Jumat, 16 Januari 2009

PEWARTAAN INJIL DALAM KONTEKS MASYARAKAT INDONESIA



Dalam konteks masyarakat Indonesia, pewartaan Injil yang dilaksanakan oleh Gereja, sebagai wujud partisipasi di dalam misi Allah (missio Dei), berlangsung melalui suatu proses kontekstualisasi dengan mengikuti dinamika misteri inkarnasi, Paskah, dan Pentakosta.


I. Pengantar: Konteks Masyarakat Indonesia

“Asia merupakan benua yang terluas di bumi, dan dihuni oleh hampir duapertiga penduduk dunia, sedangkan Cina dan India mempunyai hampir separuh penduduk bumi. Ciri yang paling mempesonakan pada benua itu ialah keaneka-ragaman bangsa-bangsanya, yang ‘mewarisi kebudayaan-kebudayaan, agama-agama dan tradisi yang serba kuno’….
Perihal pengembangan ekonomi, situasi-situasi di benua Asia banyak berbeda-beda …. Berbagai negeri berkembang maju sekali; negeri-negeri lain berkembang melalui kebijakan-kebijakan ekonomi yang efektif, sedangkan negeri-negeri lainnya masih terdapat dalam kemelaratan yang sungguh nista, bahkan termasuk bangsa-bangsa yang paling miskin di dunia.” 

Kutipan di atas hendak menunjukkan realitas konteks Asia pada umumnya. Tiga realitas menjadi ciri konteks masyarakat Asia, yakni: kemajemukan agama, kemajemukan budaya, dan kemiskinan.

Sebagai salah satu negara di Asia, Indonesia tidak terlepas dari ketiga realitas di atas. Indonesia merupakan negeri yang jumlah penduduknya tercatat sebagai keempat besar di dunia – setelah Cina, India dan Amerika Serikat – yakni: 205,8 juta jiwa (menurut Sensus Penduduk 2000). Masyarakat Indonesia terdiri atas lebih dari 1000 etnis atau subetnis, sehingga dapat dikatakan corak pluri-etnis dan pluri-budaya mewarnai realitas konteks Indonesia. Selain itu, corak pluri-agama juga mewarnai konteks Indonesia. 

Kemiskinan tampaknya masih menjadi kenyataan hidup banyak warga Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2007 sebesar 37,17 juta jiwa. Jumlah penduduk miskin itu merupakan 16,58% dari seluruh penduduk Indonesia. 
Dalam konteks masyarakat Indonesia seperti itu, Gereja hadir dan mewartakan Injil. Gereja menyadari, ada tantangan besar yang mesti dihadapi. Pada satu sisi Gereja menyadari bahwa keberadaannya di tengah masyarakat Indonesia merupakan panggilan Allah yang penuh rahmat dalam pemenuhan rencana keselamatan Allah. Itu berarti, Gereja di Indonesia – yang tak dapat dielakkan kebanyakan mendapat pengaruh dari misi Kristiani Barat di masa lalu – seharusnya meyakini bahwa Allahlah yang sebenarnya menghendaki keberadaannya dalam ruang lingkup Indonesia. Dengan keyakinan ini, Gereja di Indonesia mestinya mampu hidup dan berkarya secara otentik demi pemenuhan rencana keselamatan Allah. Pada sisi lain, Gereja di Indonesia menyadari bahwa keberadaannya tidak terlepas dari realitas konteks Indonesia itu sendiri. Gereja hadir di tengah realitas masyarakat Indonesia yang pluri-agama, pluri-budaya, dan masih diwarnai kemiskinan. Maka, tantangan besar yang dihadapi Gereja ialah bagaimana pewartaan Injil dapat berlangsung secara kontekstual.

II. Pewartaan Injil, Gereja, dan Misi Allah (Missio Dei)

“Gereja mempunyai kesadaran yang hidup mengenai kenyataan bahwa kata-kata Sang Penebus, ‘Aku harus memberitakan Injil Kerajaan Allah’, berlaku juga sebenarnya untuk Gereja. … Mewartakan Injil sesungguhnya merupakan suatu rahmat dan panggilan yang khas bagi Gereja, merupakan identitasnya yang terdalam. Gereja ada untuk mewartakan Injil ….” 

