Jumat, 30 Januari 2009

POTRET TIGA TEOLOG FEMINIS MENEGAKKAN KOMUNITAS DEMOKRATIS




HARUS diakui, masyarakat kita sekarang ini masih memposisikan kaum perempuan sebagai warga kelas dua, yang tersisih dan tertindas. Kaum perempuan lebih sering menjadi korban atau objek, daripada subjek yang berdiri sendiri. Maka, pertanyaan “mengapa” atas kondisi ini menjadi relevan dan signifikan. Dengan pertanyaan ini kita semakin sadar akan posisi sebenarnya kaum perempuan di tengah masyarakat, sehingga kita dapat berbuat sesuatu untuk/bersama mereka demi kesejahteran bersama (doing something for/with the victims for “bonum commune”).

Menurut Elizabeth Schüssler Fiorenza, apabila ingin mengubah kedudukan perempuan, maka orang harus belajar teologi. Pandangan ini mendorong kaum perempuan untuk lebih banyak mempelajari teologi, sebab refleksi teologi membantu mereka untuk memahami dan mendalami realitas yang sesungguhnya. Pada gilirannya kaum perempuan pun tidak hanya belajar teologi tetapi juga berteologi (doing theology). Apa yang mereka lakukan pada prinsipnya mengarah pada satu cita-cita, yakni masyarakat tanpa dominasi, suatu komunitas demokratis.

Tulisan ini hendak menampilkan tiga potret teolog perempuan yang bergumul dan berjuang demi masyarakat tanpa dominasi. Seperti halnya suatu potret yang bersifat terbatas, tulisan ini pun tidak mungkin mengungkapkan seluruh kekayaan pemikiran masing-masing teolog. 


I. Teologi Agustina Nunuk Prasetyo Murniati

Berangkat dari keprihatinan akan kondisi faktual yang terjadi – bahwa relasi perempuan dan laki-laki dalam masyarakat dunia, khususnya Indonesia, masih bercorak subordinat – Agustina Nunuk Prasetyo Murniati (selanjutnya ditulis Nunuk, sesuai dengan panggilannya) mulai belajar teologi dan berusaha berteologi. Perempuan kelahiran Yogyakarta, 21 Agustus 1943, ini menempuh pendidikan formal teologi di Maryknoll School of Theology, New York. Ia menyadari bahwa untuk berteologi, seorang perempuan membutuhkan usaha dengan sikap tekun dan militan sebab ia dihadapkan pada berbagai cemooh dan pelecehan terhadap pikiran dan perasaannya. Nunuk menuliskan bahwa “Sarana yang selama ini digunakan untuk berteologi sudah ‘telanjur’ menempatkan perempuan pada posisi marjinal. Budaya patriarki telah mewarnai penulisan Kitab Suci, penafsirannya, ritual, sistematika dan metodologi untuk berteologi, dan bahkan gambaran tentang citra Allah.”  



1.1. Gambaran tentang Allah

Nunuk mengakui bahwa sebagai perempuan priyayi Jawa, dalam keluarga Katolik, ia tidak luput dari konstruksi sosial-budaya lokal yang patriarkal. Dari lingkungan terdekatnya, melalui orangtuanya, Nunuk mendapatkan gambaran awal tentang Allah Tritunggal: Allah Bapa sebagai hakim yang mengadili manusia, Roh Kudus sebagai sumber penerangan dan kekuatan, Yesus sebagai yang berhati seluas samudera sehingga kasih-Nya melimpah ruah ke mana-mana. Ia pun mengenal Bunda Maria sebagai tempat mengadu dan mohon doa restu, dan Bapa Yosef sebagai orang yang mengajarkan kesederhanaan.

Gambaran tentang Allah Tritunggal yang melekat pada Nunuk itu pada gilirannya menjadi masalah manakala berjumpa dengan realitas hidup, secara khusus realitas ketidakadilan terhadap perempuan. “Berhadapan dengan penderitaan perempuan itu, aku menyadari betapa citra Allah merupakan pemikiran kaum lelaki,” demikian tulis Nunuk.  

Bagaimanapun relasi dengan Allah adalah sangat pribadi, dan karena itu tidak dapat dibakukan dan tidak boleh dipaksakan. Ideologi gender patriarkal yang membakukan citra Allah ternyata tidak sesuai dengan realitas hidup. Itulah sebabnya dalam perkembangan kemudian Nunuk tidak lagi merasa nyaman membuat tanda salib sambil berkata “demi Allah Bapa, Putra, dan Roh Kudus”, tidak lagi mantap kalau ber-credo “aku percaya akan Allah Bapa yang mahakuasa” dan kalau diberkati dengan simbol laki-laki – maksudnya formula “dalam nama Bapa, Putra (yakni Yesus), dan Roh Kudus (yang membuat Maria mengandung)” tampaknya semua berwajah laki-laki. Nunuk menjumpai Allah dalam citra bukan sebagai “Bapa yang mahakuasa”, dan bukan pula sebagai “yang berwajah laki-laki”, melainkan sebagai Sang Pemberi Hidup, yang penuh kasih, perlindungan dan pemeliharaan. Nunuk menuliskan: 

“Pergumulan membebaskan aku ketika dengan bebas aku menggunakan bahasaku sendiri untuk berdoa dan menyatakan credo, untuk membuat tanda salib atau tanda berkat. Pilihan bahasa, citra, dan simbol sesuai dengan realitas hidup dapat membebaskan kita dari belenggu konstruksi sosial.” 

 
1.2. Gambaran tentang Yesus 

Menurut Nunuk, kita tertipu kalau bergumul untuk memahami siapa Yesus dan melihat Yesus dari kacamata kaum laki-laki saja tanpa mencari siapa Yesus sebenarnya. Penelusuran historis tentang Yesus pada gilirannya mengantar Nunuk untuk mengatakan bahwa Yesus adalah Pejuang kebenaran dan keadilan. Yesus membina kepercayaan bahwa hanya kasih Allah yang menyelamatkan kehidupan, bukan kuasa manusia. Perbuatan-perbuatan Yesus merupakan usaha-usaha untuk mengubah situasi sosial-politik-budaya yang menindas kaum miskin, perempuan, anak, serta orang pinggiran lainnya, sebab Yesus mencita-citakan dunia baru, yang ada di dalam pemeliharaan Kasih Allah Pencipta. 

Dalam pandangan profan, ketertolakan Yesus yang berujung pada kematiannya di kayu salib merupakan “kegagalan perjuangan”. Namun dalam pandangan iman akan Allah, orang dapat menangkap warta kebangkitannya. Yesus dibangkitkan dan bersatu hidup dengan Allah. Maka ia disebut “Tuhan”. Menurut Nunuk, sekalipun kata “Tuhan” jika didengar dalam alam budaya patriarki bercitra laki-laki yang berkuasa serta harus disembah dan ditaati, kita seharusnya segera mengingat Yesus sebagai laki-laki yang hidup dalam budaya patriarkhi tetapi memberi teladan dan arti kepada kaum laki-laki untuk mengubah budaya yang sudah tidak manusiawi lagi. Yesus bukanlah seorang tuan atau master yang melestarikan subordinasi perempuan. Yesus adalah Tuhan, yang membebaskan orang dari cengkeraman mitos “tulang rusuk” dan “buah terlarang”. 


1.3. Gambaran tentang Bunda Maria

Menurut Nunuk, semua atribut dan dogma diperuntukkan Bunda Maria, yang diharapkan untuk diteladani semua “perempuan idaman”, jelas dilatarbelakangi oleh konstruksi perempuan dari perspektif laki-laki. Bunda Maria sebagai perempuan, digambarkan sempurna, diangkat untuk mengimbangi citra perempuan yang tergambar dalam Hawa, perempuan yang jatuh dalam dosa. Jadi, teologi Maria datang dari atas, dari kehendak budaya patriarki yang memengaruhi. 

Pada gilirannya Nunuk mengembangkan teologi Maria atau Mariologi dari bawah, yakni refleksi tentang keimanan dan hidup Maria sebagai pribadi seorang perempuan. Berdasarkan Injil Lukas, Nunuk menegaskan bahwa pilihan Maria untuk menjadi ibu adalah pilihan bebas. Pilihan bebas Maria ini menggambarkan imannya, dan memungkinkan Allah masuk ke dalam sejarah manusia. 

Apabila Gereja Katolik tetap mempertahankan Maria sebagai simbol perempuan, demikian tegas Nunuk, maka pandangan tentang Maria harus berubah. Maria harus dipandang sebagai perempuan sederhana yang dikondisikan oleh masyarakat seperti perempuan lain, yang dibentuk dalam stereotype seperti perempuan lain. Namun Maria berhasil dalam memahami dirinya sebagai pribadi yang bebas dan hanya bergantung kepada Allah. Kedekatannya dengan Allah menunjukkan pemahaman Maria terhadap kehendak Allah. Ia mengutamakan kehendak Allah dalam kehendak bebasnya sebagai pribadi. Maria seperti ini tidak “tersembunyi” di belakang bayangan laki-laki. Ia bebas dan karena itu gambarannya mampu membebaskan perempuan lain. 


1.4. Komentar

Tampak jelas Nunuk berusaha mengimani Allah tidak lagi dari apa yang dikatakan orang lain, entah itu dari orangtua, teman, guru, teolog, atau pastor. Ia pun tidak secara mentah-mentah menghayati Allah sebagaimana dipaparkan Kitab Suci, sebab Kitab Suci pun dipengaruhi budaya patriarki. Nunuk menghampiri dan menyembah Allah “dalam roh dan kebenaran” secara otentik, melalui pengalamannya sendiri sebagai perempuan, dan bersama kaum perempuan.

Otentisitas pemikiran teologis Nunuk ini memang menggugat kemapanan teologi yang dipengaruhi budaya patriarki. Selama ini, paling tidak sampai kemunculan teologi feminis, teologi berwajah laki-laki karena ia dikuasai oleh laki-laki. Tidak dapat disangkali, teologi berwajah laki-laki itu menyembunyikan atau bahkan menyisihkan suara-suara perempuan, dan karena itu ia pun tidak mustahil membuahkan ketidakadilan dan ketidakbenaran. Ini tentu ironis, sebab bukankah percakapan (logos) tentang Tuhan (theos) itu seharusnya menampilkan wajah yang utuh dari ciptaan, baik laki-laki maupun perempuan, baik manusia maupun alam, yang pada gilirannya bermuara pada kesejahteraan bersama, bonum commune?

Nunuk berhasil menampilkan teologi yang sejati ketika ia memulai teologinya melalui jalan (methodos) dari bawah, yakni dari pengalaman keseharian sebagai perempuan, dan bersama perempuan, yang direfleksikan secara imani. Jalan ini tampaknya adalah jalan yang menentang arus, sebab teologi umum yang berwajah laki-laki itu datang dari atas, dari suatu pernyataan-pernyataan dogmatis yang dipandang sebagai kebenaran tunggal. Demikianlah saya dapat memaklumi apabila orang memandang teologi Nunuk sebagai teologi aneh yang ngeyel. Orang yang berkata itu pastilah masih melekat dengan budaya patriarki, atau setidak-tidaknya dia adalah orang yang tidak tahu bahwa dirinya adalah korban dari budaya patriarki. Orang itu harus belajar teologi Nunuk sampai ia sendiri bisa berteologi seperti Nunuk.



II. Teologi Ada María Isasi-Díaz

Ada María Isasi-Díaz lahir dan dibesarkan di La Habana, Kuba. Ia meninggalkan tanah kelahirannya dan menetap di Amerika Serikat pada 1960. Di negeri Paman Sam ini ia belajar teologi di Union Theological Seminary, New York, dan pada 1990 ia menyelesaikan studi doktoralnya (Ph.D.) dengan konsentrasi studi Etika Kristen. Studi ini dan keterlibatannya dalam gerakan teologi feminis mendorong dia untuk membangun suatu teologi dari perspektif perempuan-perempuan Amerika Latin yang tinggal di Amerika Serikat. Ia pun mulai berdialog dengan teologi-teologi berwajah perempuan dan teologi-teologi pembebasan yang bermunculan di seluruh dunia. Kini kalangan akademis mengenal nama Ada Maria Isasi-Díaz sebagai pelopor Teologi Mujerista.


2.1. Teologi Mujerista

Isasi-Díaz menciptakan sendiri istilah mujerista. Istilah ini merupakan acuan pada seorang perempuan Hispanik atau Latina yang berjuang untuk membebaskan dirinya, tidak saja sebagai individu tetapi juga sebagai anggota dalam suatu komunitas Hispanik. Isasi-Díaz menuliskan, “Mujerista is the word we have chosen to name devotion to Latinas’ liberation.” 

Menurut Isasi-Díaz, seorang mujerista adalah seseorang yang menentukan pilihannya untuk berpihak pada perempuan Latina yang berjuang demi pembebasan. Di tengah realitas masyarakat yang menyisihkannya, seorang mujerista mampu memandang dirinya sebagai pribadi yang bebas, yang tidak terpuruk oleh label minoritas atau marginal. Mujerista memahami tugasnya sebagai pejuang yang berpengharapan dalam perwujudan keadilan dan kedamaian. Ia percaya bahwa masyarakat di mana ia berada membutuhkan perubahan radikal. “Our mission is to challenge oppresive structures that refuse to allow us to be full members of society while preserving our distinctiveness as Hispanic women,” demikian tulis Isasi-Díaz. 

Isasi-Díaz menyebut praksis pembebasan kaum perempuan Hispanik atau Latinas sebagai teologi mujerista. Teologi ini memungkinkan kaum perempuan Hispanik untuk memahami bahwa tujuan perjuangan mereka adalah tidak terlibat dalam, dan mengambil keuntungan dari, struktur-struktur yang menindas, melainkan mengubah struktur-struktur itu secara radikal. Dalam bahasa teologis dan agama, ini berarti bahwa teologi mujerista membantu para perempuan Hispanik untuk menemukan dan menegaskan kehadiran Allah di tengah komunitas mereka dan pewahyuan Allah dalam keseharian hidup mereka. Selanjutnya, teologi mujerista mendesak dan menolong para perempuan Hispanik dalam menentukan pilihan masa depan mereka. Dalam bahasa teologis dan agama, ini berarti bahwa teologi mujerista memungkinkan para perempuan Hispanik untuk memahami pokok eskhatologi dalam kehidupan setiap orang Kristen. Akhirnya teologi mujerista memungkinkan para perempuan Hispanik atau Latinas untuk memahami seberapa jauh mereka larut dalam sistem-sistem yang berlaku di masyarakat, termasuk sistem-sistem keagamaan. Teologi mujerista membantu para perempuan Hispanik untuk menyadari bahwa perubahan struktur secara radikal tidak akan terjadi apabila setiap diri mereka tidak berubah secara radikal. Dalam bahasa teologis dan agama, ini berarti bahwa teologi mujerista membantu para perempuan Hispanik dalam proses pertobatan, menolong mereka untuk menyadari realitas dosa dalam kehidupan mereka. 


2.2. Gambaran tentang Allah dan Yesus

Bersama Yolanda Tarango, Isasi-Díaz menggali gambaran tentang Allah melalui wawancara enam perempuan Hispanik keturunan Meksiko, Kuba dan Puerto Rico. Mereka mendapati gambaran Allah sebagai “sentimento” (perasaan yang mendalam), “Roh”, “campuran sifat terbaik yang saya kagumi dalam diri orang lain”, dan “Wujud Tertinggi yang memberi kehidupan”. Keenam perempuan Hispanik ini, sekalipun tidak mengabaikannya, tidak berbicara secara dominan tentang Yesus. 

Lebih lanjut Isasi-Díaz mengungkapkan bahwa kebanyakan kaum perempuan Hispanik akar rumput lebih mengenal dan merayakan figur para Kudus (the Saints) daripada figur Yesus. Bahkan di negara-negara di mana figur Yesus menjadi pokok keagamaan rakyat, figur Yesus yang disembah dan dipuja tidak bertautan dengan Yesus historis atau Yesus dari kristologi. Di Peru, misalnya, devosi utama masyarakat urban adalah kepada El Seńor de Los Milagros (Tuhan Mujizat-Mujizat). Gambaran El Seńor de Los Milagros terdiri atas Yesus di atas kayu salib bersama Maria dan Yohanes. Namun, jika orang mendengar secara cermat doa-doa, nyanyian-nyanyian, dan cerita-cerita mujizat-mujizat yang El Seńor lakukan bagi masyarakat, maka gambaran El Seńor ini jelas tidak merujuk kepada Yesus dalam Injil. Mereka mengenal El Seńor, tetapi tidak tahu Yesus dalam Injil. Mereka tidak mengenal konsep bahwa El Seńor adalah Allah yang menjadi manusia. Bagi mereka, yang paling penting adalah apa yang El Seńor telah lakukan dalam hidup mereka dan bukan siapa El Seńor itu. 

Menurut Isasi-Díaz, banyak teolog yang mengenyam pendidikan akademis mengabaikan kenyataan bahwa sebagian besar kaum perempuan Hispanik sangat kurang menautkan kehidupan iman mereka kepada Yesus. Oleh karena itu, ketika mereka berbicara tentang Yesus dari kaum perempuan Hispanik, mereka memang menggambarkan Yesus secara baru, tetapi itu lebih sebagai gambaran imajiner belaka, bukan Yesus sebagaimana dipahami oleh kaum perempuan Hispanik akar rumput. Seorang teolog mujerista akan mengungkapkan gambaran Allah dan Yesus dari pengalaman hidup para perempuan Hispanik, sehingga tidak mengherankan kalau ia memandang bahwa Kitab Suci bukanlah segala-galanya. 


2.3. Pandangan tentang Kitab Suci

Seperti dinyatakan di atas, teologi mujerista berangkat dari pengalaman pergumulan kaum perempuan Hispanik yang mempertahankan kelangsungan hidup mereka, dan bukan dari Kitab Suci. Kekristenan kaum perempuan Hispanik adalah suatu mestizaje (hibrid) yang dipengaruhi oleh kekatolikan devosional warisan penakluk Spanyol (Spanish conquest), dan oleh praktek-praktek keagamaan orang Afrika dan orang Amerindian. Kekatolikan conquistadores kurang didasarkan pada Kitab Suci, demikian pula praktek keagamaan rakyat. Akibatnya sebagian besar perempuan Hispanik tidak membaca Kitab Suci dan hanya mengenal versi-versi populer cerita-cerita Kitab Suci. 

Isasi-Díaz berpendapat bahwa perempuan Hispanik seharusnya dan harus menerima Kitab Suci sebagai otoritatif dan menggunakan Kitab Suci sebagai unsur intrinsik dalam pemahaman-pemahaman keagamaan, sejauh itu dapat memungkinkan mereka untuk berteologi, untuk berjuang demi kelangsungan hidup. Kitab Suci bukanlah sumber teologi mujerista. Hanya beberapa bagian dari Kitab Suci, yang memungkinkan suatu pemahaman pembebasan sejati perempuan Hispanik, diterima sebagai kebenaran yang tersingkap, suatu “dokumen pewahyuan ilahi berkaitan dengan keselamatan”. 


2.4. Komentar

Sebagai seorang teolog Kristen, Ada Maria Isasi-Díaz tampak melangkah lebih berani dengan teologi mujerista-nya. Ia jelas mau merekonstruksi teologi Kristen demi perjuangannya mengubah secara radikal sistem-sistem yang berlaku di masyarakat, secara khusus komunitas Hispanik di Amerika Serikat, yang sarat dengan logika patriarki.

Dalam pemikiran teologinya, Isasi-Díaz jelas memandang pewahyuan Allah secara utuh dan konsisten, tidak hanya sebatas di dalam Kitab Suci atau tradisi Gereja tetapi juga di dalam kenyataan sejarah dan pengalaman hidup para perempuan Hispanik. Oleh karena itu, kalau ia berani mengatakan bahwa teologi mujerista tidak bersumber pada Kitab Suci, dan karena itu pula tidak menautkannya kepada Allah dalam Kitab Suci atau kepada Yesus dalam Injil, melainkan pada praksis pembebasan kaum perempuan Hispanik, maka keberaniannya itu tentu merupakan buah refleksi iman yang otentik.

Tentu saja teologi mujerista tidak dapat berlaku universal karena ia sarat dengan muatan pengalaman lokal, secara khusus pengalaman perempuan Hispanik di Amerika Serikat. Namun, dari teologi ini kita dapat belajar tentang metodologi teologi yang mampu mengangkat suara-suara kaum tersisih di tengah realitas kehidupan. Lebih dari itu, kita pun dapat merasakan gelora semangat dalam teologi ini, yakni semangat untuk berjuang di dalam hidup demi perwujudan komunitas demokratis. Kata Isasi-Díaz, “La vida es la lucha!” – “Perjuangan adalah hidup!”



III. Teologi Chung Hyun Kyung

Salah seorang teolog feminis Asia yang berjuang untuk pembebasan kaum perempuan di dunia, secara khusus Asia, adalah Chung Hyun Kyung. Perempuan asal Korea ini mengenyam pendidikan teologi di Claremont School of Theology (1984), di Women’s Theological Center, Boston (1984), dan di Union Theological Seminary, New York (Ph.D., 1989). Pada 1990 ia memperkenalkan teologi perempuan Asia melalui bukunya Struggle to be the Sun Again. Dari judul bukunya ini, ia bermaksud mengungkapkan bahwa kaum perempuan Asia sedang berjuang untuk pembebasan. Terinspirasi oleh puisi “The Hidden Sun” karya Hiratsuka Raicho, Chung Hyun Kyung hendak menegaskan bahwa semula perempuan Asia adalah matahari, seorang pribadi yang otentik. Namun kemudian perempuan Asia adalah bulan, suatu gambaran yang menunjukkan pribadi yang terbelenggu oleh bayang-bayang laki-laki. Oleh karena itu, perempuan Asia berjuang untuk menjadi matahari kembali, menjadi pribadi yang bebas dari bayang-bayang laki-laki.


3.1. Teologi Perempuan Asia

Chung Hyun Kyung mengungkapkan bahwa teologi perempuan Asia lahir dari airmata dan keluh-kesah kaum perempuan Asia, dan dari hasrat yang membara untuk pembebasan dan keutuhan ciptaan. Sejarah panjang penderitaan karena kolonialisasi telah membuat kaum perempuan Asia menangis dan menjerit. Mereka hidup di bawah bayang-bayang laki-laki (budaya patriarki) yang berkuasa mengatur, menindas, melecehkan kedirian mereka sebagai manusia yang berpribadi. Kolonialisme, neo-kolonialisme, militerisme, dan kediktatoran adalah realitas harian kebanyakan perempuan Asia. Realitas seperti itu menyebabkan kaum perempuan Asia terpuruk sebagai yang miskin di antara kaum miskin. 

Dalam kerinduan mereka untuk kepenuhan sebagai manusia, perempuan Asia menjumpai dan datang kepada Allah. Chung Hyun Kyung menegaskan bahwa bagi perempuan Asia hal itu berarti suatu upaya memahami tujuan ultim dari kehidupan mereka dan upaya menemukan makna dari kehadiran mereka dalam sejarah dan kosmos ini. Demikianlah pemahaman perempuan Asia tentang kemanusiaan secara langsung bertalian dengan pemahaman tentang siapa Allah dan apa yang Allah lakukan di tengah penderitaan mereka dan perjuangan mereka demi pembebasan.  


3.2. Gambaran tentang Allah

Chung Hyun Kyung memaparkan beberapa gambaran tentang Allah yang muncul dari kaum perempuan Asia. Banyak perempuan Asia berpikir bahwa Allah memiliki kualitas-kualitas baik perempuan maupun laki-laki. Gambaran Allah semacam ini berasal dari agama-agama asli Asia yang mengenal dewa-dewi. Mereka percaya bahwa gambaran inklusif Allah yang memiliki sisi kelaki-lakian dan sisi keperempuanan menawarkan kesederajatan dan harmoni antara laki-laki dan perempuan.  

Gambaran lain tentang Allah yang muncul di tengah kaum perempuan Asia adalah Allah sebagai komunitas, bukan individu. Gambaran ini berhasil memberdayakan banyak perempuan Asia untuk keluar dari individualisme mereka, serta menggerakkan mereka untuk mengambil bagian dalam relasi kesalingbergantungan di tengah komunitas. 

Menurut Chung Hyun Kyung, generasi teolog perempuan Asia belakangan memunculkan gambaran Allah sebagai Roh Pemberi Hidup. Roh yang demikian ini dapat mereka jumpai di dalam diri mereka dan di dalam segala sesuatu yang mengembangkan kehidupan. Dengan perkataan lain, teolog-teolog perempuan Asia ini mengangkat imanensi Allah dalam teologi-teologi mereka. 

Chung Hyun Kyung sendiri merefleksikan Allah sebagai sumber pemberdayaan bagi kehidupan dan pembebasan di dalam dunia alami dan insani. Ia memohon pertolongan Roh Kudus melalui roh-roh kaum tertindas yang setia berjuang demi kehidupan. 


3.3. Gambaran tentang Yesus

Menurut Chung Hyun Kyung, untuk mengungkapkan pengalaman-pengalaman mereka mengenai Yesus, kebanyakan perempuan Asia memakai gelar-gelar tradisional yang mereka telah terima dari para misionaris. Karena banyak gereja Kristen di Asia masih dikuasai teologi-teologi misionari Barat dan penafsiran-penafsiran androsentrik atas Kitab Suci, maka beberapa teologi perempuan Asia di permukaannya tampak serupa dengan teologi-teologi misionari Barat atau teologi-teologi laki-laki Asia. Namun, jika kita perhatikan dengan seksama, maka kita akan menemukan kemunculan makna baru dari bahasa lama, seperti makna baru tentang Yesus sebagai hamba yang menderita, Yesus sebagai Tuhan, dan Yesus sebagai Imanuel. 

Chung Hyun Kyung mengungkapkan bahwa semakin bebas para perempuan Asia dari otoritas-otoritas patriarkal di dalam keluarga mereka, gereja dan masyarakat, maka semakin mereka berlaku kreatif di dalam pengungkapan mereka tentang Yesus Kristus. Kadang-kadang gambaran-gambaran tradisional Yahudi dan Kristen tentang Yesus telah terputus sama sekali dari gambaran-gambaran yang berasal dari gerakan perempuan Asia. Sebagai contoh, Chung Hyun Kyung memaparkan gambaran Yesus sebagai Pembebas, Tokoh Revolusioner, dan Martir Politik. Selain itu, ia pun memaparkan gambaran Yesus sebagai Ibu, Perempuan dan Shaman, dan sebagai Pekerja dan Bulir Padi. Semua gambaran baru tentang Yesus tersebut berasal dari konteks sosial dan pengalaman kaum perempuan Asia yang direfleksikan secara imani. 


3.4. Komentar

Paparan Chung Hyun Kyung tentang teologi perempuan Asia menyimpulkan satu fenomena yang terjadi di negara-negara Asia, yakni kebangkitan kaum perempuan. Suatu kebangkitan menandakan upaya meninggalkan kehidupan lama yang dalam konteks realitas kaum perempuan Asia berupa kondisi keterpurukan di bawah bayang-bayang laki-laki. Dengan demikian, suatu kebangkitan adalah perjalanan hidup baru yang diperjuangkan, tanpa mengenal takut dan lelah sebab ada pengharapan.

Perjuangan “to be the sun again” Chung Hyun Kyung melalui teologi dan berteologi mendapat tantangan manakala ia dituduh sebagai seorang sinkretis. Menurut saya, tuduhan sebagai seorang sinkretis kepada seorang teolog feminis adalah hal yang tidak aneh mengingat metodologi teologi feminis yang bersifat induktif, dari bawah, dari pengalaman-pengalaman kaum perempuan di tengah realitas kehidupan mereka. Saya menduga, orang yang mencap sinkretis terhadap teolog feminis seperti Chung Hyun Kyung, Ada Maria Isasi-Díaz, atau Agustina Nunuk Prasetyo Murniati, tidak bertindak otentik dalam keberimanannya kepada Allah. Ia justru dapat disebut sebagai seorang sinkretis, karena ia memiliki kekuasan hegemonik ketika menafsirkan Kitab Suci, menjumpai Allah atau Yesus di luar pengalaman hidupnya sendiri. Yang jelas, ia pasti adalah seorang yang tidak menghayati apa artinya hidup dalam komunitas demokratis. Teolog-teolog feminis bagaimanapun sudah dan terus mewujudkan komunitas demokratis itu.

 

Hendri M. Sendjaja


Kepustakaan

“Chung Hyun Kyung,” dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Chung_Hyun_Kyung (diakses 11 Oktober 2007).

Chung, Hyun Kyung. 1990. Struggle to be the Sun Again: Introducing Asian Women’s Theology. New York: Orbis Books.

Clifford, Anne M. 2002. Memperkenalkan Teologi Feminis, terj. Yosef M. Florisan. Maumere: Ledalero.

Isasi-Díaz, Ada María. 1989. “Mujeristas: A Name of Our Own!” dalam The Christian Century, May 24-31. Diakses dari http://www.religion-online.org/showarticle.asp?title=874, pada 29 Oktober 2007.

_______. 1996. “The Task of Hispanic Women’s Liberation Theology – Mujeristas: Who We Are and What We Are About,” dalam King, Ursula, ed. Feminist Theology from the Third World: A Reader. London: SPCK; New York: Orbis Books.

_______. 1996. Mujerista Theology. New York: Orbis Books.

_______. 1998. “The Bible and Mujerista Theology,” dalam Thistlethwaite, Susan B., dan Engel, Mary Potter, eds. Lift Every Voice: Constructing Christian Theologies from the Underside. New York: Orbis Books.

 _______. 2004. En la Lucha/In the Struggle: Elaborating a Mujerista Theology. Minneapolis: Fortress.

Murniati, A. Nunuk P. 1997. “Peranan Perempuan dalam Gereja dan Masyarakat,” dalam Beding, Marce, dkk. Gereja Indonesia Pasca-Vatikan II: Refleksi dan Tantangan. Yogyakarta: Kanisius.

_______. 1997. “Pengaruh Ideologi Gender dalam Gereja,” dalam Rohani, No. 44, Oktober.

_______. 1998. “Kesederajatan dalam Kuasa Roh,” dalam Rohani, No. 45, Maret.

_______. 1999. “Teologi Feminis Kristiani di Indonesia,” dalam Gema Duta Wacana, No. 55.

_______. 1999. Gerakan Anti-Kekerasan terhadap Perempuan. Yogyakarta: Kanisius.

_______. 2001. “Spiritualitas Demi Kehidupan, Teologi Demi Pembebasan,” dalam Orientasi Baru: Jurnal Filsafat dan Teologi, No. 14.

_______. 2004. Getar Gender: Bagian Kedua. Magelang: Indonesiatera.

1 komentar:

Y. AGUS YUDIANTO mengatakan...

Yth. Bpk. Hendri M. Sendjaja
Menarik sekali membaca artikel2 Bp di blog ini, sangat mendalam ulasannya. Apakah diperkenankan saya kutip beberapa artikel untuk saya posting ke blog saya di: http://programkatekese.blogspot.com ? tentu saja dengan mencantumkan kutipan dari blog ini terlebih dahulu. Terima kasih. Banyak.
Syalom,
Y.A. Yudianto