Sabtu, 17 Januari 2009

HUBUNGAN SEKSUAL DI LUAR PERNIKAHAN PADA KAUM MUDA DI BEBERAPA KOTA BESAR, INDONESIA: SUATU PANDANGAN TEOLOGI MORAL KRISTIANI



I. PENGANTAR


“Dok, saya perempuan usia 16 tahun mengapa jika saya melakukan hubungan seks terasa sakit dan saya sudah tidak perawan lagi karena saya telah sering melakukan hubungan seks dengan pacar saya. Tetapi setiap kali saya melakukannya terasa sakit, kenapa ya dok...please jawab ya.”
(Nindya, Bandung)

Pernyataan di atas merupakan salah satu cuplikan konsultasi via email dari seorang muda yang bernama Nidya – entah nama sebenarnya atau tidak – dari Bandung, kepada “dr. Love” alias dr. Wei Siang Yu, seorang pakar medis, khususnya dalam bidang bio-communication, dan pembicara kelas dunia di berbagai konferensi medis dan talkshow kesehatan. Nidya, remaja berumur 16 tahun, telah berani berkonsultasi secara terbuka mengenai apa yang telah dilakukannya berkali-kali dengan pacarnya, yakni hubungan seksual. Ia tampaknya hanyalah satu di antara sekian banyak orang muda lainnya di Indonesia yang jelas-jelas melakukan hubungan seksual di luar pernikahan.
Persoalan moral berkaitan dengan hubungan seksual di luar pernikahan pada kaum muda di beberapa kota besar di Indonesia merupakan fokus tulisan ini. Untuk itu, pertama-tama tulisan ini memaparkan beberapa penjernihan istilah yang dipakai, dan beberapa temuan dari penelitian-penelitian tentang perilaku seksual remaja di beberapa kota besar di Indonesia. Bagian berikutnya menyajikan pandangan teologi moral Kristiani tentang hubungan seksual di luar pernikahan. Bagian akhir tulisan memaparkan beberapa upaya yang dapat dilakukan guna menjawab persoalan hubungan seksual di luar pernikahan.

II. HUBUNGAN SEKSUAL DI LUAR PERNIKAHAN PADA KAUM MUDA DI BEBERAPA KOTA BESAR, INDONESIA

2.1. Penjernihan Istilah
Beberapa istilah yang sering dipakai dalam tulisan ini perlu mendapat penjelasan. Istilah-istilah itu ialah: ‘hubungan seksual’, ‘pernikahan’, ‘hubungan seksual di luar pernikahan’, dan kaum muda.