Pewartaan Injil merupakan hakikat dari kehidupan Gereja. Tanpa pewartaan Injil yang awalnya dilakukan oleh Yesus Kristus, maka Gereja pada gilirannya tidak akan ada. Dalam karya Roh Kudus, pewartaan Injil mendorong kelahiran dan pertumbuhan persekutuan umat (communio) baru, yang selanjutnya disebut Gereja, sehingga dengan dan bersama communio itu, rencana keselamatan Allah di dunia ini mewujud-nyata. 
Perlu ditegaskan di sini, dengan mengacu pada pewartaan Injil yang dilakukan Yesus, ‘pewartaan Injil’ seharusnya dipahami sebagai upaya ‘memberitakan Kabar Baik Kerajaan Allah’ (“eunggeliosathtai me dei tēn basileian tou theou” – Luk 4:43). Itu berarti Kerajaan Allah merupakan pusat pewartaan Injil. Karl Rahner menegaskan bahwa Gereja tidaklah identik dengan Kerajaan Allah. Maka, pewartaan Injil pada hakikatnya bukanlah upaya memperluas institusi/denominasi Gereja – karena (institusi/denominasi) Gereja bukan pusat pewartaan! Pewartaan Injil merupakan upaya memperluas kehidupan dalam Kerajaan Allah sebagaimana Yesus telah nyatakan. Bagi Gereja, ‘memperluas kehidupan dalam Kerajaan Allah sebagaimana Yesus telah nyatakan’ pada gilirannya berarti mewujud-nyatakan dan menumbuh-kembangkan kehidupan dan persekutuan yang di dalamnya kekuasaan dan rahmat Allah mewujud-nyata (bdk. Luk 4:18-21). Ini sebenarnya merupakan wujud partisipasi Gereja di dalam misi Allah (missio Dei). Jürgen Moltmann menuliskan: 
“It is not the church that has a mission of salvation to fulfil to the world; it is that mission of the Son and the Spirit through the Father that includes the church, creating a church as it goes on its ways. … The Church participates in Christ’s messianic mission and in creative mission of the Spirit." 

Patut dicatat, gagasan tentang misi Allah (missio Dei) muncul pertama kali pada Konferensi International Missionary of Council (IMC) di Willingen (1952). Konferensi itu mengaitkan misi dengan hakikat Allah Tritunggal. Misi pertama-tama dipahami sebagai aktivitas Allah Tritunggal, bukan aktivitas Gereja. Aktivitas misioner Gereja menandakan bahwa Gereja turut serta di dalam misi Allah (missio Dei).  

III. Proses Kontekstualisasi, dan Dinamika Misteri Inkarnasi, Paskah dan Pentakosta
Dalam rangka mengemban misi Allah di Indonesia, Gereja mewartakan Injil di tengah masyarakat yang bercorak pluri-agama, pluri-budaya dan masih diwarnai kemiskinan. Di sini pewartaan Injil mestinya berlangsung secara dialogis dengan konteks masyarakat setempat. Dengan perkataan lain, pewartaan Injil mestinya berlangsung melalui proses kontekstualisasi dengan mengikuti dinamika misteri inkarnasi, Paskah dan Pentakosta.

3.1. Proses Kontekstualisasi
Dalam lingkungan misiologi, kata ‘kontekstualisasi’ pertama kali diperkenalkan oleh Theological Education Fund (TEF) pada 1972. TEF – dibentuk IMC dalam konferensinya di Ghana pada 1957-1958 – menuliskan:
“Kontekstualisasi bukanlah semata-mata mode atau semboyan melainkan suatu kebutuhan teologis yang dituntut oleh sifat Firman yang telah menjadi daging di dunia. … Kontekstualisasi mencakup segala sesuatu yang tersirat dalam istilah ‘pempribumian’, namun lebih dalam daripada itu. Kontekstualisasi berkaitan dengan penilaian kita terhadap konteks-konteks dalam Dunia Ketiga. Istilah ‘pempribumian’ cenderung dipergunakan dalam pengertian menanamkan Injil ke dalam suatu budaya tradisional. Sedangkan kontekstualisasi dengan tidak mengabaikan konteks-konteks budaya, memperhitungkan juga proses sekularisasi, teknologi dan perjuangan manusia demi keadilan, yang menjadi ciri saat ini dalam sejarah bangsa-bangsa Dunia Ketiga.” 

Menurut Stephen B. Bevans, istilah ‘kontekstualisasi’ memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan istilah-istilah lainnya. Istilah ‘kontekstualisasi’ memperluas dan sekaligus memperbaiki istilah lama. Istilah ‘pempribumian’ memusatkan perhatian melulu pada matra budaya pengalaman manusia, sedangkan kontekstualisasi memperluas pemahaman tentang kebudayaan sehingga mencakup persoalan-persoalan sosial, politik dan ekonomi. 
Dalam banyak dokumen, Gereja Katolik Roma lebih memakai istilah ‘inkulturasi’ daripada ‘kontekstualisasi’. E. Martasudjita mengartikan ‘inkulturasi’sebagai: “suatu proses yang terus-menerus dalam mana Injil diungkapkan ke dalam suatu situasi sosio-politis dan religius-kultural dan sekaligus Injil itu menjadi daya dan kekuatan yang mengubah dan mentransformasikan situasi tersebut dan kehidupan orang-orang setempat.” Dengan definisi ini, Martasudjita tampaknya mau memperluas makna inkulturasi, yakni tidak hanya terpusat pada persoalan budaya, tetapi juga mencakup persoalan-persoalan sosial dan politik. Menurut kami, definisi dari Martasudjita ini dapat diterapkan juga untuk istilah ‘kontekstualisasi’. Dengan demikian kita tidak lagi memperdebatkan istilah mana yang lebih tepat: apakah inkulturasi atau kontekstualisasi.

3.2. Mengikuti Dinamika Misteri Inkarnasi
Injil Yohanes 1:14 menyatakan: “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita” (“Kai ólogos sarx egeneto kai eskēnosen en hemin”). Dari kutipan prolog Injil Yohanes ini, kita mengetahui bahwa Firman telah berubah (egeneto) menjadi “sesuatu yang tidak ilahi” (ditunjukkan dengan kata sarx). Yohanes memakai ungkapan “diam di antara kita” – di mana kata Yunani ‘diam’: eskēnosen berasal dari kata skēnoō, secara harfiah berarti ‘berkemah’ – untuk menunjukkan kedekatan Firman itu sekarang dengan manusia. Dengan kata ‘diam’ atau ‘berkemah’, kita pun teringat pada kisah kehadiran YHWH dalam kemah suci di tengah bangsa Israel yang sedang berjalan menuju Kanaan (Kel 40:34-38). 
Pewartaan Injil yang berlangsung secara dialogis yakni melalui proses kontekstualisasi mendapatkan pijakannya dengan mengikuti misteri inkarnasi. Itu berarti pewartaan Injil mesti merupakan tanda kedekatan Firman dengan konteks kehidupan manusia. Konsekuensinya, pewartaan Injil pertama-tama bukan berbicara tentang “dunia di sana dan nanti” tetapi “dunia di sini dan sekarang ini”. Dalam konteks masyarakat Indonesia, pewartaan Injil berarti berdialog di dalam dan dengan realitas pluri-agama, pluri-budaya, dan kemiskinan. Memakai bahasa Choan Seng Song, pewartaan Injil dengan mengikuti misteri inkarnasi merupakan upaya Gereja “bersaksi bagi penderitaan Allah dalam penderitaan manusia, mengekspresikan harapan Allah dalam harapan manusia, menyampaikan dukacita Allah dalam dukacita manusia, menunjukkan kemarahan Allah dalam kemarahan manusia … menggemakan tawa Allah dalam tawa manusia.” 

3.3. Mengikuti Dinamika Misteri Paskah
Theological Advisory Commission FABC menjelaskan bahwa dalam kehidupan Yesus, misteri inkarnasi bergerak menuju penderitaan, kematian dan kebangkitan. Dengan pemberian diri secara penuh dan kenosis secara total, dalam ketaatan dan cinta, Yesus menjadi sumber kehidupan dan persekutuan yang baru. Maka misteri Paskah merupakan hukum dan makna bagi aktivitas misioner Gereja.  
Dengan mengikuti dinamika misteri Paskah, Gereja yang mewartakan Injil Kerajaan Allah mesti turut terlibat di dalam pergumulan manusia. Di sini Gereja mestinya memberi diri secara penuh dan melakukan kenosis secara total, dalam ketaatan dan cinta, demi kehidupan dan persekutuan baru. Gereja berupaya mewujud-nyatakan dan menumbuh-kembangkan kehidupan dan persekutuan yang di dalamnya kekuasaan dan rahmat Allah mewujud-nyata. Upaya ini tentu tidaklah mudah karena tampaknya banyak unsur menjadi penghalang dan perusak kehidupan dan persekutuan yang baru. Ketidakmudahan ini merupakan “salib” yang harus dipikul Gereja, “the cost of discipleship,” kata Dietrich Bonhoeffer. 

3.4. Mengikuti Dinamika Misteri Pentakosta
Menurut J.M.R. Tillard, peristiwa Pentakosta, sebagaimana dicatat Lukas dalam Kisah Para Rasul, merupakan pembalikan dari peristiwa Menara Babel. Pada abad pertama Bapa-bapa Gereja telah menunjuk adanya kesejajaran tipis dengan kontras yang tajam antara kisah Pentakosta (Kis 2:1-13) dan kisah Menara Babel (Kej 11:1-9). Kontras dengan kekacauan bahasa dan keterpisahan umat manusia dalam kisah Menara Babel, kisah Pentakosta justru mengungkapkan keterpahaman bahasa dan kesatuan umat manusia. Pada waktu Pentakosta, perbedaan bahasa-bahasa – simbol dari keterpisahan umat manusia – tidak lagi bersifat memisahkan, melainkan disatukan untuk memahami Firman. Maka, dengan Pentakosta terbentuklah persekutuan baru, communio semua orang.
Dengan mengikuti dinamika misteri Pentakosta, Gereja mewartakan Injil di tengah konteks masyarakat demi mewujud-nyatakan dan menumbuh-kembangkan kehidupan dan persekutuan yang baru. Di sini dialog menjadi relevan dan signifikan dalam aktivitas misioner Gereja. Namun seperti ditegaskan oleh S. Wesley Ariarajah, dialog mestinya pertama-tama bukanlah usaha menyelesaikan konflik yang terjadi di tengah masyarakat, melainkan usaha membangun suatu masyarakat yang saling bergaul, penuh cinta dan bernalar. Dialog merupakan upaya menyelami masalah yang menyebabkan ketidakrukunan dan konflik di tengah masyarakat. Dalam rangka itu, dialog membutuhkan penelitian, analisis, pengamatan serius, dan kemampuan memerangi berbagai tantangan destruktif bagi perwujudan communio semua orang.

IV. Penutup: Membangun Komunitas Dialogis di tengah Masyarakat Indonesia
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang bercorak pluri-agama, pluri-budaya, dan masih diwarnai oleh kemiskinan, Gereja mewartakan Injil melalui proses kontekstualisasi dengan mengikuti misteri karya Allah Tritunggal Mahakudus sebagaimana dinyatakan dalam misteri inkarnasi, Paskah, dan Pentakosta. Proses kontekstualisasi yang didorong, diarahkan dan dijiwai oleh Injil Kerajaan Allah itu berlangsung hingga terwujudnya kehidupan dan persekutuan (communio) yang baru, yang di dalamnya kekuasan dan rahmat Allah mewujud-nyata. Maka, Gereja di Indonesia mestinya mulai membangun komunitas dialogis di tengah masyarakat, komunitas yang saling bergaul dalam cinta dan ketaatan kepada Allah. Upaya ini tentunya memaksa Gereja untuk berbenah diri: membuang jauh mentalitas triumfalistik dan sungguh meneladani Kristus sebagai pewarta Injil yang pertama yang memberi diri secara penuh dan melakukan kenosis secara total. 
Membangun komunitas dialogis seharusnya dimulai dari dalam Gereja itu sendiri. Ini berarti Gereja sungguh mesti memiliki kesadaran ekumenis. Bagaimana mungkin Gereja dapat mewartakan Injil di tengah masyarakat jika pada dirinya sendiri masih hidup dengan keterpisahan? Tidaklah keliru jika aktivitas misioner Gereja tertuju pula pada dirinya sendiri.
Last but not least, membangun komunitas dialogis di tengah masyarakat Indonesia seharusnya merupakan wujud praktis dari kesadaran ekumenis secara luas. Bagaimana mungkin Gereja mewartakan Injil tanpa sungguh-sungguh membangun komunitas dialogis? Di sini jelas, relasi misi dan dialog menjadi tak terpisahkan.

Hendri M. Sendjaja



KEPUSTAKAAN

Dokumen:
Dokumen Konsili Vatikan II, terj. R. Hardawiryana, Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta 2004.
Dupuis, Jacques,“Gereja, Kerajaan Allah, dan ‘Umat Lain’,” dalam Dokumen Sidang-sidang Federasi Konferensi-konferensi para Uskup se-Asia 1992-1995, terj. R. Hardawiryana, Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta 1997.
Evangelii Nuntiandi, artikel 14; Evangelii Nuntiandi (Mewartakan Injil), Seri Dokumen Gerejawi No. 6, terj. R. Hardawiryana, Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta 2008, 15.
Gereja di Asia, Paus Yohanes Paulus II: Anjuran Apostolik Pasca Sinodal, New Delhi 6-11-1999, Seri Dokumen Gerejawi No. 57, terj. R. Hardawiryana, Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta 2000, 16, 18.

Buku:
Ariarajah, S. Wesley. 2008. Tak Mungkin Tanpa Sesamaku: Isu-isu dalam Relasi Antar-Iman, terj. Nico A. Likumahuwa, BPK Gunung Mulia, Jakarta.
Bevans, Stephen B. 2002. Model-model Teologi Kontekstual, terj. Yosef Maria Florisan, Penerbit Ledalero, Maumere.
Bosch, David J. 1997. Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah, terj. Stephen Suleeman, BPK Gunung Mulia, Jakarta.
Choan, Seng Song. 1993. Sebutkanlah Nama-nama Kami: Teologi Cerita dari Perspektif Asia, terj. Yohanna Sidarta, BPK Gunung Mulia, Jakarta.
Hesselgrave, David J., dan Edward Rommen. 1995. Kontekstualisasi: Makna, Metode dan Model, terj. Stephen Suleeman, BPK Gunung Mulia, Jakarta.
Moltmann, Jürgen. 1977. The Church in the Power of the Spirit, SCM Press LTD, London.
Olla, Paulinus Yan. 2008. Dipanggil Menjadi Saksi Kristus: Spiritualitas Misioner dalam Teologi Spiritual. Kanisius, Yogyakarta.
Theological Advisory Commission FABC. 1995. “Tesis-tesis tentang Gereja Lokal: suatu Refleksi Teologis dalam Konteks Asia,” dalam Georg Kirchberger (ed.), Gereja Berwajah Asia, Nusa Indah, Ende. 
Tillard, J.M.R. 1992. Church of Churches: the Ecclesiology of Communion, trans. R.C. de Peauc. The Liturgical, Collegeville.
Suryadinata, Leo, dkk., 2003. Penduduk Indonesia: Etnis dan Agama dalam Era Perubahan Politik, LP3ES, Jakarta.

Artikel:
ANTARA News, “Penduduk Miskin per Maret 2007 Turun 2,13 juta,” dalam http://www.antara.co.id/ print/?i=1183389898 (diakses 06 Desember 08).
Martasudjita, E. “Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal,” Diktat Catatan Matakuliah Teologi Inkulturasi pada Program Magister Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta 2008, 9 (tidak diterbitkan).

Tidak ada komentar: