitu banyak berita tapi tanpa merasakan makna. Semakin banyak kita mendengarkan komentar politisi atau komentator politik mengenai suatu isu, tanpa sikap kritis, tak jarang kita bingung dibuatnya. Semakin sering kita menyaksikan acara-acara hiburan di televisi, tanpa sikap selektif, semakin kita tidak tahu apa sebenarnya yang ingin kita peroleh dari aktivitas itu. Semakin banyak kita menyerap informasi dari media semakin kita tidak tahu apa arti itu semua bagi kehidupan.” 

Dengan komunikasi empatik, seorang PJT akhirnya dapat menjalin pengenalan dan persahabatan secara lebih mendalam. Komunikasi empatik merupakan suatu langkah untuk berbela-rasa. Komunikasi ini selalu dimulai dengan mendengarkan kawan bicara. Jalaluddin Rumi pernah berkata: “Karena untuk berbicara orang harus lebih mendengarkan, belajarlah bicara dengan mendengarkan.” Jadi, PJT seharusnya lebih banyak mendengarkan umat daripada berbicara, supaya ketika ia berbicara, maka apa yang dibicarakannya itu sungguh bermakna bagi kehidupan umat.


III. PENUTUP: MELAYANI DENGAN CAKAP DEMI INJIL YESUS KRISTUS
Pewartaan Injil merupakan hakikat dari kehidupan Gereja. Tanpa pewartaan Injil yang awalnya dilakukan oleh Yesus Kristus, maka Gereja pada gilirannya tidak akan ada. Dalam karya Roh Kudus, pewartaan Injil mendorong kelahiran dan pertumbuhan persekutuan umat (communio) baru, yang selanjutnya disebut Gereja, sehingga dengan dan bersama communio itu, rencana keselamatan Allah di dunia ini mewujud-nyata.

Dalam konteks dunia yang berubah cepat, pewartaan Injil mendapatkan tantangan-tantangan besar. Namun, itu tidak berarti lantas Gereja tidak mewartakan Injil Yesus Kristus. Bagaimana pun, Gereja mesti terus mewartakan Injil selama ia hadir di dunia ini. Maka, pemimpin jemaat tertahbis (PJT) seharusnya melayani dengan cakap di tengah jemaat dan masyarakat seiring perubahan dunia yang berlangsung cepat. 

Hendri M. Sendjaja


KEPUSTAKAAN
Chandra, Robby I., Ketika Pemimpin Harus Menghadapi Perubahan, Bina Media Informasi, Bandung 2005.

Hardawiryana, Robert, Spiritualitas Imam Diosesan Melayani Gereja di Indonesia Masa Kini, Kanisius, Yogyakarta 2000.

Ibrahim, Idi Subandy, Sirnanya Komunikasi Empatik: Krisis Budaya Komunikasi dalam Masyarakat Kontemporer, Pustaka Bani Quraisy & Fiskontak, Bandung 2004.

Kieser, Bernhard, “Agar Kisah-Nya Diteruskan: Suatu Wacana Teologi Mengenai Presbiter sebagai Jabatan dalam Gereja,” Diktat Kuliah Teologi Kepemimpinan Gereja, Program Magister Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2006.

Lobinger, Fritz, Menjadi Sama dengan Saudara dan Saudarinya: Pemimpin-pemimpin Jemaat Tertahbis, diterjemahkan oleh Yosef Maria Florisan, dari Like His Brother and Sisters: Ordaining Community Leaders, Penerbit Obor & LPBAJ, Jakarta & Maumere 2000. 

McGrath, Alister E., Spiritualitas Kristen: Sebuah Introduksi, diterjemahkan dari Christian Spirituality: An Introduction, Bina Media Perintis, Medan 2007.

Nouwen, Henri J.M., Pelayanan yang Kreatif, diterjemahkan oleh A. Hari Kustana, dkk., dari Creative Ministry, Kanisius, Yogyakarta 1997.

Nouwen, Henri J.M., Yang Terluka Yang Menyembuhkan: Pelayanan dalam Masyarakat Modern, diterjemahkan dari The Wounded Healer: Ministry in Contemporary Society, oleh Christina, dkk., Kanisius, Yogyakarta 2000.

Piliang, Yasraf Amir, Dunia yang Berlari: Mencari “Tuhan-tuhan” Digital, Grasindo, Jakarta 2004.

Strange, Roderick, The Risk of Discipleship: Imamat Bukan Sekadar Selibat, diterjemahkan oleh ESTI St. Paulus, Kanisius, Yogyakarta 2007.

Sweetser, Thomas P., Paroki sebagai Perjanjian: Undangan Berpastoral Bersama sebagai Mitra, diterjemahkan dari The Parish as Covenant: A Call to Pastoral Partnership, oleh F.X. Hadisumarta, Dioma, Malang 2005.

Jumat, 11 Juli 2008

DOKTRIN TRINITAS: SUATU PEMAHAMAN

“O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya!” (Roma 11:33)

“Adalah sulit membayangkan Allah, merumuskan-Nya dalam kata-kata adalah suatu kemustahilan…. Dalam pandangan saya, tidak mungkin mengungkapkan Dia dan lebih tidak mungkin lagi membayangkan-Nya.” (Gregory Nazianzus, c.a. 329-390)[1]



INILAH seharusnya yang menjadi kesadaran kita bahwa “yang terbatas tidak mampu menampung Yang Tak-Terbatas” – finitum non capax Infiniti. Allah senantiasa lebih besar daripada setiap konsep dan gambaran yang dapat dibuat oleh manusia. Akal manusia tidak dapat menjangkau realitas Allah secara sempurna dan tuntas. Bahasa manusia pun terbatas untuk mengungkapkan Dia, tidak dapat menampung realitas-Nya. Deus semper maior.

Tidak dapat dielakkan, Trinitas adalah doktrin[2] Kristiani yang misterius dan membingungkan. Doktrin ini menimbulkan perdebatan-perdebatan, baik dari pihak orang Kristiani sendiri maupun non-Kristiani. Akibatnya, beberapa orang menilai bahwa doktrin ini lebih baik ditiadakan saja. Berikut ini beberapa alasan dari mereka:

(1) Doktrin Trinitas lahir dari konteks zaman Patristik yang sarat dengan pengaruh Helenisme. Ada jarak yang begitu jauh antara konteks zaman Patristik dengan konteks zaman masa kini; dan alam pemikiran manusia masa kini pun sangat berbeda. Doktrin Trinitas dianggap sudah tidak relevan lagi dengan alam pemikiran masa sekarang.

(2) Doktrin Trinitas mengundang serangan dari pihak non-Kristiani, sehingga dinilai tidak cukup menciptakan suasana dialog. Contoh serangan dari pihak non-Kristiani: Hasbullah Bakry dalam bukunya Nabi Isa dalam Al-quran dan Nabi Muhammad dalam Bijbel (1959, 1961)[3] menuliskan:

“Diantara bukti2 kelantjangan tangan orang2 Nasrani itu ialah ajat2 jang menjatakan ketuhanan nabi Isa jang terdapat dalam kitab Indjil jang ada sekarang. Selain itu orang Nasrani djuga menafsirkan ajat2 Taurat dan Indjil terlalu bebas sehingga djuga mempertuhankan Marijam.

Mereka djuga menggabungkan Allah, Isa dan Djibril sebagai Tuhan kesatuan sehingga Allah hanja merupakan Tuhan jang ketiga sadja dari gabungan itu (Trinitas). Djuga keterlaluan mereka jang menganggap Isa itu sebagai anak Allah.”

Dalam bukunya, Keesaan Tuhan Menurut Ajaran Kristen dan Islam (Jakarta, Media Dakwah, 1983), H. M. Arsyad Thalib Lubis menyerang habis-habisan ajaran tentang Trinitas dan ketuhanan nabi Isa. Dasar argumentasinya adalah kepercayaan bahwa “tiada Tuhan selain Allah.” Kepercayaan Kristiani akan Allah yang Tritunggal dan ajaran tentang keallahan Kristus dianggap sebagai penyembahan tiga Allah atau dengan perkataan lain, menduakan atau menyekutukan Allah.

(3) Doktrin ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan kritis yang sulit dijawab dari orang-orang Kristiani sendiri. Contoh pertanyaan-pertanyaan:

- Setelah Yesus dibaptis, langit terbuka dan Yesus melihat Roh Allah seperti burung merpati turun ke atas-Nya, lalu terdengarlah suara dari Sorga: “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.” (Mat 3:16-17//Mrk 1:10-11//Luk 3:21-22//Yoh 1:32-34) Pertanyaan: bagaimana penjelasan tentang tiga “tokoh” (Yesus, Roh Allah, Suara dari Sorga atau Allah) yang tampil bersamaan itu?

- Sebelum ditangkap, Yesus berdoa di taman Getsemani: “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.” (Mat 26:36-dst.//Mrk 14:32-dst.//Luk 22:39dst.) Pertanyaan: kalau Yesus adalah Allah, maka sebenarnya Yesus berdoa kepada siapa?

- Sebelum mati, Yesus berseru dengan suara nyaring: “Eli, Eli lama sabakhtani? – Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat 27:46) Pertanyaan: kalau Yesus adalah Allah, maka apakah itu berarti Yesus berseru kepada diri-Nya sendiri?

Tulisan ini berangkat dari pandangan bahwa doktrin Trinitas tidak dapat tidak ada dalam kristianitas. Doktrin Trinitas merupakan suatu keunikan kristianitas yang signifikan bagi kehidupan dunia. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah: gereja melaksanakan pembelajaran tentang doktrin Trinitas bagi umat.

Sebenarnya pembelajaran tentang Doktrin Trinitas mencakup pemahaman, penghayatan, dan penerapan tentang Trinitas. Tulisan ini mengambil bagian hanya pemahaman tentang Trinitas. Itulah sebabnya titik berat paparan terletak pada sejarah pembentukan doktrin Trinitas. Pada bagian akhir tulisan, penulis membuat semacam benang merah untuk upaya pemahaman Trinitas.

I. Sejarah Pembentukan Doktrin Trinitas

Pembentukan Doktrin Trinitas tidak terlepas dari sejarah kepercayaan orang Yahudi. Kita sadar, kekristenan lahir di Israel, dan ini berkaitan erat dengan hidup dan karya Yesus Kristus. Menurut Kisah Para Rasul 11:26: “Di Antiokhialah murid-murid untuk pertama kalinya disebut Kristen (khristianoi).” Kata ‘Kristen’ ini berarti: ‘pengikut Kristus’.[4]

Untuk mendapatkan gambaran historis yang dapat diikuti, maka paparan sejarah pembentukan Doktrin Trinitas dimulai dari paham Allah sebagaimana yang dihayati “orang Israel (Yahudi) Perjanjian Lama (PL)”.[5]

1. Dimulai dari Paham Allah Israel

Orang Israel PL memahami dan menghayati Allah sebagai “Yang-Transenden-dan-Imanen”.[6] Pemahaman dan penghayatan ini tampak di sana-sini di dalam PL.

Dalam 1Raj 8:27, tampak jelas suatu penggambaran Allah Yang Transenden, yang kehadiran-Nya tidak dapat tertampung oleh sesuatu apapun di jagat raya ini, termasuk Bait Suci.

“Tetapi benarkah Allah hendak diam di atas bumi? Sesungguhnya langit, bahkan langit yang mengatasi segala langit pun tidak dapat memuat Engkau, terlebih lagi rumah yang kudirikan ini.”

Allah Yang Transenden juga tidak dapat dikurung oleh waktu. Dia memiliki ketetapan dan kesetiaan yang tidak pernah berlalu. Tulis Yes 48:12: “Dengarlah Aku, hai Yakub, dan engkau Israel yang Kupanggil! Akulah yang tetap sama, Akulah yang terdahulu, Akulah juga yang terkemudian!”

Kategori utama dalam PL yang menyatakan transendensi Allah adalah kesadaran akan kekudusan. Kekudusan adalah kekhasan hakikat Allah yang membedakan Dia dari segala sesuatu yang ada di dunia. “Kudus, kudus, kuduslah TUHAN semesta alam, seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya!” demikian Yes 6:3. Dari kesadaran akan kekudusan Allah ini, orang Israel memahami bahwa siapa pun yang memandang atau berbicara dengan Allah Yang Transenden, ia akan mati atau celaka (Kel 3:5-6; Kel 20:20; Yes 6:5). Pada gilirannya kesadaran akan kekudusan Allah mengharuskan orang Israel untuk hidup kudus pula (lihat: Im 17-26; 19:2; 20:26).

Selain gambaran Allah Yang Transenden, PL tampaknya juga memberikan gambaran Allah Yang Imanen. Gambaran Allah yang hadir di dalam kehidupan manusia ini terungkap melalui kesaksian orang Israel yang hidup bersama Allah. Contohnya kesaksian Yakub. Ketika memberkati Efraim dan Manasye, anak-anak Yusuf, Yakub berkata:

“Nenekku dan ayahku, Abraham dan Ishak, telah hidup di hadapan Allah; Allah itu, sebagai Allah yang telah menjadi gembalaku selama hidupku sampai sekarang, dan sebagai Malaikat yang telah melepaskan aku dari segala bahaya, Dialah kiranya yang memberkati orang-orang muda ini sehingga namaku serta nama nenek dan bapaku, Abraham dan Ishak, termasyhur oleh karena mereka dan sehingga mereka bertambah-tambah menjadi jumlah yang besar di bumi.” (Kejadian 48:15-16)

Allah Yang Imanen adalah Allah yang terlibat di dalam sejarah kehidupan ciptaan-Nya. Dia bukanlah Allah yang duduk diam di singgasana kebesaran-Nya. Dia hadir di dalam ciptaan-Nya (Ayub 37), sangat peka akan penderitaan umat-Nya.

“Akulah TUHAN, Aku akan membebaskan kamu dari kerja paksa orang Mesir, melepaskan kamu dari perbudakan mereka dan menebus kamu dengan tangan yang teracung dan dengan hukuman-hukuman yang berat. Aku akan mengangkat kamu menjadi umat-Ku dan Aku akan menjadi Allahmu, supaya kamu mengetahui bahwa Akulah, TUHAN, Allahmu, yang membebaskan kamu dari kerja paksa orang Mesir. Dan Aku akan membawa kamu ke negeri yang dengan sumpah telah Kujanjikan memberikannya kepada Abraham, Ishak dan Yakub, dan Aku akan memberikannya kepadamu untuk menjadi milikmu; Akulah TUHAN.” (Kel 6:5-7)

Kategori utama dalam PL yang menyatakan imanensi Allah adalah kesadaran akan kedekatan. Kedekatan ini dirasakan orang Israel melalui sejarah kehidupan mereka. Orang Israel PL tidak memandang peristiwa-peristiwa kehidupan dunia sebagai tampilan yang telanjang begitu saja. Mereka menyelaminya lantaran peristiwa-peristiwa kehidupan (dipandang) memuat makna yang kaya. Inilah yang disebut “pemaknaan hidup”. Pemaknaan hidup ini menggiring mereka kepada kesadaran akan kedekatan Allah, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi ciptaan-Nya, bahwa Allah itu baik, kasih-setia-Nya untuk selama-lamanya (Mzm 136). Gambaran kedekatan Allah dalam PL antara lain terdapat di dalam Hos 2:18; Yes 46:3-4; 49:14-16; 66:13.

2. Dipertajam oleh Kesaksian Hidup dan Karya Yesus

Sejarah bangsa Israel dalam Kitab Suci penuh dengan tragedi dan penderitaan. Paling tidak kita dapat menunjukkannya melalui penaklukan dan penjajahan bangsa-bangsa asing atas Israel. Berturut-turut: Asyur, Babilonia, Persia, Yunani, Romawi, berhasil menaklukkan dan menjajah Israel.[7]

Dalam masa tragis dan sengsara tersebut, di Israel, berkembang apa yang dinamakan tradisi apokaliptik.[8] Secara sederhana, tradisi ini menggambarkan pertentangan antara kekuatan yang jahat dan yang baik, antara gelap dan terang.[9] Penggambaran realitas yang cenderung dualisme ini mengisyarat-kan suatu jeritan pengharapan umat akan Allah Yang-Transenden-dan-Imanen. Umat berharap, Allah Yang-Transenden-dan-Imanen itu mau membebaskan mereka dari tragedi dan penderitaan.

Pengharapan umat secara konkret adalah berupa “kedatangan seorang Raja Damai.” Raja ini diharapkan mampu membebaskan umat dan membawa umat ke dalam keselamatan atau shalom (Yes 11:1-10; Mikha 5). Ia disebut sebagai antara lain: Mesias, Anak Manusia, Anak Daud, Anak Allah.

Pengharapan akan Mesias terus berlangsung sampai pada zaman Yesus.[10] Ini bisa dipahami lantaran pada masa Yesus Israel tetap di bawah penaklukan dan penjajahan Romawi. Tampaknya pengharapan akan Mesias berkembang ke arah hal-hal politis (yang bersifat partikular), yakni pengharapan akan kehadiran “tokoh” yang mampu memulihkan Israel. Oleh karena itu, pada masa Yesus dan sesudahnya, banyak tokoh pergerakan politis menggembar-gemborkan kedatangan mesias, bahkan mengaku diri sebagai tokoh mesianis.[11]

Yesus adalah salah seorang yang pada gilirannya dianggap sebagai Mesias, paling tidak oleh para murid-Nya (Mat 16:13-20//Mrk 8:27-30//Luk 9:18-21). Awalnya Yesus dianggap sebagai Mesias dalam pengertian partikular untuk bangsa Israel (lihat: Mat 20:2-28//Mrk 10:35-45; Kis 1:6). Hal ini bisa dipahami karena Yesus memang berjuang untuk kedamaian bangsanya melalui khotbah-khotbah, perbuatan-perbuatan ajaib (mujizat), dan juga proklamasi penentangan apapun bentuk penindasan yang melahirkan penderitaan, baik yang dilakukan oleh pelaku dan institusi pemerintah maupun pelaku dan institusi keagamaan. Tidak jarang Yesus pun menyatakan diri-Nya sebagai pemenuhan kabar baik Kerajaan Allah (bdk. Luk 4:18-21; Mat 11:2-6//Luk 7:18-23). Pada perkembangan kemudian Yesus pun dianggap sebagai Mesias dalam pengertian universal untuk dunia (Yoh 3:16). Pergeseran anggapan ini merupakan hasil dari perenungan (refleksi) para murid atas hidup dan karya Yesus. Dalam hal ini, Yesus menjadi Kristus (Khristos, bhs. Yunani: ‘Yang Diurapi’). “Pemberita Injil Kerajaan Allah” itu telah menjadi “Yang Diberitakan”, The Proclaimer Became the Proclaimed.[12] Di dalam Yesus Kristus, Allah telah menyatakan diri-Nya, telah melawat umat-Nya (Luk 7:16; 19:44).

Sejak pergeseran anggapan tentang Yesus tersebut, orang-orang yang disebut Khristianoi atau Kristen (Kristiani) merumuskan pengakuan imannya: “Yesus Kristus adalah Tuhan.” (Flp 2:11; 1Kor 12:3) Inilah pengakuan iman Kristiani yang mula-mula. Bagi Paulus, pengakuan iman ini dimungkinkan karena pekerjaan Roh Allah saja (1Kor 12:3). Dari sini kita melihat bagaimana refleksi umat Kristiani sampai kepada pengakuan akan ketuhanan Yesus Kristus dan pengakuan akan pekerjaan Roh Allah atau Roh Kudus.

Lebih lanjut Paulus menyatakan imannya demikian: “Sebab dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allahan.” (Kol 2:9) Maka berkembanglah Kristologi, pemahaman ke-Allahan di dalam diri Yesus Kristus. Penulis Injil Yohanes kemudian mengungkapkan “Kristologi dari atas”, yang mana Yesus Kristus dipahami sebagai Firman Allah yang telah menjadi manusia, sebagai penyataan Allah di dunia (Yoh 1:1, 14, 18). Bagi Penulis Yohanes, hubungan antara Yesus Kristus dan Allah itu satu:

“Barangsiapa percaya kepada-Ku, ia bukan percaya kepada-ku, tetapi kepada Dia, yang telah mengutus Aku; dan barangsiapa melihat Aku, ia melihat Dia, yang telah mengutus Aku.” (Yoh 12:44-45)

“Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan, yang Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu.” (Yoh 17:22)

Perihal keterkaitan dengan Roh Kudus, bagi Penulis Yohanes Roh Kudus itu adalah Penolong lain, Penghibur (Yunani: Parakletos) yang dijanjikan Yesus Kristus. Roh Kudus dinyatakan sebagai Roh Kebenaran yang akan menyertai dan tinggal di dalam para pengikut Kristus. (Yoh 14:15-26)

Pada perkembangan selanjutnya, Gereja Mula-mula mulai memasukkan rumusan liturgis yang menyatakan pengakuan iman akan Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus (2Kor 13:13; Mat 28:19). Kemudian Penulis 1Yohanes (5:7) menegaskan sebagai berikut: “Sebab ada tiga yang memberi kesaksian [di dalam sorga: Bapa, Firman dan Roh Kudusl dan ketiganya adalah satu...]”

3. Diperdebatkan oleh Orang Yahudi

Sekitar pertengahan abad kedua, Justinus, menulis buku Dialog. Buku itu merupakan dialog antara seorang Kristen (Justinus sendiri) dengan seorang Yahudi yang bernama Trypho. Dalam buku itu, Trypho menegaskan keberatan orang Yahudi terhadap iman Kristiani. Menurut Trypho, orang-orang Kristiani mengkhianati iman para nabi akan Allah Yang Esa. Orang-orang Kristiani dicap sebagai pengkhianat monoteis Israel.[13]

4. Dirumuskan oleh Bapa-bapa Gereja

Berbagai upaya dilakukan oleh Bapa-bapa Gereja menghadapi keberatan-keberatan yang diajukan oleh kalangan Yahudi. Upaya ini didukung oleh pengaruh pemikiran filosofis Yunani, terutama Platonisme dan Neo-Platonisme. Akibatnya, argumen-argumen tentang Allah Tritunggal beragam dan mengundang perdebatan-perdebatan yang lain. Sebagai contoh: Justinus memahami Allah Tritunggal secara subordinasianis: Anak dan Roh bergantung dari Bapa; Anak melaksanakan tugas perutusan yang diberikan oleh Bapa; Roh menyelesaikan tugas Anak. Subordinasianisme ini nyata dalam rumusan seperti yang kita temukan dalam Doa Syukur Agung Justinus: “Hormat dan pujian bagi Bapa alam semesta melalui nama Putra dan Roh Kudus.” Kata ‘melalui’ memperlihatkan pikiran bahwa Putra (Anak) dan Roh Kudus merupakan pengantara yang bergantung dari Bapa. Selain Justinus, Origenes dan Arius dapat digolongkan sebagai penganut subordinasianisme.[14]

Ada suatu kelompok Kristiani Mula-mula yang sangat prihatin akan keesaan Allah. Mereka berharap keesaan Allah tidak dikhianati oleh pengakuan iman Kristiani. Oleh karena itu mereka berusaha mencari jalan, bagaimana hubungan khusus Yesus dengan Allah bisa dipikirkan tanpa membahayakan keesaan absolut Allah. Dua macam jawaban yang mereka ajukan – itulah sebabnya kemudian mereka dibagi atas dua golongan.[15]

Golongan pertama adalah monarkianisme dinamis. Golongan ini berpendapat bahwa Yesus merupakan manusia biasa, tetapi Allah melengkapi-Nya dengan suatu kekuatan (dunamis) istimewa. Pelengkapan itu terjadi pada peristiwa pembaptisan Yesus di Sungai Yordan, atau ketika Yesus ditinggikan Allah dalam peristiwa kebangkitan. Jadi, Yesus hanya diangkat sebagai Anak Allah, tanpa sungguh sebagai Allah. Karena ada proses pengangkatan (adopsi), maka golongan ini pun dikenal dengan sebutan adopsianisme. Pendukung golongan ini antara lain: Paulus dari Samosata. Pada tahun 269, paham seperti ini ditolak oleh sebuah sinode di Antiokhia.

Golongan kedua adalah monarkianisme modalis (kata Latin modus berarti ‘cara’). Menurut golongan ini, Yesus adalah suatu cara Allah menyatakan diri. Sambil mau mempertahankan keesaan absolut Allah, golongan ini meyakini bahwa Yesus sungguh-sungguh Allah, karena hanya sebagai Allah, Ia bisa menyelamatkan dunia. Golongan ini mengajarkan bahwa Bapa, Anak, dan Roh Kudus hanya merupakan nama atau cara penampakan (prosopa, topeng) yang berbeda dari Allah yang sama.[16]

Di atas dikatakan, Arius termasuk penganut subordinasianisme. Sebenarnya peran Arius lebih besar lagi dalam pemahaman subordinasianis ini. Ia berusaha mensistematisasi subordinasianisme. Ia sangat dipengaruhi oleh Platonisme yang menganggap Allah yang esa dan tertinggi itu tinggal jauh di dalam transendensi yang tak terhampiri, dan Allah seperti itu tidak bisa berhubungan dengan dunia. Bagi Arius, Logos (Anak) tidak mungkin adalah Allah yang benar, karena jika Logos itu Allah yang benar, maka ia tidak bisa menjadi manusia. Dengan demikian, Arius menyangkali keilahian Yesus Kristus.

Pertentangan hebat pun timbul di dalam Gereja gara-gara paham Arianisme ini. Tiga Sinode partikular di Afrika berusaha menyelesaikan konflik ini. Dari ketiga sinode itu, dua setuju dengan Arianisme, satu menolak. Akhirnya, karena kuatir terjadi perpecahannya, Kaisar Konstantinus mengumpulkan semua uskup dari bagian Timur kekaisarannya di Nicea, agar mereka bersama-sama berunding dan mengambil keputusan mengenai ajaran yang dikemukakan Arius. Dengan demikian, pada tahun 325, di Nicea terjadi sinode yang terbilang sebagai konsili ekumenis yang pertama dalam sejarah Gereja.

Konsili Nicea memutuskan batas-batas paham Allah Tritunggal. Melawan segala godaan triteisme, Konsili menegaskan keesaan absolut Allah. Terhadap subordinasianisme, Konsili menegaskan keilahian yang benar dari Anak (Yesus Kristus). Rumusan pengakuan iman hasil Konsili Nicea adalah sebagai berikut:[17]

“Kami percaya dalam satu Allah, Bapa yang Mahakuasa, Pencipta segala sesuatu yang kelihatan dan yang tidak kelihatan;

Dan di dalam satu Tuhan Yesus Kristus, Anak Allah, dilahirkan dari Bapa, hanya diperanakkan, yaitu dari substansi Bapa, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah yang sejati dari Allah yang sejati, dilahirkan bukan diciptakan, berasal dari satu substansi dengan Bapa, melalui Siapa segala sesuatu ada, segala sesuatu yang baik yang di sorga maupun yang di bumi, yang oleh sebab kita manusia dan demi keselamatan kita, turun dan menjelma, menjadi manusia, menderita dan bangkit lagi pada hari yang ketiga, naik ke sorga, dan akan datang untuk menghakimi yang hidup dan yang mati.

Dan di dalam Roh Kudus.”

Konsili Nicea tampaknya tidak mengakhiri perdebatan dengan Arianisme. Malah dengan Nicea, kontroversi mulai mencapai keseriusannya. Kaisar Konstantinus pada waktu itu puas dengan penandatanganan pengakuan iman Nicea, tetapi membiarkan interpretasi kepada masing-masing. Athanasius tercatat sebagai Bapa Gereja yang berjuang menegakkan hasil Konsili Nicea. Untuk itu, Athanasius pernah mengalami pengasingan sebanyak lima kali. Bagi sejarah doktrin Trinitas, Athanasius terutama memiliki dua makna. Pertama, ia makin menjadi sadar akan pentingnya memahami homo-ousios Nicea bukan hanya sebagai ucapan mengenai keilahian penuh Anak, tetapi juga maknanya bagi keesaan absolut Allah. Kesadarannya yang radikal mendorong Athanasius mengatakan seperti ini: “Sesungguhnya Ia menjadi manusia, agar kita boleh menjadi Allah.”[18]

II. Dari Pengalaman sampai Pemikiran: Teologi Induktif menjadi Teologi Deduktif

Uraian sejarah pembentukan doktrin Trinitas di atas sengaja diakhiri dengan pernyataan kesadaran Athanisius. Jelas kepada kita, bahwa Gereja Mula-mula lebih hidup dengan penghayatan ketimbang penalaran; atau pengalaman ketimbang pemikiran akan Trinitas. Ini merupakan manifestasi dari upaya berteologi (doing theology) secara induktif: berangkat dari penghayatan dan pengalaman iman dan hidup. Namun kemudian, ketika penghayatan dan pengalaman itu terhubung dengan orang lain (yang barangkali berkepercayaan lain), maka mau tidak mau penghayatan dan pengalaman iman dan hidup itu (atau teologi induktif) harus dinyatakan secara konkret. Inilah yang penulis sebut sebagai “pembahasaan penghayatan dan pengalaman iman dan hidup”. Dengan ini pula, kembali harus disadari bahwa pembahasaan itu selalu mengandung kelemahan dan kekurangan. Yang jelas, ketika pembahasaan itu menghasilkan (antara lain) suatu rumusan pengakuan iman, maka rumusan itu akan mendorong upaya berteologi yang deduktif. Jadi, upaya berteologi yang deduktif tampaknya harus selalu mendapat peringatan, bahwa rumusan apapun dari teologi induktif tidak dapat dibakukan; apalagi diabsolutkan.

Doktrin Trinitas merupakan hasil upaya berteologi secara induktif. Oleh karena itu, ia sebaiknya “diuji” dalam kehidupan. Demikianlah iman kita menjadi “iman yang mencari pemahaman”, fides quaerens intellectum.


Hendri M. Sendjaja

CATATAN AKHIR:

[1] Gregory Nazianzus, Oratio xxviii, iv, dalam Nicene and Post Nicene Fathers, seri kedua, Vol. VII, hlm. 289.
[2] Istilah ‘doktrin’ menunjuk pada suatu perangkat prinsip dasar bagi pembentukan kepercayaan, teori atau kebijakan. Pada Abad ke-14, melalui bahasa Perancis, kata Latin doctrina berarti “pembelajaran” dari doktor. Jadi, kata ‘doktrin’ dan ‘doktor’ mempunyai keterkaitan. Dengan demikian, sifat doktrin lebih kepada penalaran. Berdasarkan uraian Kuntadi Sumadikarya, “Trinitas dan Pendidikan Agama Kristen,” (naskah untuk Penuntun, akan diterbitkan).
[3] Buku ini pernah menjadi bahan pelajaran perbandingan agama bagi para mahasiswa dan pelajar-pelajar di perguruan-perguruan tinggi, akademi-akademi, dan lembaga-lembaga Islam Tinggi dan Menengah (Tsanawiyah) di seluruh Indonesia. Berdasarkan tulisan Andar Tobing, Apologetika tentang Trinitas, Djakarta: BPK Gunung Mulia, 1972, hlm. 10.
[4] Tom Jacobs menjelaskan bahwa pengertian ‘pengikut Kristus’ ini dapat menunjuk kepada tiga hal: (1) pengikut seorang budak – oleh karena itu tidak sangat terhormat; (2) penganut agama atau ajaran Kristus; (3) pengikut gerakan mesianik. Lihat: Tom Jacobs, Siapa Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru, Yogyakarta: Kanisius, ,1993, hlm. 9-10.
[5] Penulisan “orang Israel (Yahudi) Perjanjian Lama (PL)” menunjuk kepada orang-orang Israel sebagaimana digambarkan di dalam Kitab Suci (secara khusus PL).
[6] Istilah ‘Yang Transenden’ (transenden – bhs. Latin: ‘mengatasi’) dipahami sebagai Allah yang “ada”-Nya melampaui jagat raya dan tidak dapat disamakan dengannya. Sementara istilah ‘Yang Imanen’ (imanen – bhs. Latin: ‘tinggal dalam’) dipahami sebagai Allah yang “hadir” di mana pun dan dalam segala sesuatu (lihat Mzm 139). Kalau tidak dilengkapi dengan paham transendensi ilahi, paham mengenai Yang Imanen dapat jatuh ke dalam panteisme. Berdasarkan: Gerald O’Collins dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 114, 337.
[7] Lihat: Abba Eban, Sejarah Ringkas Umat Israel, terj. Lembaga Biblika Indonesia (Ende: Nusa Indah, 1978).
[8] Kata ‘apokaliptik’ (bhs. Yunani: ‘menyingkapkan’) merujuk kepada sesuatu yang sebelumnya tersembunyi tetapi kini telah disingkapkan. Lihat: D.S. Russell, Penyingkapan Ilahi: Pengantar ke dalam Apokaliptik Yahudi, terj. Ioanes Rakhmat (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), hlm. 19.
[9] Russel, Ibid., hlm. 137; bdk. Lawrence E. Toombs, Di Ambang Fajar Kekristenan, terj. Jan S. Aritonang (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978), hlm. 129.
[10] Sampai pada masa kini pun, orang Yahudi tetap memiliki pengharapan akan kedatangan Mesias.
[11] John Stambaugh dan David Balch mengungkapkan bahwa pada abad pertama muncul pemimpin-pemimpin kharismatis di berbagai bagian provinsi di Israel dan harapan-harapan akan pembebasan segera dari dominasi Romawi dibakar oleh khotbah-khotbah kenabian dan sastra apokaliptik yang meramalkan kemenangan orang-orang Yahudi di bawah seorang Mesias yang akan datang. Selanjutnya banyak orang mengangkat diri sebagai mesias dalam rangka perjuangan politis melawan penguasa Romawi. Salah seorang di antara mereka adalah Shimon bar-Koshiba yang disebut juga Bar-Kokhba (‘Putra Bintang’), tokoh mesianis yang kemudian dicap gagal dalam perjuangannya. John Stambaugh dan David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula, terj. Stephen Suleeman (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), hlm. 19-22.
[12] Rudolf Bultmann, Theology of the New Testament, Vol. 1 (London: SCM Press, 1952), hlm. 33.
[13] Georg Kirchberger, Allah: Pengalaman dan Refleksi dalam Tradisi Kristen, Maumere: LPBAJ, 2000, hlm. 128.
[14] Ibid., hlm. 134.
[15] Ibid., hlm. 135-136.
[16] Dalam buku Jalan Keselamatan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998, hlm. 59), Werner Pfendsack dan H.J. Visch menuliskan sebuah analogi tentang Allah Tritunggal, yang tidak lain dapat menggiring kepada pemahaman monarkianisme modalis. Di sana dituliskan: “Bapa, Anak dan Roh Kudus, yang juga adalah merupakan Allah yang esa, yang benar dan kekal. Soal yang sulit ini dapat kita umpamakan misalnya dengan matahari. Melihat matahari, dapat kita bedakan: 1. besarnya, 2. terangnya, 3. panasnya, padahal kita selalu mengingat kepada matahari yang satu.”
[17] Dikutip dari Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, terj. A.A. Yewangoe (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), hlm. 65-66.
[18] Lohse, Ibid., hlm. 70-76.