2.1.1. ‘Hubungan Seksual’ dan ‘Pernikahan’
Dalam tulisan ini, istilah ‘hubungan seksual’ menunjuk pada “tindakan kontak fisik antara laki-laki dan perempuan berupa penetrasi penis ke dalam vagina sedemikian rupa sampai terjadinya orgasme dan ejakulasi”. Orang Arab menyebut hubungan seksual ini dengan istilah ‘nikah’. Sekalipun kata ‘nikah’ sudah menjadi kosakata Bahasa Indonesia, kebanyakan orang menyebut hubungan seksual ini tidak dengan kata ‘nikah’, melainkan ‘kawin’. Padahal, secara etimologis, kata ‘kawin’ sebenarnya tidak secara langsung menunjuk pada tindakan kontak fisik berupa penetrasi penis ke dalam vagina. Kata ‘kawin’ berasal dari Bahasa Jawa Kuno – merupakan turunan dari kata ‘vini’ (Bahasa Sanskerta) – yang berarti: ‘membawa’, ‘memikul’, ‘memanggul’, ‘mengemban’, atau ‘memboyong’. Jadi, kita tidak menemukan unsur ‘hubungan seksual’ dalam pengertian kata ‘kawin’. Maka, aspek sentral dalam kata ‘kawin’ – dan dengan demikian, kata ‘perkawinan’ – ialah “tindakan memboyong mempelai perempuan (dari rumah orangtuanya) ke rumah mempelai laki-laki secara resmi sesuai dengan tatacara adat atau agama.”  
Memang, normalnya dalam suatu perkawinan, pasangan mempelai atau suami-istri itu melakukan hubungan seksual. Oleh karena itu, menurut saya, tidaklah rancu apabila kita menyebut perkawinan sebagai ‘pernikahan’. Justru, dengan menyebut perkawinan sebagai pernikahan, maka “tindakan memboyong mempelai perempuan oleh mempelai laki-laki secara resmi” itu seharusnya dilanjutkan dengan tindakan hubungan seksual. 
Hubungan seksual di luar pernikahan sebenarnya mencakup baik “hubungan seksual pra-nikah” (pre-marital sexual intercourse) maupun “hubungan seksual tanpa menikah”. Hubungan seksual pra-nikah menunjuk pada hubungan seksual yang dilakukan oleh pasangan kekasih laki-laki dan perempuan sebelum akhirnya mereka melangsungkan pernikahan. Sementara hubungan seksual tanpa menikah umumnya menunjuk pada hubungan seksual yang dilakukan pasangan laki-laki dan perempuan yang menjalani hidup bersama tetapi tanpa pernikahan. Orang Indonesia menamakan pasangan yang melakukan hubungan seksual tanpa menikah ini sebagai “pasangan kumpul kebo”. 

Sebagaimana diingatkan Karl-Heinz Peschke, saya sadar bahwa perilaku hubungan seksual pra-nikah dan perilaku hubungan seksual tanpa nikah atau “kumpul kebo” merupakan dua perilaku yang berbeda dan tidak dapat dinilai secara sama. Namun, karena tidak diketahui secara pasti apakah pasangan kaum muda yang melakukan hubungan seksual itu kemudian waktu melangsungkan pernikahan, maka saya terpaksa menyatukan – tetapi tidak ‘menyamakan’ – antara “hubungan seksual pra-nikah” dengan “hubungan seksual tanpa menikah” dalam satu istilah, yakni: “hubungan seksual di luar pernikahan”. 

2.1.2. Kaum Muda
Yang dimaksud kaum muda di sini ialah kaum laki-laki dan perempuan dengan usia antara 15 sampai 24 tahun. Penentuan usia ini berdasarkan pembagian usia kaum muda sebagaimana dipaparkan Charles M. Shelton. Shelton menyatakan bahwa kisaran usia ini merupakan masa ketika kaum muda berada pada tahap pertumbuhan fisik dan perkembangan mental, emosional, sosial, moral, serta religius. Dalam kaitan dengan seksualitas, kisaran usia ini merupakan masa pemasakan seksual yang turut mempengaruhi psikososial diri. 

2.2. Beberapa Temuan
Pada 1998 Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LDFEUI), bekerja sama dengan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), melakukan survei terhadap 8084 orang muda (laki-laki dan perempuan) yang berusia 15 hingga 24 tahun di 20 kabupaten pada 4 propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lampung. Hasil survei itu menyatakan bahwa 3,4% laki-laki dan 2,3% perempuan telah melakukan hubungan seksual di luar pernikahan. 
Pada pertengahan 2002 lalu, Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan, Pusat Pelatihan Bisnis dan Humaniora (LSCK PPBH) Yogyakarta, menyampaikan hasil penelitiannya yang memperkuat asumsi semakin longgarnya perilaku seksual kaum muda. Penelitian yang dilakukan dari Juli 1999 hingga Juli 2002 terhadap 1660 responden mahasiswa dari 16 perguruan tinggi di Yogyakarta, mengungkapkan hasil bahwa 97,5% mahasiswi sudah pernah melakukan hubungan seksual di luar pernikahan, bahkan 90% di antaranya telah melakukan aborsi. 
Dalam Kongres Nasional I Asosiasi Seksologi Indonesia (Konas I ASI) di Denpasar Juli 2002, Hudi Winarso, dari Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, juga mengemukakan penelitian serupa. Dari hasil angket yang disebarkan pada April 2002 terhadap 180 mahasiswa perguruan tinggi negeri di Surabaya, berusia 19 hingga 23 tahun, Hudi Winarso mengungkapkan bahwa 40% mahasiswa telah melakukan hubungan seksual di luar pernikahan. Dari jumlah itu, 70% mahasiswa melakukan dengan pasangan tidak tetap, entah teman, pekerja seks, atau lainnya, dan 2,5% di antaranya pernah tertular Penyakit Menular Seksual (PMS, Sexually Transmitted Disease atau STD). Sementara itu, hasil angket ini pun menyatakan bahwa 7% mahasiswi telah melakukan hubungan seksual di luar pernikahan, dan 80% di antaranya hanya melakukannya dengan pacarnya. 
Pada perkembangannya kaum muda yang melakukan hubungan seksual di luar pernikahan tidak berkurang, malah meningkat. Paling tidak, hasil penelitian Synovate Indonesia membuktikan hal itu. Dari hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 2004 terhadap kaum muda (450 responden dengan kisaran usia 15-24 tahuan) di 4 kota besar di Indonesia (Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan), Synovate menyatakan bahwa 44% responden mengaku sudah melakukan hubungan seksual di luar pernikahan pada usia 16 sampai 18 tahun. Sementara 16% lainnya mengaku sudah melakukan hubungan seksual di luar pernikahan pada usia 13 sampai 15 tahun. 
Hasil penelitian Synovate juga mengungkapkan bahwa rumah menjadi tempat paling favorit untuk melakukan hubungan seksual di luar pernikahan (40%). Kos (26%) dan hotel (26%) juga menjadi pilihan mereka. 
Beberapa responden (68%) dalam penelitian Synovate itu tampaknya sadar bahwa mereka seharusnya menunda hubungan seksual sampai pernikahan. Beberapa (80%) memahami bahwa hubungan seksual pra-nikah itu tidak sesuai dengan nilai dan ajaran agama. Sebagian besar mengaku bahwa hubungan seksual itu dilakukan tanpa rencana. Beberapa responden laki-laki (37%) mengaku bahwa hubungan seksual dengan pasangannya sudah direncanakan. Sementara, beberapa responden perempuan (39%) mengaku dibujuk untuk melakukan hubungan seksual oleh pasangannya. Ketika ditanyakan bagaimana perasaan mereka setelah melakukan hubungan seksual pra-nikah itu, 47% responden perempuan mengaku menyesal karena takut hamil, berdosa, hilang keperawanan dan takut ketahuan orangtua. 

2.3. Letak Persoalan
Di bawah ini beberapa persoalan yang muncul berkaitan dengan hubungan seksual di luar pernikahan:

2.3.1. Risiko-risiko Yang Mengiringi Tindakan Hubungan Seksual di Luar Pernikahan 
Ada berbagai risiko yang mengiringi tindakan hubungan seksual di luar pernikahan, baik berupa risiko-risiko yang mempengaruhi psikis, fisik, maupun relasi sosial dari mereka yang melakukannya.
(a) Kemerosotan kebahagiaan pribadi dan pengambilan keputusan untuk aborsi. Orang yang melakukan hubungan seksual di luar pernikahan pada umumnya akan merasa bersalah dan cemas dengan apa yang telah dilakukannya. Dari hasil penelitian Synovate sebagaimana dipaparkan di atas, kita melihat bahwa banyak responden perempuan mengaku menyesal karena takut hamil, berdosa, hilang keperawanan dan takut ketahuan orangtua. Willard S. Krabill melihat juga gejala-gejala psikis yang mempengaruhi kebahagiaan dari beberapa orang yang melakukan hubungan seksual di luar pernikahan. Krabill mengamati, mereka yang terlibat dalam hubungan seksual di luar pernikahan tidak menjadi lebih bahagia dan tidak memperoleh kesenangan yang lebih besar. Malah sebaliknya, mereka justru menghadapi kecemasan-kecemasan yang bersifat destruktif, baik bagi diri sendiri maupun bagi relasinya dengan pasangannya. 
Tampaknya gejala psikis negatif semakin dirasakan tatkala apa yang dilakukan, yakni hubungan seksual di luar pernikahan, menyebabkan kehamilan. Menurut Didik Joko Martopo, secara psikologis, pada saat seseorang mengalami kehamilan di luar pernikahan, ia cenderung mengambil jalan pintas yang terkesan lebih mudah, seperti menggugurkan kandungan atau aborsi. Padahal, tindakan aborsi pada kaum muda mengandung resiko yang cukup tinggi, terlebih lagi apabila dilakukan tidak sesuai standar profesi medis. Beberapa risiko yang dapat terjadi pada mereka yang melakukan aborsi: 
• Infeksi alat reproduksi karena melakukan kuretase (secara medis) yang dilakukan secara tidak steril. Hal ini dapat membuat kemandulan di kemudian hari setelah menikah. 
• Risiko pendarahan sehingga dapat mengalami shock akibat pendarahan dan gangguan neurologis. Selain itu, pendarahan juga dapat mengakibatkan kematian, baik ibu maupun anak, atau keduanya. 
• Risiko terjadinya reptur uterus atau robeknya rahim lebih besar dan menipisnya dinding rahim akibat kuretase. Ini dapat menyebabkan kemandulan, infeksi, shock hingga kematian ibu dan anak yang dikandungnya. 
• Terjadinya fistula genital traumatis, yakni suatu saluran atau hubungan antara genital dan saluran kencing atau saluran pencernaan yang sebelumnya (secara normal) tidak ada.

Dari hasil penelitian LSCK PPBH Yogyakarta yang telah dipaparkan di atas, kita mengetahui bahwa banyak mahasiswi di Yogyakarta melakukan aborsi. Sebagai informasi tambahan, pada kenyataannya di Indonesia kasus aborsi terjadi setiap tahunnya sebanyak 2,6 juta. Dengan perkataan lain, setiap jamnya terdapat 300 perempuan telah menggugurkan kandungannya. Siswanto Agus Wilopo menyatakan, “Dari jumlah itu, 700 ribu di antaranya dilakukan oleh remaja atau perempuan berusia di bawah 20 tahun.” 

(b) Penularan Penyakit Menular Seksual (PMS, Sexually Transmitted Disease). Kita telah melihat di atas, dari hasil angket yang disebarkan Hudi Winarso di Surabaya, banyak mahasiswa melakukan hubungan seksual secara bebas atau berganti-ganti pasangan. Beberapa di antaranya ternyata pernah tertular PMS.
Yang dimaksud PMS sebenarnya ialah berbagai jenis penyakit atau infeksi – seperti: syphillis, gonorrhea, chlamydia dan genital herpes, termasuk juga AIDS, yang biasanya ditularkan melalui hubungan seksual. PMS pada umumnya berkaitan erat dengan perilaku hubungan seksual yang berganti-ganti pasangan. Itulah sebabnya, seperti ditulis Krabill, satu-satunya metode pencegahan yang dapat dipercaya untuk PMS ialah hanya mempunyai satu teman seksual melalui kesetiaan dalam pernikahan dan malakukan pantang hubungan seksual di luar pernikahan.  
 
2.3.2. Persoalan Moral
 Hubungan seksual di luar pernikahan pada gilirannya menimbulkan banyak persoalan moral. Persoalan yang paling pokok tentunya berkaitan dengan makna tentang hubungan seksual dan makna tentang pernikahan. Hubungan seksual di luar pernikahan tampaknya mengabaikan, atau lebih tepat merendahkan, baik makna tentang hubungan seksual maupun makna tentang pernikahan. Kita akan melihat hal ini lebih jelas lagi pada bagian III tulisan ini.
Seperti telah ditunjukkan di atas, salah satu risiko yang mengiringi tindakan hubungan seksual di luar pernikahan ialah keputusan untuk melakukan aborsi. Tindakan aborsi tentu saja merupakan persoalan moral tersendiri, yang barangkali tidak pada tempatnya jika dibahas dalam tulisan ini. Secara singkat, dalam perspektif moral Kristiani (dalam hal ini, yang jelas ialah Katolik, sementara Protestan tidak seragam), aborsi merupakan tindakan yang dilarang karena bertentangan dengan nilai hidup manusia sebagai makhluk yang bermartarbat.  


III. HUBUNGAN SEKSUAL DI LUAR PERNIKAHAN DALAM PANDANGAN TEOLOGI MORAL KRISTIANI

3.1. Hakikat Hubungan Seksual dan Pernikahan
Secara hakiki, dalam hubungan seksual, dua manusia saling memberi dan menerima sekaligus secara bersamaan, tanpa membedakan atau melihat apa fungsi seksualnya. Baik laki-laki maupun perempuan, keduanya saling memberikan dirinya, dan saling menerima menurut struktur biologis yang memang telah diciptakan untuk itu.  
Maka, hubungan seksual sebenarnya merupakan ungkapan saling cinta antara dua pribadi (laki-laki dan perempuan) dan pendalaman akan cinta itu. Hubungan seksual ialah tanda kodrati penyerahan diri total, puncak hubungan cinta. Karl-Heinz Peschke menuliskan: 
“Hubungan seksual yang tidak merupakan tanda atau ungkapan cinta sejati, tetapi hanya sekadar penenang atau bahkan manipulasi orang lain demi kenikmatan jasmani mengkhianati maknanya yang sejati. Itu adalah kebohongan dan penipuan.” 

Jika makna hubungan seksual di atas sungguh disadari, maka kelamin bisa dianggap sebagai organ cinta dari tubuh kita. Namun, sebaliknya jika makna ini sungguh disangkali – artinya, jika hubungan seksual itu hanya untuk kepuasan hedonis – maka kelamin tetaplah sekadar organ biologis yang berfungsi menurut kodratnya. Jadi, benarlah bahwa hubungan seksual merupakan perwujudan cinta sejati, tetapi perwujudan cinta sejati sesungguhnya menunjuk bukan saja pada tindakan hubungan seksual, melainkan lebih luas daripada sekadar memfungsikan organ biologis. Orang tidak dapat mereduksi cinta sejati menjadi sekadar tindakan hubungan seksual, karena pada kenyataannya setiap kali tindakan hubungan seksual selesai dilakukan, selalu ada sesuatu yang belum tersingkap, selalu ada yang kurang. 
Dengan atau tanpa cinta, hubungan seksual tetap berarti memfungsikan organ tubuh, dalam hal ini, organ reproduksi, menurut kodratnya. Sebagai konsekuensi biologis, hubungan seksual selalu merupakan ungkapan keterbukaan pada keturunan atau anak. Demikianlah hubungan seksual memiliki kaitan yang sangat erat dengan prokreasi. Sekalipun demikian, Bernard Häring mengingatkan:
“Hubungan seksual dilakukan tidak hanya didorong oleh cinta perkawinan yang pada prinsipnya terarahkan pada prokreasi saja, sehingga hubungan seksual menjadi tanpa arti jika tindakan itu dalam kenyataannya sebenarnya tidak meneruskan kehidupan atau tidak bermaksud meneruskan kehidupan. Sang Pencipta telah mengatur segala sesuatu, termasuk bahwa pasangan suami-istri itu harus melakukan hubungan seksual sebelum seorang anak dikandung. Dari sini kita dapat menarik kesimpulan bahwa maksud Sang Pencipta ialah bahwa pelayanan terhadap kehidupan serentak merupakan pelayanan yang lebih intensif kepada kesetiaan timbal balik.” 


Kesetiaan timbal balik itu secara resmi ditempatkan dan diteguhkan di dalam pernikahan. Sebab, “Di dalam perkawinan laki-laki dan perempuan saling mengikat di dalam satu persekutuan, yang cocok agar mereka saling memberikan kehangatan dan rasa betah, memuaskan dambaan seksual pasangan sebagaimana juga menghasilkan keturunan dan memungkinkan pendidikan anak.” 


3.2. Pandangan Kitab Suci tentang Hubungan Seksual di Luar Pernikahan
Pada kenyataannya pandangan Kristiani tentang hubungan seksual di luar pernikahan sangat dipengaruhi oleh ajaran Kitab Suci, secara khusus Perjanjian Baru (PB) menyangkut hal ini. Dituliskan dalam Perjanjian Lama (PL) bahwa prostitusi kultis atau profan ditentang secara keras (Im 19:29; Ul 23:18-19; Sir 9:6; Yer 5:8; Am 2:7). PL menuliskan bahwa seandainya seorang perempuan dinikahi oleh seorang laki-laki lalu diketahui tidak perawan lagi, maka perempuan itu harus dirajam (Ul 22:21). Namun, PL tidak mencatat adanya larangan umum bagi para laki-laki untuk hubungan seksual pra-nikah. 
PB menolak secara keras setiap bentuk percabulan (porneia) dan melihatnya sebagai hal yang bertentangan dengan kebenaran Kerajaan Allah. Kitab Injil mencatat bahwa Kristus memasukkan percabulan bersama perceraian ke dalam daftar kejahatan yang berasal dari hati, dan Dia pun menajiskannya (Mat 15:19-20; Mrk 7:21-23). Surat-surat Paulus berkali-kali mengecam tindakan seksual amoral. Paulus tampaknya lebih sering berbicara tentang percabulan (porneia) daripada tentang perceraian atau perselingkuhan (moikheia). Dalam 1Kor 7:1-2, Paulus menilai bahwa sebenarnya baik kalau seorang laki-laki tidak beristri. Namun, karena bahaya porneia, maka setiap laki-laki sebaiknya memiliki istri dan setiap perempuan memiliki suami. Paulus tampaknya mau menegaskan bahwa hubungan seksual hanya boleh terjadi di dalam pernikahan. 

3.3. Pandangan Tradisi Gereja tentang Hubungan Seksual di Luar Pernikahan
Konsili Vatikan II menyadari bahwa martabat pernikahan dan keluarga mendapat tantangan besar karena maraknya “poligami, malapetaka perceraian, apa yang disebut percintaan bebas, dan cacat-cedera lainnya. Selain itu cinta perkawinan cukup sering dicemarkan oleh cinta diri, gila kenikmatan dan ulah-cara yang tidak halal melawan timbulnya keturunan.” Oleh karena itu, Konsili bermaksud menjelaskan berbagai pokok ajaran Gereja tentang martabat perkawinan dan keluarga, agar hal itu dapat “menerangi serta meneguhkan umat Kristiani dan semua orang, yang berusaha membela dan mengembangkan martabat asli maupun nilai luhur dan kesucian status perkawinan.” (Gaudium et Spes, 47)
Pada 29 Desember 1975 “Kongregasi Suci Ajaran Iman” mengeluarkan deklarasi yang berkaitan dengan etika seksual, Persona Humana. Artikel VII dokumen tersebut menegaskan bahwa hubungan seksual mesti dilakukan di dalam pernikahan karena hal itu merupakan perwujuan cinta suci, seperti perwujudan cinta Kristus dalam jemaat-Nya. Dalam pernikahan, cinta seksual antara pasangan laki-laki dan perempuan menjadi teguh dalam komunitas yang hidup. Selain itu, dalam pernikahan, anak – buah dari hubungan seksual – akan hidup di tengah lingkungan yang mantap sehingga ia dapat bertumbuhkembang secara baik. 
Dalam buku informasi dan referensi Iman Katolik yang dikeluarkan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), ditegaskan bahwa seks haruslah dihormati sebagai sesuatu yang manusiawi. Seks bukanlah naluri alam yang harus mendapatkan pelepasan, melainkan bagian hidup yang pantas dibina, dididik, dan dikembangkan, penuh nilai dan kasih. Oleh karena itu, seks bukan urusan yang diserahkan kepada kehendak orang perorangan, melainkan menuntut tanggung jawab sosial. Kelakuan seksual menyangkut relasi antar-manusia. Maka nilai perilaku seksual pertama-tama menyangkut hubungan hati. 
Menurut ajaran moral Katolik, sebagaimana ditulis dalam Iman Katolik, hubungan seksual (sanggama) mendapat tempatnya yang tepat dan wajar dalam pernikahan, sebab hanya dalam hubungan mantap dan pribadi antara suami dan istri hubungan seksual itu dapat menjadi ungkapan jujur bagi kasih dan penyerahan. Sebaliknya dalam pernikahan, hubungan pribadi dikuatkan dan dikembangkan oleh tindakan hubungan seksual dalam kasih dan penyerahan. 
  

IV. PENUTUP

Hubungan seksual seharusnya merupakan tindakan unitif laki-laki dan perempuan sebagai perwujudan cinta yang sejati, karena itu hubungan seksual mestinya dilakukan di dalam pernikahan. Selain itu, hubungan seksual juga merupakan tindakan prokreatif, artinya tindakan membuka diri bagi keturunan atau anak, sebagai perwujudan mitra kerja Allah dalam penciptaan dan pemeliharaan kehidupan. 
Namun, perkembangan zaman sekarang ini menunjukkan bahwa makna hakiki dari hubungan seksual telah tergerus. Hubungan seksual menjadi sekadar tindakan untuk kepuasan hedonis, oleh karena itu banyak kaum muda masa kini melakukan hubungan seksual sekalipun di luar pernikahan. Perilaku kaum muda semacam itu, tidak dapat dipungkiri, merupakan suatu bentuk pelecehan bagi nilai luhur dan kesucian pernikahan dan hidup berkeluarga.
Bagaimana pun upaya mengatasi persoalan hubungan seksual di luar pernikahan pada kaum muda tidaklah semudah seperti kita membalikkan telapak tangan. Upaya mengatasi persoalan ini menghadapi tantangan pelik dan sistemik (maksudnya saling berkaitan) seiring dengan kemajuan zaman, terutama kemajuan teknologi informasi. Kemajuan teknologi informasi masa kini tampaknya menumbuhkan mentalitas hedonisme pada kaum muda. Mentalitas hedonisme ini kemudian bertumbuh menjadi gaya hidup, termasuk gaya hidup dalam pergaulan antar-lawan jenis, lebih tepatnya gaya hidup dalam berpacaran. Maka, seiring dengan perkembangan fisik (khususnya seksualitas) dan psikis pada kisaran usianya, pasangan kaum muda yang bergaya pacaran dengan mentalitas hedonisme akan tidak segan untuk melakukan hubungan seksual di luar pernikahan.
Upaya mengatasi persoalan hubungan seksual di luar pernikahan pada kaum muda tampaknya perlu melibatkan banyak pihak yang masih memegang teguh dan terus berjuang untuk nilai luhur dan kesucian pernikahan dan hidup berkeluarga. Pihak-pihak tersebut tentu saja tidak terkecuali ialah lembaga pendidikan. Bukan saja memberikan pendidikan tentang seksualitas manusia, tapi yang lebih penting ialah pendidikan nilai-nilai yang berkaitan dengan seksualitas manusia. Barangkali di sinilah pentingnya disiplin teologi moral Kristiani menyumbang kepada dunia pendidikan Indonesia.

Hendri M. Sendjaja


KEPUSTAKAAN

Dokumen:
Dokumen Konsili Vatikan II, terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Dok. Pen. KWI, 1993.

Konferensi Waligereja Indonesia. Iman Katolik: Buku Informasi dan Referensi. Yogyakarta: Kanisius, dan Jakarta: Penerbit Obor, 2000.

Sacred Congregation for the Doctrine of the Faith. Persona Humana: Declaration on Certain Questions Concerning Sexual Ethics, art. VII, http://www.vatican.va/roman_curia/congregations/cfaith/ documents/rc_con_cfaith_doc_19751229_persona-humana_en.html (diakses 09 Nov 2008).

Buku-buku:
Eminyan, Maurice. Teologi Keluarga, terj. J. Hadiwiratno. Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Gunawan, F.X. Rudy.Mendobrak Tabu: Seks, Kebudayaan, dan Kebejatan Manusia. Yogyakarta: Galang Press, 2000.

Krabill, Willard S. “Pemberian dan Perkawinan,” dalam Anne K. Hershberger, ed. Seksualitas: Pemberian Allah, terj. B.H. Nababan, dan P. Lumbantobing. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008.

Kusmaryanto, C.B. Tolak Aborsi: Budaya Kehidupan Versus Budaya Kematian. Yogyakarta: Kanisius, 2006.

Mönk, F.J., A.M.P. Knoers, dan Siti Rahayu Haditono. Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006.

Peschke, Karl-Heinz. Etika Kristiani. Jilid III: Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi, terj. Alex Armanjaya. Maumere: Penerbit Ledalero, 2003.

Shelton, Charles M. Spiritualitas Kaum Muda: Bagaimana Mengenal dan Mengembangkannya, terj. Y. Rudiyanto. Yogyakarta: Kanisius, 1995.

Artikel-artikel:
Arixs, “Apa Bedanya: “Kawin” – “Nikah” – “Married” – “Merit”?,” dalam http://cybertokoh.com/ mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=3352 (diakses 10 November 08). 

“Berhubungan Intim di Usia Belia,” dalam http://www.rileks.com/konsultasi/109-berhubungan-intim-di-usia-belia.html (diakses 11 November 2008).

Darwisyah, Siti Rokhmawati. “Seksualitas Remaja Indonesia,” dalam http://situs.kesrepro.info/krr/ krr03.htm (diakses 26 Oktober 2008).

Kartika, Lily Bertha. “Survei: Remaja Indonesia Punya Pengalaman Seks Sejak Usia 16,” dalam Kompas Cyber Media, 28 Januari 2005, http://www2.kompas.com/kesehatan/news/0501/28/ 064217.htm (diakses 10 November 2008).

Martopo, Didik Joko. “Sex Pranikah dan Aborsi,” dalam http://www.bkkbn.go.id/ceria/ma36sekspra nikah.html (diakses 11 November 2008).

“The Philosophy of Love,” dalam Koran Tempo, 20 Februari 2005, http://wap.korantempo.com/ view_details.php?idedisi=1694&idcategory=90&idkoran=34041&y=2005&m=02&d=20 (diakses 10 November 2008).

Saraswati,Widya. “Bila Seks Pranikah Dianggap Lumrah..!,” dalam Kompas Cyber Media, 30 Oktober 2002, http://www2.kompas.com/kesehatan/news/0210/30/214613.htm (diakses 09 November 2008).

“Setiap Jam Terjadi 300 Aborsi di Indonesia,” dalam Antara News, 23 November 2006, http://www.antara.co.id/print/?id=1164281786 (diakses 11 November 08).

Tidak ada komentar: