Jumat, 11 Juli 2008

DOKTRIN TRINITAS: SUATU PEMAHAMAN

“O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya!” (Roma 11:33)

“Adalah sulit membayangkan Allah, merumuskan-Nya dalam kata-kata adalah suatu kemustahilan…. Dalam pandangan saya, tidak mungkin mengungkapkan Dia dan lebih tidak mungkin lagi membayangkan-Nya.” (Gregory Nazianzus, c.a. 329-390)[1]



INILAH seharusnya yang menjadi kesadaran kita bahwa “yang terbatas tidak mampu menampung Yang Tak-Terbatas” – finitum non capax Infiniti. Allah senantiasa lebih besar daripada setiap konsep dan gambaran yang dapat dibuat oleh manusia. Akal manusia tidak dapat menjangkau realitas Allah secara sempurna dan tuntas. Bahasa manusia pun terbatas untuk mengungkapkan Dia, tidak dapat menampung realitas-Nya. Deus semper maior.

Tidak dapat dielakkan, Trinitas adalah doktrin[2] Kristiani yang misterius dan membingungkan. Doktrin ini menimbulkan perdebatan-perdebatan, baik dari pihak orang Kristiani sendiri maupun non-Kristiani. Akibatnya, beberapa orang menilai bahwa doktrin ini lebih baik ditiadakan saja. Berikut ini beberapa alasan dari mereka:

(1) Doktrin Trinitas lahir dari konteks zaman Patristik yang sarat dengan pengaruh Helenisme. Ada jarak yang begitu jauh antara konteks zaman Patristik dengan konteks zaman masa kini; dan alam pemikiran manusia masa kini pun sangat berbeda. Doktrin Trinitas dianggap sudah tidak relevan lagi dengan alam pemikiran masa sekarang.

(2) Doktrin Trinitas mengundang serangan dari pihak non-Kristiani, sehingga dinilai tidak cukup menciptakan suasana dialog. Contoh serangan dari pihak non-Kristiani: Hasbullah Bakry dalam bukunya Nabi Isa dalam Al-quran dan Nabi Muhammad dalam Bijbel (1959, 1961)[3] menuliskan:

“Diantara bukti2 kelantjangan tangan orang2 Nasrani itu ialah ajat2 jang menjatakan ketuhanan nabi Isa jang terdapat dalam kitab Indjil jang ada sekarang. Selain itu orang Nasrani djuga menafsirkan ajat2 Taurat dan Indjil terlalu bebas sehingga djuga mempertuhankan Marijam.

Mereka djuga menggabungkan Allah, Isa dan Djibril sebagai Tuhan kesatuan sehingga Allah hanja merupakan Tuhan jang ketiga sadja dari gabungan itu (Trinitas). Djuga keterlaluan mereka jang menganggap Isa itu sebagai anak Allah.”

Dalam bukunya, Keesaan Tuhan Menurut Ajaran Kristen dan Islam (Jakarta, Media Dakwah, 1983), H. M. Arsyad Thalib Lubis menyerang habis-habisan ajaran tentang Trinitas dan ketuhanan nabi Isa. Dasar argumentasinya adalah kepercayaan bahwa “tiada Tuhan selain Allah.” Kepercayaan Kristiani akan Allah yang Tritunggal dan ajaran tentang keallahan Kristus dianggap sebagai penyembahan tiga Allah atau dengan perkataan lain, menduakan atau menyekutukan Allah.

(3) Doktrin ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan kritis yang sulit dijawab dari orang-orang Kristiani sendiri. Contoh pertanyaan-pertanyaan:

- Setelah Yesus dibaptis, langit terbuka dan Yesus melihat Roh Allah seperti burung merpati turun ke atas-Nya, lalu terdengarlah suara dari Sorga: “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.” (Mat 3:16-17//Mrk 1:10-11//Luk 3:21-22//Yoh 1:32-34) Pertanyaan: bagaimana penjelasan tentang tiga “tokoh” (Yesus, Roh Allah, Suara dari Sorga atau Allah) yang tampil bersamaan itu?

- Sebelum ditangkap, Yesus berdoa di taman Getsemani: “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.” (Mat 26:36-dst.//Mrk 14:32-dst.//Luk 22:39dst.) Pertanyaan: kalau Yesus adalah Allah, maka sebenarnya Yesus berdoa kepada siapa?

- Sebelum mati, Yesus berseru dengan suara nyaring: “Eli, Eli lama sabakhtani? – Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat 27:46) Pertanyaan: kalau Yesus adalah Allah, maka apakah itu berarti Yesus berseru kepada diri-Nya sendiri?

Tulisan ini berangkat dari pandangan bahwa doktrin Trinitas tidak dapat tidak ada dalam kristianitas. Doktrin Trinitas merupakan suatu keunikan kristianitas yang signifikan bagi kehidupan dunia. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah: gereja melaksanakan pembelajaran tentang doktrin Trinitas bagi umat.

Sebenarnya pembelajaran tentang Doktrin Trinitas mencakup pemahaman, penghayatan, dan penerapan tentang Trinitas. Tulisan ini mengambil bagian hanya pemahaman tentang Trinitas. Itulah sebabnya titik berat paparan terletak pada sejarah pembentukan doktrin Trinitas. Pada bagian akhir tulisan, penulis membuat semacam benang merah untuk upaya pemahaman Trinitas.

I. Sejarah Pembentukan Doktrin Trinitas

Pembentukan Doktrin Trinitas tidak terlepas dari sejarah kepercayaan orang Yahudi. Kita sadar, kekristenan lahir di Israel, dan ini berkaitan erat dengan hidup dan karya Yesus Kristus. Menurut Kisah Para Rasul 11:26: “Di Antiokhialah murid-murid untuk pertama kalinya disebut Kristen (khristianoi).” Kata ‘Kristen’ ini berarti: ‘pengikut Kristus’.[4]

Untuk mendapatkan gambaran historis yang dapat diikuti, maka paparan sejarah pembentukan Doktrin Trinitas dimulai dari paham Allah sebagaimana yang dihayati “orang Israel (Yahudi) Perjanjian Lama (PL)”.[5]

1. Dimulai dari Paham Allah Israel

Orang Israel PL memahami dan menghayati Allah sebagai “Yang-Transenden-dan-Imanen”.[6] Pemahaman dan penghayatan ini tampak di sana-sini di dalam PL.

Dalam 1Raj 8:27, tampak jelas suatu penggambaran Allah Yang Transenden, yang kehadiran-Nya tidak dapat tertampung oleh sesuatu apapun di jagat raya ini, termasuk Bait Suci.

“Tetapi benarkah Allah hendak diam di atas bumi? Sesungguhnya langit, bahkan langit yang mengatasi segala langit pun tidak dapat memuat Engkau, terlebih lagi rumah yang kudirikan ini.”

Allah Yang Transenden juga tidak dapat dikurung oleh waktu. Dia memiliki ketetapan dan kesetiaan yang tidak pernah berlalu. Tulis Yes 48:12: “Dengarlah Aku, hai Yakub, dan engkau Israel yang Kupanggil! Akulah yang tetap sama, Akulah yang terdahulu, Akulah juga yang terkemudian!”

Kategori utama dalam PL yang menyatakan transendensi Allah adalah kesadaran akan kekudusan. Kekudusan adalah kekhasan hakikat Allah yang membedakan Dia dari segala sesuatu yang ada di dunia. “Kudus, kudus, kuduslah TUHAN semesta alam, seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya!” demikian Yes 6:3. Dari kesadaran akan kekudusan Allah ini, orang Israel memahami bahwa siapa pun yang memandang atau berbicara dengan Allah Yang Transenden, ia akan mati atau celaka (Kel 3:5-6; Kel 20:20; Yes 6:5). Pada gilirannya kesadaran akan kekudusan Allah mengharuskan orang Israel untuk hidup kudus pula (lihat: Im 17-26; 19:2; 20:26).

Selain gambaran Allah Yang Transenden, PL tampaknya juga memberikan gambaran Allah Yang Imanen. Gambaran Allah yang hadir di dalam kehidupan manusia ini terungkap melalui kesaksian orang Israel yang hidup bersama Allah. Contohnya kesaksian Yakub. Ketika memberkati Efraim dan Manasye, anak-anak Yusuf, Yakub berkata:

“Nenekku dan ayahku, Abraham dan Ishak, telah hidup di hadapan Allah; Allah itu, sebagai Allah yang telah menjadi gembalaku selama hidupku sampai sekarang, dan sebagai Malaikat yang telah melepaskan aku dari segala bahaya, Dialah kiranya yang memberkati orang-orang muda ini sehingga namaku serta nama nenek dan bapaku, Abraham dan Ishak, termasyhur oleh karena mereka dan sehingga mereka bertambah-tambah menjadi jumlah yang besar di bumi.” (Kejadian 48:15-16)

Allah Yang Imanen adalah Allah yang terlibat di dalam sejarah kehidupan ciptaan-Nya. Dia bukanlah Allah yang duduk diam di singgasana kebesaran-Nya. Dia hadir di dalam ciptaan-Nya (Ayub 37), sangat peka akan penderitaan umat-Nya.

“Akulah TUHAN, Aku akan membebaskan kamu dari kerja paksa orang Mesir, melepaskan kamu dari perbudakan mereka dan menebus kamu dengan tangan yang teracung dan dengan hukuman-hukuman yang berat. Aku akan mengangkat kamu menjadi umat-Ku dan Aku akan menjadi Allahmu, supaya kamu mengetahui bahwa Akulah, TUHAN, Allahmu, yang membebaskan kamu dari kerja paksa orang Mesir. Dan Aku akan membawa kamu ke negeri yang dengan sumpah telah Kujanjikan memberikannya kepada Abraham, Ishak dan Yakub, dan Aku akan memberikannya kepadamu untuk menjadi milikmu; Akulah TUHAN.” (Kel 6:5-7)

Kategori utama dalam PL yang menyatakan imanensi Allah adalah kesadaran akan kedekatan. Kedekatan ini dirasakan orang Israel melalui sejarah kehidupan mereka. Orang Israel PL tidak memandang peristiwa-peristiwa kehidupan dunia sebagai tampilan yang telanjang begitu saja. Mereka menyelaminya lantaran peristiwa-peristiwa kehidupan (dipandang) memuat makna yang kaya. Inilah yang disebut “pemaknaan hidup”. Pemaknaan hidup ini menggiring mereka kepada kesadaran akan kedekatan Allah, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi ciptaan-Nya, bahwa Allah itu baik, kasih-setia-Nya untuk selama-lamanya (Mzm 136). Gambaran kedekatan Allah dalam PL antara lain terdapat di dalam Hos 2:18; Yes 46:3-4; 49:14-16; 66:13.

2. Dipertajam oleh Kesaksian Hidup dan Karya Yesus

Sejarah bangsa Israel dalam Kitab Suci penuh dengan tragedi dan penderitaan. Paling tidak kita dapat menunjukkannya melalui penaklukan dan penjajahan bangsa-bangsa asing atas Israel. Berturut-turut: Asyur, Babilonia, Persia, Yunani, Romawi, berhasil menaklukkan dan menjajah Israel.[7]

Dalam masa tragis dan sengsara tersebut, di Israel, berkembang apa yang dinamakan tradisi apokaliptik.[8] Secara sederhana, tradisi ini menggambarkan pertentangan antara kekuatan yang jahat dan yang baik, antara gelap dan terang.[9] Penggambaran realitas yang cenderung dualisme ini mengisyarat-kan suatu jeritan pengharapan umat akan Allah Yang-Transenden-dan-Imanen. Umat berharap, Allah Yang-Transenden-dan-Imanen itu mau membebaskan mereka dari tragedi dan penderitaan.

Pengharapan umat secara konkret adalah berupa “kedatangan seorang Raja Damai.” Raja ini diharapkan mampu membebaskan umat dan membawa umat ke dalam keselamatan atau shalom (Yes 11:1-10; Mikha 5). Ia disebut sebagai antara lain: Mesias, Anak Manusia, Anak Daud, Anak Allah.

Pengharapan akan Mesias terus berlangsung sampai pada zaman Yesus.[10] Ini bisa dipahami lantaran pada masa Yesus Israel tetap di bawah penaklukan dan penjajahan Romawi. Tampaknya pengharapan akan Mesias berkembang ke arah hal-hal politis (yang bersifat partikular), yakni pengharapan akan kehadiran “tokoh” yang mampu memulihkan Israel. Oleh karena itu, pada masa Yesus dan sesudahnya, banyak tokoh pergerakan politis menggembar-gemborkan kedatangan mesias, bahkan mengaku diri sebagai tokoh mesianis.[11]

Yesus adalah salah seorang yang pada gilirannya dianggap sebagai Mesias, paling tidak oleh para murid-Nya (Mat 16:13-20//Mrk 8:27-30//Luk 9:18-21). Awalnya Yesus dianggap sebagai Mesias dalam pengertian partikular untuk bangsa Israel (lihat: Mat 20:2-28//Mrk 10:35-45; Kis 1:6). Hal ini bisa dipahami karena Yesus memang berjuang untuk kedamaian bangsanya melalui khotbah-khotbah, perbuatan-perbuatan ajaib (mujizat), dan juga proklamasi penentangan apapun bentuk penindasan yang melahirkan penderitaan, baik yang dilakukan oleh pelaku dan institusi pemerintah maupun pelaku dan institusi keagamaan. Tidak jarang Yesus pun menyatakan diri-Nya sebagai pemenuhan kabar baik Kerajaan Allah (bdk. Luk 4:18-21; Mat 11:2-6//Luk 7:18-23). Pada perkembangan kemudian Yesus pun dianggap sebagai Mesias dalam pengertian universal untuk dunia (Yoh 3:16). Pergeseran anggapan ini merupakan hasil dari perenungan (refleksi) para murid atas hidup dan karya Yesus. Dalam hal ini, Yesus menjadi Kristus (Khristos, bhs. Yunani: ‘Yang Diurapi’). “Pemberita Injil Kerajaan Allah” itu telah menjadi “Yang Diberitakan”, The Proclaimer Became the Proclaimed.[12] Di dalam Yesus Kristus, Allah telah menyatakan diri-Nya, telah melawat umat-Nya (Luk 7:16; 19:44).

Sejak pergeseran anggapan tentang Yesus tersebut, orang-orang yang disebut Khristianoi atau Kristen (Kristiani) merumuskan pengakuan imannya: “Yesus Kristus adalah Tuhan.” (Flp 2:11; 1Kor 12:3) Inilah pengakuan iman Kristiani yang mula-mula. Bagi Paulus, pengakuan iman ini dimungkinkan karena pekerjaan Roh Allah saja (1Kor 12:3). Dari sini kita melihat bagaimana refleksi umat Kristiani sampai kepada pengakuan akan ketuhanan Yesus Kristus dan pengakuan akan pekerjaan Roh Allah atau Roh Kudus.

Lebih lanjut Paulus menyatakan imannya demikian: “Sebab dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allahan.” (Kol 2:9) Maka berkembanglah Kristologi, pemahaman ke-Allahan di dalam diri Yesus Kristus. Penulis Injil Yohanes kemudian mengungkapkan “Kristologi dari atas”, yang mana Yesus Kristus dipahami sebagai Firman Allah yang telah menjadi manusia, sebagai penyataan Allah di dunia (Yoh 1:1, 14, 18). Bagi Penulis Yohanes, hubungan antara Yesus Kristus dan Allah itu satu:

“Barangsiapa percaya kepada-Ku, ia bukan percaya kepada-ku, tetapi kepada Dia, yang telah mengutus Aku; dan barangsiapa melihat Aku, ia melihat Dia, yang telah mengutus Aku.” (Yoh 12:44-45)

“Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan, yang Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu.” (Yoh 17:22)

Perihal keterkaitan dengan Roh Kudus, bagi Penulis Yohanes Roh Kudus itu adalah Penolong lain, Penghibur (Yunani: Parakletos) yang dijanjikan Yesus Kristus. Roh Kudus dinyatakan sebagai Roh Kebenaran yang akan menyertai dan tinggal di dalam para pengikut Kristus. (Yoh 14:15-26)

Pada perkembangan selanjutnya, Gereja Mula-mula mulai memasukkan rumusan liturgis yang menyatakan pengakuan iman akan Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus (2Kor 13:13; Mat 28:19). Kemudian Penulis 1Yohanes (5:7) menegaskan sebagai berikut: “Sebab ada tiga yang memberi kesaksian [di dalam sorga: Bapa, Firman dan Roh Kudusl dan ketiganya adalah satu...]”

3. Diperdebatkan oleh Orang Yahudi

Sekitar pertengahan abad kedua, Justinus, menulis buku Dialog. Buku itu merupakan dialog antara seorang Kristen (Justinus sendiri) dengan seorang Yahudi yang bernama Trypho. Dalam buku itu, Trypho menegaskan keberatan orang Yahudi terhadap iman Kristiani. Menurut Trypho, orang-orang Kristiani mengkhianati iman para nabi akan Allah Yang Esa. Orang-orang Kristiani dicap sebagai pengkhianat monoteis Israel.[13]

4. Dirumuskan oleh Bapa-bapa Gereja

Berbagai upaya dilakukan oleh Bapa-bapa Gereja menghadapi keberatan-keberatan yang diajukan oleh kalangan Yahudi. Upaya ini didukung oleh pengaruh pemikiran filosofis Yunani, terutama Platonisme dan Neo-Platonisme. Akibatnya, argumen-argumen tentang Allah Tritunggal beragam dan mengundang perdebatan-perdebatan yang lain. Sebagai contoh: Justinus memahami Allah Tritunggal secara subordinasianis: Anak dan Roh bergantung dari Bapa; Anak melaksanakan tugas perutusan yang diberikan oleh Bapa; Roh menyelesaikan tugas Anak. Subordinasianisme ini nyata dalam rumusan seperti yang kita temukan dalam Doa Syukur Agung Justinus: “Hormat dan pujian bagi Bapa alam semesta melalui nama Putra dan Roh Kudus.” Kata ‘melalui’ memperlihatkan pikiran bahwa Putra (Anak) dan Roh Kudus merupakan pengantara yang bergantung dari Bapa. Selain Justinus, Origenes dan Arius dapat digolongkan sebagai penganut subordinasianisme.[14]

Ada suatu kelompok Kristiani Mula-mula yang sangat prihatin akan keesaan Allah. Mereka berharap keesaan Allah tidak dikhianati oleh pengakuan iman Kristiani. Oleh karena itu mereka berusaha mencari jalan, bagaimana hubungan khusus Yesus dengan Allah bisa dipikirkan tanpa membahayakan keesaan absolut Allah. Dua macam jawaban yang mereka ajukan – itulah sebabnya kemudian mereka dibagi atas dua golongan.[15]

Golongan pertama adalah monarkianisme dinamis. Golongan ini berpendapat bahwa Yesus merupakan manusia biasa, tetapi Allah melengkapi-Nya dengan suatu kekuatan (dunamis) istimewa. Pelengkapan itu terjadi pada peristiwa pembaptisan Yesus di Sungai Yordan, atau ketika Yesus ditinggikan Allah dalam peristiwa kebangkitan. Jadi, Yesus hanya diangkat sebagai Anak Allah, tanpa sungguh sebagai Allah. Karena ada proses pengangkatan (adopsi), maka golongan ini pun dikenal dengan sebutan adopsianisme. Pendukung golongan ini antara lain: Paulus dari Samosata. Pada tahun 269, paham seperti ini ditolak oleh sebuah sinode di Antiokhia.

Golongan kedua adalah monarkianisme modalis (kata Latin modus berarti ‘cara’). Menurut golongan ini, Yesus adalah suatu cara Allah menyatakan diri. Sambil mau mempertahankan keesaan absolut Allah, golongan ini meyakini bahwa Yesus sungguh-sungguh Allah, karena hanya sebagai Allah, Ia bisa menyelamatkan dunia. Golongan ini mengajarkan bahwa Bapa, Anak, dan Roh Kudus hanya merupakan nama atau cara penampakan (prosopa, topeng) yang berbeda dari Allah yang sama.[16]

Di atas dikatakan, Arius termasuk penganut subordinasianisme. Sebenarnya peran Arius lebih besar lagi dalam pemahaman subordinasianis ini. Ia berusaha mensistematisasi subordinasianisme. Ia sangat dipengaruhi oleh Platonisme yang menganggap Allah yang esa dan tertinggi itu tinggal jauh di dalam transendensi yang tak terhampiri, dan Allah seperti itu tidak bisa berhubungan dengan dunia. Bagi Arius, Logos (Anak) tidak mungkin adalah Allah yang benar, karena jika Logos itu Allah yang benar, maka ia tidak bisa menjadi manusia. Dengan demikian, Arius menyangkali keilahian Yesus Kristus.

Pertentangan hebat pun timbul di dalam Gereja gara-gara paham Arianisme ini. Tiga Sinode partikular di Afrika berusaha menyelesaikan konflik ini. Dari ketiga sinode itu, dua setuju dengan Arianisme, satu menolak. Akhirnya, karena kuatir terjadi perpecahannya, Kaisar Konstantinus mengumpulkan semua uskup dari bagian Timur kekaisarannya di Nicea, agar mereka bersama-sama berunding dan mengambil keputusan mengenai ajaran yang dikemukakan Arius. Dengan demikian, pada tahun 325, di Nicea terjadi sinode yang terbilang sebagai konsili ekumenis yang pertama dalam sejarah Gereja.

Konsili Nicea memutuskan batas-batas paham Allah Tritunggal. Melawan segala godaan triteisme, Konsili menegaskan keesaan absolut Allah. Terhadap subordinasianisme, Konsili menegaskan keilahian yang benar dari Anak (Yesus Kristus). Rumusan pengakuan iman hasil Konsili Nicea adalah sebagai berikut:[17]

“Kami percaya dalam satu Allah, Bapa yang Mahakuasa, Pencipta segala sesuatu yang kelihatan dan yang tidak kelihatan;

Dan di dalam satu Tuhan Yesus Kristus, Anak Allah, dilahirkan dari Bapa, hanya diperanakkan, yaitu dari substansi Bapa, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah yang sejati dari Allah yang sejati, dilahirkan bukan diciptakan, berasal dari satu substansi dengan Bapa, melalui Siapa segala sesuatu ada, segala sesuatu yang baik yang di sorga maupun yang di bumi, yang oleh sebab kita manusia dan demi keselamatan kita, turun dan menjelma, menjadi manusia, menderita dan bangkit lagi pada hari yang ketiga, naik ke sorga, dan akan datang untuk menghakimi yang hidup dan yang mati.

Dan di dalam Roh Kudus.”

Konsili Nicea tampaknya tidak mengakhiri perdebatan dengan Arianisme. Malah dengan Nicea, kontroversi mulai mencapai keseriusannya. Kaisar Konstantinus pada waktu itu puas dengan penandatanganan pengakuan iman Nicea, tetapi membiarkan interpretasi kepada masing-masing. Athanasius tercatat sebagai Bapa Gereja yang berjuang menegakkan hasil Konsili Nicea. Untuk itu, Athanasius pernah mengalami pengasingan sebanyak lima kali. Bagi sejarah doktrin Trinitas, Athanasius terutama memiliki dua makna. Pertama, ia makin menjadi sadar akan pentingnya memahami homo-ousios Nicea bukan hanya sebagai ucapan mengenai keilahian penuh Anak, tetapi juga maknanya bagi keesaan absolut Allah. Kesadarannya yang radikal mendorong Athanasius mengatakan seperti ini: “Sesungguhnya Ia menjadi manusia, agar kita boleh menjadi Allah.”[18]

II. Dari Pengalaman sampai Pemikiran: Teologi Induktif menjadi Teologi Deduktif

Uraian sejarah pembentukan doktrin Trinitas di atas sengaja diakhiri dengan pernyataan kesadaran Athanisius. Jelas kepada kita, bahwa Gereja Mula-mula lebih hidup dengan penghayatan ketimbang penalaran; atau pengalaman ketimbang pemikiran akan Trinitas. Ini merupakan manifestasi dari upaya berteologi (doing theology) secara induktif: berangkat dari penghayatan dan pengalaman iman dan hidup. Namun kemudian, ketika penghayatan dan pengalaman itu terhubung dengan orang lain (yang barangkali berkepercayaan lain), maka mau tidak mau penghayatan dan pengalaman iman dan hidup itu (atau teologi induktif) harus dinyatakan secara konkret. Inilah yang penulis sebut sebagai “pembahasaan penghayatan dan pengalaman iman dan hidup”. Dengan ini pula, kembali harus disadari bahwa pembahasaan itu selalu mengandung kelemahan dan kekurangan. Yang jelas, ketika pembahasaan itu menghasilkan (antara lain) suatu rumusan pengakuan iman, maka rumusan itu akan mendorong upaya berteologi yang deduktif. Jadi, upaya berteologi yang deduktif tampaknya harus selalu mendapat peringatan, bahwa rumusan apapun dari teologi induktif tidak dapat dibakukan; apalagi diabsolutkan.

Doktrin Trinitas merupakan hasil upaya berteologi secara induktif. Oleh karena itu, ia sebaiknya “diuji” dalam kehidupan. Demikianlah iman kita menjadi “iman yang mencari pemahaman”, fides quaerens intellectum.


Hendri M. Sendjaja

CATATAN AKHIR:

[1] Gregory Nazianzus, Oratio xxviii, iv, dalam Nicene and Post Nicene Fathers, seri kedua, Vol. VII, hlm. 289.
[2] Istilah ‘doktrin’ menunjuk pada suatu perangkat prinsip dasar bagi pembentukan kepercayaan, teori atau kebijakan. Pada Abad ke-14, melalui bahasa Perancis, kata Latin doctrina berarti “pembelajaran” dari doktor. Jadi, kata ‘doktrin’ dan ‘doktor’ mempunyai keterkaitan. Dengan demikian, sifat doktrin lebih kepada penalaran. Berdasarkan uraian Kuntadi Sumadikarya, “Trinitas dan Pendidikan Agama Kristen,” (naskah untuk Penuntun, akan diterbitkan).
[3] Buku ini pernah menjadi bahan pelajaran perbandingan agama bagi para mahasiswa dan pelajar-pelajar di perguruan-perguruan tinggi, akademi-akademi, dan lembaga-lembaga Islam Tinggi dan Menengah (Tsanawiyah) di seluruh Indonesia. Berdasarkan tulisan Andar Tobing, Apologetika tentang Trinitas, Djakarta: BPK Gunung Mulia, 1972, hlm. 10.
[4] Tom Jacobs menjelaskan bahwa pengertian ‘pengikut Kristus’ ini dapat menunjuk kepada tiga hal: (1) pengikut seorang budak – oleh karena itu tidak sangat terhormat; (2) penganut agama atau ajaran Kristus; (3) pengikut gerakan mesianik. Lihat: Tom Jacobs, Siapa Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru, Yogyakarta: Kanisius, ,1993, hlm. 9-10.
[5] Penulisan “orang Israel (Yahudi) Perjanjian Lama (PL)” menunjuk kepada orang-orang Israel sebagaimana digambarkan di dalam Kitab Suci (secara khusus PL).
[6] Istilah ‘Yang Transenden’ (transenden – bhs. Latin: ‘mengatasi’) dipahami sebagai Allah yang “ada”-Nya melampaui jagat raya dan tidak dapat disamakan dengannya. Sementara istilah ‘Yang Imanen’ (imanen – bhs. Latin: ‘tinggal dalam’) dipahami sebagai Allah yang “hadir” di mana pun dan dalam segala sesuatu (lihat Mzm 139). Kalau tidak dilengkapi dengan paham transendensi ilahi, paham mengenai Yang Imanen dapat jatuh ke dalam panteisme. Berdasarkan: Gerald O’Collins dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 114, 337.
[7] Lihat: Abba Eban, Sejarah Ringkas Umat Israel, terj. Lembaga Biblika Indonesia (Ende: Nusa Indah, 1978).
[8] Kata ‘apokaliptik’ (bhs. Yunani: ‘menyingkapkan’) merujuk kepada sesuatu yang sebelumnya tersembunyi tetapi kini telah disingkapkan. Lihat: D.S. Russell, Penyingkapan Ilahi: Pengantar ke dalam Apokaliptik Yahudi, terj. Ioanes Rakhmat (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), hlm. 19.
[9] Russel, Ibid., hlm. 137; bdk. Lawrence E. Toombs, Di Ambang Fajar Kekristenan, terj. Jan S. Aritonang (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978), hlm. 129.
[10] Sampai pada masa kini pun, orang Yahudi tetap memiliki pengharapan akan kedatangan Mesias.
[11] John Stambaugh dan David Balch mengungkapkan bahwa pada abad pertama muncul pemimpin-pemimpin kharismatis di berbagai bagian provinsi di Israel dan harapan-harapan akan pembebasan segera dari dominasi Romawi dibakar oleh khotbah-khotbah kenabian dan sastra apokaliptik yang meramalkan kemenangan orang-orang Yahudi di bawah seorang Mesias yang akan datang. Selanjutnya banyak orang mengangkat diri sebagai mesias dalam rangka perjuangan politis melawan penguasa Romawi. Salah seorang di antara mereka adalah Shimon bar-Koshiba yang disebut juga Bar-Kokhba (‘Putra Bintang’), tokoh mesianis yang kemudian dicap gagal dalam perjuangannya. John Stambaugh dan David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula, terj. Stephen Suleeman (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), hlm. 19-22.
[12] Rudolf Bultmann, Theology of the New Testament, Vol. 1 (London: SCM Press, 1952), hlm. 33.
[13] Georg Kirchberger, Allah: Pengalaman dan Refleksi dalam Tradisi Kristen, Maumere: LPBAJ, 2000, hlm. 128.
[14] Ibid., hlm. 134.
[15] Ibid., hlm. 135-136.
[16] Dalam buku Jalan Keselamatan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998, hlm. 59), Werner Pfendsack dan H.J. Visch menuliskan sebuah analogi tentang Allah Tritunggal, yang tidak lain dapat menggiring kepada pemahaman monarkianisme modalis. Di sana dituliskan: “Bapa, Anak dan Roh Kudus, yang juga adalah merupakan Allah yang esa, yang benar dan kekal. Soal yang sulit ini dapat kita umpamakan misalnya dengan matahari. Melihat matahari, dapat kita bedakan: 1. besarnya, 2. terangnya, 3. panasnya, padahal kita selalu mengingat kepada matahari yang satu.”
[17] Dikutip dari Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, terj. A.A. Yewangoe (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), hlm. 65-66.
[18] Lohse, Ibid., hlm. 70-76.

Selasa, 01 Juli 2008

PAHAM AKHIR ZAMAN

“KOK ya nggak kapok-kapoknya sih percaya pada yang begituan?,” demikianlah kata Eka Darmaputera dalam khotbahnya yang diberi judul “Akhir Zaman”.[1] Kata-kata ini dilontarkan tatkala Eka menyesalkan orang-orang Kristen yang begitu gampang menjadi percaya, dibingungkan, diresahkan, dan digelisahkan oleh ramalan-ramalan tentang akhir zaman. Jadi, apa yang dikatakan Eka itu bukanlah suatu pertanyaan, tapi suatu keprihatinan.

Ungkapan keprihatinan atas manifestasi suatu paham yang ganjil dan menyesatkan tentang akhir zaman memang perlu dikemukakan. Namun, kita semestinya tidak berhenti sampai di sana saja. Kita perlu memikirkan secara serius ajaran tentang akhir zaman bagi kehidupan gereja. Ini bukan suatu tindakan responsif-instan atas kehebohan-kehebohan gosip (semakin digosok, semakin sip) tentang paham akhir zaman di tengah kita, tapi suatu tindakan reflektif-iman atas karya Allah di dalam dan sepanjang sejarah kehidupan.


I. DARI ALKITAB SAMPAI KE PEGANGAN AJARAN

Pembicaraan tentang akhir zaman merupakan pembicaraan tentang “hal-hal akhir”. Dalam istilah Yunani, “hal-hal akhir” disebut eskhata. Maka, pembicaraan tentang “hal-hal akhir” dinamakan eskatologi.

Pada hakikatnya pembicaraan tentang akhir zaman mendapat dua tantangan khusus, yakni: pertama, kenyataan bahwa akhir zaman itu belum terjadi. Tantangan ini mengusik kita untuk mengajukan pertanyaan sebagai berikut: apa dasar bagi kita untuk berbicara tentang akhir zaman? Tantangan kedua, oleh karena akhir zaman berada di luar pengalaman historis masa kini kita, maka pembicaraan tentang akhir zaman mesti memakai bahasa pengalaman historis masa kini kita. Itulah sebabnya kita pun bertanya: bagaimana kita mengungkapkan dan memahami hal-hal yang berkaitan dengan akhir zaman (eskatologi) dalam bahasa masa kini kita?[2]

Pertanyaan-pertanyaan di atas penting untuk dijawab agar pembicaraan tentang akhir zaman tidak menjadi pembicaraan yang imajinatif dan spekulatif. Memang akhir zaman belum terjadi. Namun, kita dapat membaca hal-hal yang berkaitan dengan akhir zaman di dalam Alkitab. Kalau begitu, apakah Alkitab itu dasar bagi kita untuk berbicara tentang akhir zaman?

1.1. Ketika Alkitab Menjadi Dasar Pembicaraan tentang Akhir Zaman

Ketika orang menjadikan Alkitab sebagai dasar pembicaraan tentang akhir zaman, maka itu bukan tanpa persoalan. Sejarah mencatat, beberapa orang menafsirkan teks-teks Alkitab, khususnya teks-teks tentang ‘hal-hal akhir’, secara ekstrem dan menyimpang, dilihat dari sudut ilmu tafsir yang lazim. Kebanyakan mereka menggunakan metode harfiah dalam penafsiran teks tersebut. Hasil tafsiran mereka umumnya mengejutkan – menjadi semacam peta atau ramalan untuk menentukan rimba gelap masa depan sejarah kehidupan. Bahkan, di antara mereka, ada pula yang sungguh-sungguh membuahkan sikap radikal, semisal: Kelompok Davidian Branch pada 1990 pimpinan Vernon Wayne Howell (dikenal dengan nama David Koresh); Sekte Kiamat Aum Shinri Kyo di Jepang, pada 1987, pimpinan Chizuo Matsumoto; Kelompok Joseph Kibweteere di Kanugu, Uganda, pada 1999-2000; atau Kelompok Pondok Nabi, pimpinan Mangapin Sibuea, di Bale Endah, Bandung, pada Nopember 2003.[3]

1.2. Kesaksian Yesus Kristus adalah Dasar Pembicaraan tentang Akhir Zaman

Sepakat dengan pendapat Otto Hentz, saya memandang wahyu ilahi sebagai dasar pembicaraan tentang akhir zaman.[4] Wahyu ilahi pada hakikatnya jauh lebih luas daripada Alkitab yang kita pegang. Bagi orang Kristen, wahyu ilahi itu nyata di dalam kehadiran Sang Firman, yakni Yesus Kristus (Yoh 1:1, 14). Oleh karena itu, dasar pembicaraan tentang akhir zaman adalah Firman Allah yang sudah menjadi manusia di dalam hidup dan karya Yesus Kristus. G.C. van Niftrik dan B.J. Boland menuliskan: “Untuk mengetahui ‘masa depan’ itu, kita tidak membuka Alkitab, lalu mencari-cari sejumlah ‘ramalan’ tentang masa depan, akan tetapi membuka Alkitab untuk mendengarkan kesaksiannya tentang Yesus Kristus, Tuhan yang telah disalibkan dan yang bangkit pula itu.[5]

1.3. Bagaimana Seharusnya Kita Menggunakan Alkitab?

Setiap orang yang menggunakan Alkitab sebagai titik tolak pembicaraan tentang akhir zaman pada kenyataannya menghadapi masalah penafsiran. Yang seharusnya dihindari adalah penafsiran dengan memasukkan ke dalam teks Alkitab arti yang sesuai dengan kemauan (dan kepentingan) penafsir itu sendiri (eisegesis); dan yang seharusnya dilakukan adalah penafsiran dengan mengeluarkan dari dalam teks Alkitab arti atau pesan yang mau disampaikan penulis teks tersebut (eksegesis).

Menurut Joel B. Green, signifikansi suatu teks Alkitab seharusnya memancar dari maknanya di dalam konteksnya sendiri. Oleh karena itu, penafsiran Alkitab pada dasarnya merupakan suatu proses dwilangkah, yaitu: pertama, kita memperhatikan Alkitab dalam latar belakangnya sendiri; dan kedua, kita menerjemahkan berita Alkitab itu ke dalam situasi kehidupan kita sendiri.[6]

Dalam pengamatan Green, orang Kristen seringkali melupakan langkah pertama di atas di dalam penafsiran teks Alkitab. Biasanya, dalam pembacaan dan penafsiran Alkitab, orang langsung melompat ke pertanyaan: apa yang Alkitab katakan kepadaku saat ini? Padahal, dia seharusnya melakukan langkah pertama sebelum berlanjut ke langkah kedua, karena di dalam langkah pertama terletak satu-satunya kendali yang memungkinkan pemahaman secara benar atas pesan yang hendak Alkitab sampaikan. Green menegaskan: “Berita Alkitab untuk masa kini mengalir dari konteks kesejarahannya sendiri. Langkah pertama mendahului serta bermuara pada langkah kedua.” [7]

Kecenderungan melewatkan begitu saja langkah pertama dalam penafsiran Alkitab nampak jelas dalam metode penafsiran Alkitab secara harfiah. J. Dwight Pentecost adalah salah seorang pendukung metode ini. Pentacost menegaskan:

“Metode penafsiran yang dipakai serta diterima pada mulanya adalah metode harfiah yang digunakan oleh Tuhan, Sang Penafsir teragung, sementara metode-metode lain dimunculkan demi menyuburkan heterodoksi. Karena itu, metode harfiah harus diterima sebagai metode dasar bagi penafsiran yang benar di dalam semua bidang doktrin masa kini.” [8]

Memang, Alkitab sendiri memuat teks-teks yang memiliki entah pengertian harfiah atau pengertian rohaniah. Namun, untuk mengetahui bahwa suatu teks memuat pengertian harfiah atau rohaniah, kita harus terlebih dahulu memperhatikan Alkitab dalam latar belakangnya sendiri. Oleh karena itu, secara prinsip, saya mengajukan dua keberatan terhadap penggunaan metode harfiah dalam penafsiran Alkitab. Pertama, saya mendapati adanya sikap pengabaian studi historis atau literer (sastra) atas teks Alkitab yang ditafsirkan secara harfiah, dan ini sangat memungkinkan penafsir jatuh ke dalam tindakan eisegesis. Sebagai contoh, misalnya tafsiran harfiah Charles C. Ryrie tentang Wahyu 9:1-12:

“Hukuman ini keluar dari dalam neraka. Secara harfiah. Sejauh ini manusia berperang melawan manusia dan kekuatan-kekuatan alam yang merusak akan dilepaskan; tetapi sekarang neraka sendiri ikut bertindak. Pintu lubang jurang maut dibuka, asap membumbung ke luar, dan dari asap itu keluarlah belalang-belalang. Tetapi ini bukanlah belalang yang biasa. Yohanes mencari-cari kata dalam usahanya untuk menggambarkan belalang-belalang itu. Mereka seperti kuda dan kedengaran seperti kalajengking selama lima bulan, namun sengatan mereka tidak mematikan. Manusia akan disiksa demikian rupa sehingga mereka ingin mati, tetapi maut lari dari mereka. …

Gambaran Yohanes kedengarannya seperti sejenis mesin perang atau ufo (piring terbang). Setan dapat mengambil berbagai bentuk, jadi mungkin sekali Yohanes sedang menggambarkan suatu serangan “piring terbang”.[9]

Pernyataan terakhir Ryrie terakhir di atas – bahwa “mungkin sekali Yohanes sedang menggambarkan suatu serangan piring terbang”, jelas merupakan buah penafsiran harfiah yang secara kentara menampakkan tendensi kuat eisegesis. Entah mesin perang, UFO, atau piring terbang, semua itu adalah konsep-konsep masa kini yang dikenal Ryrie, dan tampaknya konsep-konsep itu dimasukkan ke dalam gagasan Yohanes.

Keberatan kedua terhadap penggunaan metode harfiah dalam penafsiran Alkitab adalah adanya kecenderungan sikap inkonsisten para penafsirnya. Penafsir terkesan dapat memilih secara bebas, tanpa bertaat asas, teks-teks Alkitab yang ditafsirkan secara harfiah. Terbukti misalnya hampir tidak ada orang yang mau menafsirkan secara harfiah teks Matius 5:29: “Jika matamu yang kanan menyebabkan engkau berdosa, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa daripada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka.” Berikut ini contoh tindakan inkonsisten Ernest B. Gentile dalam menafsirkan Wahyu 20:

“Saya yakin bahwa Wahyu 20 menunjukkan suatu periode yang sebenarnya. Ini akan kemudian berjalan secara konsisten dengan subjek-subjek lain yang disebutkan. Sebagai contoh:

Malaikat harus dianggap sebagai arti sebenarnya.
Surga harus dianggap sebagai arti sebenarnya.
Anak kunci, rantai, dan materai mungkin simbolik …
Naga itu simbolik …
Jurang maut (abusson) merupakan tempat yang sebenarnya. …
Jiwa-jiwa para martir itu nyata.
Api yang turun dari surga juga nyata.
Lautan api pastilah arti yang sebenarnya …
Karena tujuh dari delapan referensi di atas dengan jelas dianggap sebagai arti sebenarnya, mengapa kelihatannya sulit untuk menerima seribu tahun sebagai yang sebenarnya?”[10]

Saya perlu menambahkan di sini, seperti dicatat oleh Herlianto,[11] kebanyakan “peramal” yang memanfaatkan teks-teks Alkitab, menerapkan metode harfiah dalam penafsirannya. Angka-angka dalam Alkitab bukan saja dianggap memiliki arti alegoris (perlambangan), tetapi umumnya dianggap memiliki arti sebenarnya yang dipahami secara harfiah. Angka-angka yang sering dipakai dalam perhitungan “ramalan” mereka, antara lain: 1 hari = 1 tahun (Bil 14:34; Yeh 4:4-6), dan 1 hari = 1000 tahun (Mzm 90:4; 2Pet 3:8). Herlianto memberikan contoh perhitungan sebagai berikut:

“Penciptaan bumi dalam 6 hari diakhiri dengan sabat hari ke-7 dianggap sama dengan 6000 tahun sejarah bumi dan diakhiri 1000 tahun sabat (Kerajaan Seribu Tahun), dan hari penciptaan dianggap terjadi pada tahun 4000 S.M., dan Kerajaan Seribu Tahun dianggap dimulai pada tahun 2000.”[12]

Demikianlah, sampai di sini, saya sebenarnya sedang menegaskan bahwa apabila Alkitab merupakan titik tolak untuk memulai pembicaraan tentang akhir zaman, maka suatu metode penafsiran Alkitab yang diterapkan akan sangat menentukan isi pembicaraan itu. Namun, bisa juga terjadi, suatu paham yang dianut oleh seorang penafsir menentukan isi pembicaraan tentang akhir zaman. Kalau yang terakhir ini terjadi, maka di sini Alkitab hanya berfungsi sebagai alat legitimasi si penafsir saja, dan metode penafsiran Alkitab yang dipakainya pun pada hakikatnya semu tak berarti.


II. PAHAM AKHIR ZAMAN DALAM PENELUSURAN ALKITAB

2.1. Dalam Perjanjian Lama

Pada kenyataannya paham akhir zaman dalam Perjanjian Lama berakar dalam pengharapan umat Israel akan keselamatan yang akan datang, yang dimaklumkan pertama-tama oleh para nabi dan kemudian oleh para penulis apokaliptik. Di bawah ini kita akan menelusuri berita-berita yang disampaikan para nabi untuk memahami eskatologi profetik (prophetic eschatology), dan berita-berita yang disampaikan para pelihat, yakni penulis-penulis apokaliptik, untuk memahami eskatologi apokaliptik (apocalyptic eschatology).

2.1.1. Eskatologi Profetik

Berita yang disampai para nabi umumnya dikatakan sebagai nubuatan atau prophecy dalam bahasa Inggris. Menarik untuk diperhatikan, dalam Oxford Advanced Learners Dictionary of Current English, kata prophecy tampaknya didefinisikan sebagai: (1) “power of telling what will happen in the future” – “kemampuan untuk memberitahukan apa yang akan terjadi di masa depan”, dan (2) “statement that tell what will happen” – “pernyataan yang memberitahukan apa yang akan terjadi”.[13] Definisi ini dapat menimbulkan dua pemahaman yang salah.[14] Pertama, dengan definisi seperti ini, kita akhirnya memahami bahwa karya nabi-nabi dibatasi hanya pada soal-soal yang berhubungan dengan masa depan. Padahal, nabi-nabi justru sangat menaruh perhatian pada masalah-masalah aktual pada zaman mereka, dan mereka pun memberi pernyataan-pernyataan kritis atas masalah-masalah itu. Para nabi menyampaikan pesan Allah kepada umat di tengah-tengah situasi hidup mereka sehari-hari.[15]

Kedua, definisi prophecy sebagaimana dipaparkan di atas, pada gilirannya mendorong kita untuk memahami bahwa masa depan yang dibicarakan dalam karya nabi-nabi adalah masa depan yang jangkauan waktunya jauh di muka. Padahal, kita mesti menyadari, masa depan yang dibicarakan itu secara umum adalah sesuatu yang sudah dekat sekali. Hal itu menyangkut nasib yang akan dialami oleh umat yang kepadanya para nabi berbicara, dan bukan pada peristiwa-peristiwa yang akan terjadi ribuan tahun kemudian. Green menuliskan: “[N]ubuat pada hakikatnya lebih berminat memberitakan ketimbang memprediksikan sesuatu [...]. Bila kita memperlakukan bagian nubuat Alkitab sebagai sumber prediksi-prediksi akhir zaman belaka, kita sebenarnya sedang menyalahgunakannya.”[16]

Apa isi berita yang disampaikan para nabi Israel, yang kemudian secara umum dikatakan sebagai eskatologi profetik? Sebelum menjawab pertanyaan ini, baiklah kita memahami sekilas latar belakang historis berita kenabian.

Setelah Israel terbagi menjadi dua kerajaan, Israel Utara dan Yehuda (Israel Selatan), kedua kerajaan ini segera mengalami tekanan ekonomi dan sosial yang diakibatkan oleh pergolakan internal serta peperangan sporadis antarfaksi. Memang kedua kerajaan itu sempat mengalami kebangkitan ekonomi, namun masa depan mereka pun dipenuhi dengan bencana-bencana lain yang lebih dalam dan lebih luas. Pada gilirannya krisis-krisis yang terjadi bermuara pada kemerosotan rohani. Itulah sebabnya, umat Israel di kedua kerajaan ini tidak lagi menampakkan diri sebagai umat Allah yang diharapkan. Mereka dianggap telah mengingkari perjanjian Allah:[17]

“Mereka sudah jatuh kembali kepada kesalahan nenek moyang mereka yang dahulu telah menolak mendengarkan firman-Ku. Mereka mengikuti allah lain dan beribadah kepadanya. Kaum Israel dan kaum Yehuda telah mengingkari perjanjian-Ku yang telah Kuikat dengan nenek moyang mereka.” (Yer 11:10)

Dengan didorong oleh penghayatan yang serius terhadap perjanjian Allah, para nabi memberitakan penghukuman Allah kepada umat Israel di Utara dan Yehuda. Namun, berita penghukuman ini selalu diiringi dengan berita pengharapan. Salah satu contohnya adalah berita penghukuman dan pengharapan yang disampaikan Amos. Amos menghayati bangsa Israel sebagai bangsa pilihan Allah, tetapi ia juga menyadari sungguh-sungguh apa yang seharusnya ditunjukkan oleh Israel sebagai bangsa pilihan Allah itu. Kalau Israel mengingkari perjanjian Allah, maka Allah tetap akan menyatakan penghukuman.

“Dengarlah firman ini, yang diucapkan TUHAN tentang kamu, hai orang Israel, tentang segenap kaum yang telah Kutuntun keluar dari tanah Mesir, bunyinya: Hanya kamu yang Kukenal dari segala kaum di muka bumi, sebab itu Aku akan menghukum kamu karena segala kesalahanmu.” (Amos 3:1-2)

Menarik untuk disampaikan di sini, tampaknya Amos mengaitkan penghukuman Allah dengan gagasan “Hari TUHAN” yang sudah dikenal oleh bangsa Israel.[18] Pada masa Amos, gagasan “Hari TUHAN” (Ibrani: Yom YHWH) umumnya dipahami sebagai “penyataan TUHAN dalam peperangan Israel”. Orang-orang Israel meyakini bahwa pada Hari TUHAN, TUHAN sendiri memimpin Israel dalam peperangan melawan musuh-musuh. Karena TUHAN yang memimpin, maka Israel selalu dimenangkan, dan musuh-musuh dihancurkan. Itulah sebabnya, “Hari TUHAN” dipandang sebagai hari yang dinanti-nantikan oleh orang-orang Israel. Amos sama sekali mengubah pandangan Hari TUHAN sebagai hari terang bangsa Israel. Dalam pandangan Amos, Hari TUHAN adalah hari penghukuman.[19] “Celakalah mereka yang menginginkan hari TUHAN! Apakah gunanya hari TUHAN itu bagimu? Hari itu kegelapan, bukan terang!” (Amos 5:18) Pada bagian penutup kitab Amos, kita mendapati suatu berita pengharapan bagi bangsa Israel. Walaupun bangsa Israel mendapat penghukuman, TUHAN tetap menyatakan kepada umat-Nya rencana keselamatan.

Tampaknya para nabi menyampaikan berita pengharapan bagi umat Israel dalam ungkapan yang beragam. Berita pengharapan itu pada hakikatnya menyatakan bahwa Allah akan memulihkan umat-Nya (Amos 9:14), dan akan membaharui perjanjian-Nya (Yer 31:31-34). Allah sendiri Penyelamat Israel. Kehadiran Allah yang menyelamatkan di tengah umat-Nya akan nampak dalam rupa antara lain: seseorang yang dinamakan Imanuel (Yes 7:14), seseorang yang disebut Raja Damai (Yes 8:23-9:6); seseorang dikenal sebagai Hamba TUHAN (Yes 42:1-4; 49:5-7; 52:13-53:12 – secara khusus, Yesaya 53 memberikan gambaran tentang kehadiran Allah sebagai penyelamat dalam rupa “Hamba TUHAN yang menderita”); seseorang yang berasal dari keturunan Daud (Yer 23:5). Pada gilirannya pemulihan dari Allah atas umat Israel ditunjukkan dengan kedatangan semua bangsa ke Sion (penamaan lain untuk Yerusalem)[20], bukan sebagai musuh tetapi sebagai peziarah (Yes 2:1-5; Mi 4:1-5).

Demikianlah kita telah mengetahui apa isi pokok berita yang disampaikan para nabi Israel, yakni berita penghukuman dan pengharapan dari Allah kepada Israel umat-Nya. Dari sini kita pun dapat bertanya: apa maksud berita semacam itu bagi orang-orang Israel pada zaman itu? Mengapa para nabi merasa perlu menyampaikan berita-berita itu? Tentunya, baik berita penghukuman maupun berita pengharapan disampaikan para nabi bukan sekadar sebagai penerusan informasi atau pengetahuan. Jika berita-berita itu dipahami sebagai informasi atau pengetahuan, maka berita-berita itu tidak memiliki kualitas yang berarti. Kualitas berita-berita itu tidak ditunjukkan dengan ketajaman menyingkap masa depan umat Israel. Tidak. Kualitas berita-berita kenabian itu terletak pada ketajaman menyoroti kehidupan umat Israel pada “masa kini”-nya, karena sesungguhnya dengan berita-berita itu, para nabi mengungkapkan kepeduliannya kepada bangsanya. Mereka mengajak sesamanya, saudara sebangsanya, untuk kembali kepada Allah dan hidup baru di dalam Allah.[21]

Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan beberapa ciri khas eskatologi profetik:

(1) Eskatologi profetik menegaskan suatu keprihatinan yang mendalam terhadap situasi historis yang sedang berlangsung. Keprihatinan ini muncul sebagai hasil penghayatan yang serius terhadap perjanjian Allah, dan diungkapkan melalui berita penghukuman kepada orang-orang yang mengingkari perjanjian Allah.

(2) Eskatologi profetik mengungkapkan suatu pengharapan di dalam Allah bagi keselamatan dan pemulihan sejarah dunia. Pengharapan itu muncul sebagai hasil keyakinan yang berakar dalam pengalaman hidup bersama dengan Allah. Allah dialami sebagai Allah yang menyejarah, oleh karena itu Allah diyakini dapat berbuat sesuatu di dalam sejarah dunia. Pengharapan itu pada gilirannya mewujud dalam penantian akan kedatangan seorang Juruselamat, yang dikenal dengan sebutan: entah Imanuel, Raja Damai, Hamba TUHAN, atau yang berasal dari keturunan Daud.

(3) Eskatologi profetik menyampaikan seruan tegas untuk situasi historis yang berlangsung. Seruan itu tidak lain adalah suatu ajakan agar umat Allah hidup sesuai dengan perjanjian Allah, yakni setia dan taat kepada Allah, sehingga mereka dapat menikmati berkat keselamatan dari Allah.

2.1.2. Eskatologi Apokaliptik

Dalam masa pasca-pembuangan, aktivitas kenabian di tengah Israel mulai menurun. Inspirasi kenabian mulai surut. Namun, secara umum dapat dikatakan, bersamaan dengan makin menurunnya kegiatan kenabian, umat Israel juga menyaksikan peningkatan dalam cara-cara pewahyuan lainnya sebagaimana tercermin dalam literatur apokaliptik.[22]

Kata ‘apokaliptik’ berasal dari kata Yunani apokaluptw (apokalyptō), yang berarti ‘membuka’ atau ‘menyingkapkan’ (rahasia). Dalam Wahyu 1:1, kita mendapati ungkapan Apokaluyiz ’Iesou Kristou (Apokalypsis Iesou Kristou), artinya: “Inilah wahyu Yesus Kristus”. Dari sinilah istilah ‘apokalipsis’ dikenakan untuk suatu genre (jenis sastra/tulisan) yang corak dan strukturnya seperti corak dan struktur Kitab Wahyu kepada Yohanes. Dua ayat pertama dari Kitab Wahyu (1:1-2) sudah menggambarkan unsur-unsur pokok genre apokalipsis, yakni: (1) merupakan wahyu yang dikaruniakan oleh Allah; (2) melalui pengantara dari dunia lain, misalnya malaikat; (3) kepada seorang pelihat, misalnya Yohanes; (4) yang menyatakan peristiwa-peristiwa yang akan datang, yang akan segera terjadi, misalnya akhir zaman.[23]

Kehadiran literatur apokaliptik membuktikan suatu cara pewahyuan Allah yang lain bagi umat-Nya. Disebut lain, karena di dalamnya penulis-penulis apokaliptik menggunakan bahasa ekspresif penuh gambaran imajinatif-kreatif. Ini berbeda dengan para nabi yang sekalipun menggunakan bahasa ekspresif, namun bahasa itu kurang atau bahkan sama sekali tanpa gambaran-gambaran imajinatif-kreatif.[24]

Gambaran-gambaran imajinatif-kreatif yang dipaparkan di dalam literatur apokaliptik kadang dapat dipahami dengan mudah, tapi kadang juga tidak. Beberapa gambaran yang sering dijumpai dalam tulisan-tulisan apokaliptik adalah:[25]

(1) Binatang-binatang; pemakaian bentuk segala jenis binatang pada umumnya melambangkan manusia dan bangsa-bangsa. Ini dapat ditemukan secara khusus dalam kitab-kitab Henokh. Misalnya: sapi melambangkan bapa-bapa leluhur; singa, harimau, serigala, babi hutan, burung nasar, dan binatang buas lainnya, melambangkan orang-orang kafir.

(2) Manusia dan bintang-bintang; penggambaran manusia, khususnya yang mengenakan ‘pakaian putih’, melambangkan malaikat-malaikat yang baik; sedangkan penggambaran bintang-bintang yang jatuh melambangkan malaikat-malaikat yang jatuh.

(3) Monster-monster; penggambaran pelbagai monster, seperti naga dan lewiatan, umumnya melambangkan sesuatu yang jahat dan bermusuhan dengan Allah.

(4) Angka-angka; pemakaian angka tertentu, misalnya: 3, 4, 7, 10, 12, 70, melambangkan gagasan tertentu dari penulis apokaliptik. Untuk menangkap gagasan apa yang mau dibicarakan oleh penulis apokaliptik melalui angka-angka itu, penafsir tampaknya mesti mengenal dan memahami latar belakang historis apokalipsis itu, dan barangkali juga latar belakang tradisi pemaknaan angka-angka itu.[26]

Demikianlah kita seharusnya memahami setiap detil gambaran dalam tulisan-tulisan apokaliptik tidak secara harfiah atau alegoris semata. Penafsiran harfiah atau alegoris yang sembarangan atas gambaran-gambaran itu akan menyebabkan isi atau pesan yang disampaikan penulis apokaliptik itu terkubur dalam-dalam. Jadi, saya sepakat dengan pendapat Green, “Kita melakukan kekeliruan besar bila kita berupaya mencari kaitan antara simbolisme yang mereka [para penulis apokaliptik] gunakan dengan berita-berita yang dimuat koran-koran kita masa kini.”[27]

Lantas, mengapa para penulis apokaliptik menggunakan bahasa ekspresif penuh gambaran imajinatif-kreatif? Apa alasan mereka memakai bahasa simbolis? Menurut Green, penggunaan bahasa simbolis bermaksud untuk mendramatisasikan berita profetik agar terhayati secara intens, dan – mungkin ini yang utama – untuk menyatakan realitas-realitas yang berada di luar jangkauan kemampuan deskripsi pengalaman manusiawi.[28]

Apa sebetulnya yang terjadi sehingga penulis memakai bahasa simbolis untuk beritanya? Pertanyaan ini mengantar kita kepada paparan latar belakang historis penulisan tulisan-tulisan apokaliptik. Secara umum, kelahiran tulisan-tulisan apokaliptik merupakan reaksi dari pergolakan yang berlangsung bertahun-tahun, masa-masa ketika Allah kelihatannya telah meninggalkan umat-Nya. Krisis sosial, politik dan keagamaan yang menghimpit umat Israel, mendorong mereka untuk bertanya, “Di manakah Allah? Apakah Allah sedang melaksanakan rencana penebusan-Nya tatkala kenyataan hidup yang terjadi menggugat sebaliknya?”[29]

Secara khusus, mari kita soroti latar belakang penulisan tulisan apokaliptik dalam Perjanjian Lama, yakni Kitab Daniel. Apokalipsis Daniel (yakni pasal 7-12) ditulis pada tahun 166/165 SM, ketika bangsa Yahudi berontak melawan tindak penganiayaan politik yang dilakukan oleh Antiokhus IV Epiphanes dan para penggantinya. Para penguasa itu bermaksud mengakhiri eksistensi agama Yahudi pada masa Helenisasi (Yunanisasi) melanda Israel pada abad ke-2 SM. Bagi Daniel dan umat sezamannya, perjalanan sejarah telah memunculkan pertanyaan-pertanyaan kritis: Apa yang sedang Allah lakukan? Mengapa Ia tidak melakukan intervensi secara aktif demi umat-Nya untuk memenuhi janji-janji-Nya?

Melalui apokalipsisnya, Daniel mengajak umat Yahudi untuk melihat ke kawasan surgawi di mana berlangsung peristiwa-peristiwa yang merupakan tanda akan terjadinya pembalikan besar-besaran atas segala keadaan yang sedang berlangsung di kawasan dunia. Kerajaan-kerajaan di dunia ini akan digantikan oleh Kerajaan Allah, dan umat Yahudi akan dibenarkan sebagai “orang-orang kudus milik Yang Mahatinggi” (Dan 7:18), sementara musuh-musuh mereka dihancurkan.[30] Daniel pun melihat adanya suatu tanda menjelang akhir zaman, yaitu suatu waktu kesesakan yang besar. Namun, pada waktu itu orang-orang yang namanya tertulis dalam Kitab Kebenaran akan terluput (Dan 12:1).

Pada kenyataannya Daniel tidak hanya mencoba memberikan perspektif ilahi atas perjalanan dan makna sejarah kepada para pembacanya, ia juga memberikan nasihat pastoral tentang apa yang seharusnya orang lakukan terhadap Allah di dalam sejarah yang payah. Seperti para nabi Israel lainnya, Daniel menyerukan agar umat berlaku setia dan taat kepada Allah dalam segala keadaan, bahkan sampai mati pun. Di sini Daniel melihat bahwa orang-orang yang mati karena kebenaran iman kepada Allah akan mengalami kebangkitan. Kepercayaan akan kebangkitan ini pada gilirannya menjadi dasar pendirian para martir. Harapan kebangkitan itulah yang memungkinkan para martir lebih suka mengorbankan hidupnya daripada tunduk pada tuntutan penguasa lalim. Dalam hal ini, kita perlu menyimak komentar John J. Collin berikut ini:

“Tidak seperti kisah, penglihatan menyajikan sebuah ideologi perlawanan. ... Namun beberapa hal perlu diperhatikan. Orang-orang bijaksana dalam Daniel tampaknya sama sekali tidak menggunakan kekerasan. Sumbangan mereka terhadap gerakan perlawanan terletak dalam kesalehan, dan dalam pemahaman yang mereka turut kembangkan.”[31]

Ketika sang pelihat, yakni Daniel, mulai berbicara tentang kematian, yakni sebagai konsekuensi final dari keteguhan dan kesalehan iman, dan kematian itu sendiri berakhir dalam kebangkitan dan kemenangan, maka orang pun menyimpulkan, Daniel menaruh perhatian dan keprihatinan kepada kehidupan perseorangan, bukan saja kepada kehidupan umat Israel sebagai keseluruhan. Perhatian kepada kehidupan perseorangan inilah yang pada gilirannya membedakan eskatologi apokaliptik dari eskatologi profetik. Menurut John J. Collins, sementara dalam pandangan para nabi, harapan masa depan diungkapkan dalam bentuk pembebasan atau keselamatan bersama (sebagai bangsa atau sebagai suatu sisa dalam bangsa itu), maka dalam pandangan apokaliptik, suatu unsur baru dimasukkan, yaitu keselamatan akhir bagi orang perseorangan.[32]

Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan beberapa hal yang menjadi ciri khas eskatologi apokaliptik, khususnya dalam Kitab Daniel:

(1) Eskatologi apokaliptik menegaskan suatu keprihatinan yang mendalam terhadap situasi historis yang sedang berlangsung. Keprihatinan ini muncul sebagai sikap iman yang serius kepada Allah dalam situasi hidup yang penuh krisis.

(2) Eskatologi apokaliptik mengungkapkan suatu pengharapan di dalam Allah bagi pembaruan total sejarah dunia. Sama seperti dalam eskatologi profetik, pengharapan dalam eskatologi apokaliptik muncul sebagai hasil keyakinan yang berakar dalam pengalaman hidup bersama Allah. Namun, kini pengharapan itu terarah kepada Allah saja, bukan kepada sejarah dunia.

(3) Eskatologi apokaliptik memuat suatu kepercayaan akan peperangan antara kerajaan si jahat dan Kerajaan Allah, yang akhirnya dimenangkan secara mutlak oleh Allah.

(4) Eskatologi apokaliptik menyampaikan suatu berita pengharapan bahwa menjelang akhir zaman, yakni pada waktu kesesakan besar tiba, orang-orang yang hidup di dalam Allah akan terluput dari kesesakan; dan bahwa Allah akan memenangkan peperangan melawan kerajaan si jahat.

(5) Eskatologi apokaliptik menyampaikan seruan yang meneguhkan umat Allah untuk
menjalani situasi historis yang sulit. Sama seperti dalam eskatologi profetik, pada dasarnya, seruan dalam eskatologi apokaliptik adalah suatu ajakan agar umat Allah tetap teguh beriman kepada Allah dalam situasi apapun. Namun, berbeda dengan eskatologi profetik, seruan dalam eskatologi apokaliptik tampaknya memuat panggilan secara perorangan untuk menghadapi kekuatan-kekuatan jahat, sekalipun nyawa taruhannya. Orang yang mati karena keteguhan dan kesalehan imannya, orang itu akan mendapatkan kebangkitan dan kemenangan.

2.2. Paham Akhir Zaman dalam Perjanjian Baru

Pada kenyataannya paham akhir zaman dalam Perjanjian Baru merupakan kelanjutan dari paham akhir zaman dalam Perjanjian Lama. Faktor yang membedakan di antara kedua paham ini adalah kehadiran Yesus Kristus. Di bawah ini kita akan menelusuri eskatologi Yesus, eskatologi Paulus, dan eskatologi Kitab Wahyu.

2.2.1. Eskatologi Yesus

Dermot A. Lane menegaskan bahwa eskatologi Yesus didasarkan pada pengalaman-Nya akan Allah, suatu pengalaman yang lahir dari situasi hidup sebagai seorang Yahudi yang berelasi dengan dunia ke-Yahudi-anNya, termasuk di dalamnya dengan tradisi agama Yahudi.[33] Dalam kaitan ini, Yesus menghayati paham Allah Israel, yakni sebagai Allah yang aktif bekerja di dalam sejarah. Paham Allah Israel seperti ini merupakan warisan dari berita-berita kenabian Israel. Pada gilirannya Yesus mengekspresikan paham Allah Israel ini ke dalam kehidupan konkret melalui pemberitaan Kerajaan Allah kepada orang-orang sezaman-Nya. Dengan pemberitaan Kerajaan Allah, Yesus mau menyatakan betapa dekatnya Allah Abraham, Musa, dan para nabi, bagi kehidupan umat Israel. Allah yang dekat ini sedang membentuk satu keluarga besar, suatu umat di mana semua orang menemukan ruangnya di dalam keluarga Allah. Di sini semua diskriminasi pribadi atau kelompok akan berhenti, dan keadilan serta damai sejahtera akan terjadi.[34]

Memang Yesus tidak pernah membeberkan hal ‘Kerajaan Allah’ dalam terminologi yang gamblang. Ia mengungkapkan hal ‘Kerajaan Allah’ dalam bentuk konkret berupa pekerjaan-pekerjaan yang penuh makna, semisal: makan semeja dengan orang berdosa, menyembuhkan orang sakit, dan mengusir setan. Selain itu, Yesus pun mengemukakan makna Kerajaan Allah dalam perumpamaan-perumpamaan yang disampaikan-Nya. Yang terakhir ini, oleh John Fuellenbach, diyakini sebagai yang paling utama yang Yesus lakukan dalam mengungkapkan Kerajaan Allah.[35]

Menurut Fuellenbach, semua perumpamaan Yesus dapat dilihat dalam skema tiga lapis, yaitu: (1) Yesus mewartakan kedatangan Kerajaan Allah di dalam sejarah sebagai sesuatu yang sama sekali baru dan tidak pernah dialami sebelumnya; (2) Realisasi Kerajaan Allah sebagai suatu realita masa kini mengakibatkan pembalikan nilai-nilai hidup pribadi dan perubahan dalam pandangan; dan (3) Yesus menuntun orang kepada tindakan atau aksi yang baru. Dengan demikian, arah dari semua perumpamaan adalah langsung kepada perubahan, membentuk aksi yang ditujukan kepada perubahan situasi kini, dan dan sebagai akibatnya perubahan situasi dunia.[36]

Dalam pemberitaan Yesus tentang Kerajaan Allah, penekanan pada seruan agar umat bertobat demi terciptanya kehidupan baru di dunia ini, menandakan bahwa eskatologi yang dipegang Yesus lebih bersifat profetis ketimbang apokaliptis. Seperti sudah dinyatakan di atas, eskatologi profetik mengungkapkan adanya pengharapan di dalam Allah bagi pemulihan dunia ini, suatu optimisme keberlangsungan sejarah umat Allah di dunia ini.

Sekalipun demikian, kita tidak dapat mengatakan bahwa eskatologi Yesus itu melulu profetis. Dasar berpikir dan pekerjaan Yesus memang mengikuti tradisi kenabian, tetapi tidak dapat dielakkan, Yesus pun menggunakan penggambaran apokaliptis untuk menjelaskan berita Kerajaan Allah (Mrk 13; Mat 24-25; Luk 21:5-36). Di atas sudah dinyatakan, para pelihat, yakni para penulis apokaliptik, memiliki kepercayaan akan adanya dunia si jahat atau kerajaan kejahatan yang menjadi lawan Allah. Segala penderitaan dan penganiayaan yang dialami oleh umat Allah yang setia, dipahami berasal dari kuasa si jahat, dan tampaknya si jahat itu telah benar-benar merasuki dunia ini. Dunia, sejarah dan masyarakat manusia dirasuki oleh si jahat sehingga tidak ada yang bisa dibuat selain berharap akan suatu pembaruan total dunia ini. Pembaruan total itu hanya bisa terjadi jika Allah sendiri melenyapkan kuasa si jahat. Para pelihat meyakini bahwa pada waktunya Allah pasti akan berbuat itu. Pandangan inilah yang pada gilirannya mewarnai tradisi kerabian Yahudi, dan Yesus tampaknya hendak menegaskan kembali hal tersebut.[37]

Dalam kaitan dengan waktu Allah melakukan pembaruan total atas sejarah dunia, Yesus menegaskan bahwa Ia sama sekali tidak tahu bilamana waktu pembaruan total itu terjadi: “Tetapi tentang hari atau saat itu tidak seorang pun yang tahu, malaikat-malaikat di surga tidak, dan Anak pun tidak, hanya Bapa saja.” (Mrk 13:32). Namun, Yesus menyampaikan bahwa menjelang waktu itu hal-hal berikut ini akan terjadi: perang, gempa bumi, kelaparan, penganiayaan karena kesaksian Injil Yesus Kristus, pembunuhan orangtua oleh anak-anaknya dan sebaliknya, dan kemunculan mesias-mesias palsu (Mrk 13). Dalam perkembangan kemudian, hal-hal yang akan terjadi tersebut umumnya dipahami sebagai “tanda-tanda zaman”.

Anthony Hoekema mengingatkan, dalam satu-satunya ayat di mana istilah “tanda-tanda zaman” dipakai, yakni Matius 16:3, istilah “tanda-tanda zaman” tidak secara eksklusif menunjuk kepada apa yang masih berada di masa depan, melainkan kepada apa yang Allah telah lakukan pada masa lalu dan apa yang Ia sedang terus nyatakan pada masa kini. Istilah ini merupakan terjemahan dari kata-kata Yunani ta sēmeia tōn kairōn. Meskipun memiliki banyak pengertian, kata ta sēmeia pada ayat ini mau menggambarkan tanda pemberian Allah yang sangat bernilai, yang mengindikasikan apa yang Allah telah atau sedang atau akan lakukan. Sementara itu, kata tōn kairōn yang arti umumnya adalah suatu momen atau periode waktu tertentu, pada ayat ini menunjuk kepada periode waktu dari tindakan ilahi yang hendak membawa orang-orang Farisi dan Saduki kepada suatu pertobatan sejati.[38] Dengan arti tōn kairōn semacam itu, maka kita pun dapat menerjemahkan ta sēmeia tōn kairōn sebagai “tanda-tanda kesempatan yang diberikan Allah”.

Dalam kaitan dengan “tanda-tanda zaman” di atas, pertanyaan berikut menjadi relevan dan signifikan: Jika tanda-tanda zaman merupakan segala peristiwa yang harus terjadi sebelum kedatangan Tuhan Yesus, maka untuk apa dikatakan bahwa orang harus berjaga-jaga menyambut kedatangan-Nya? Bukankah pengenalan terhadap tanda-tanda tersebut dapat menyebabkan orang berpikir bahwa kedatangan Tuhan Yesus masih jauh pada masa depan, sehingga ia tidak lagi harus senantiasa berjaga-jaga? Hoekema menjawab persoalan ini dengan menegaskan empat kesalahpahaman tentang tanda-tanda zaman: (1) tanda-tanda zaman dipahami sebagai peristiwa-peristiwa yang secara eksklusif hanya akan terjadi pada masa depan, seolah-olah tanda-tanda itu tidak bersangkut paut dengan masa kini; (2) tanda-tanda zaman dipandang melulu dalam peristiwa-peristiwa yang spektakuler dan abnormal; (3) tanda-tanda zaman dipandang sebagai alat bantu untuk menghitung waktu kedatangan Tuhan Yesus kembali; dan (4) tanda-tanda zaman diyakini sebagai skema periode waktu tertentu yang menunjukkan urutan-urutan sampai kesudahan zaman.[39]

Demikianlah, dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa eskatologi Yesus menyiratkan adanya tegangan antara yang sudah dan yang belum dari Kerajaan Allah. Bagi Yesus, realitas Kerajaan Allah itu sudah dimulai di dalam pekerjaan-pekerjaan-Nya, tetapi belum terwujud sepenuhnya. “Yesus mengajarkan bahwa Kerajaan Allah itu telah tiba, namun juga masih akan datang; demikian pula hidup kekal itu telah menjadi milik orang percaya sekarang ini, namun juga masih menjadi pengharapan di masa yang akan datang.”[40]

2.2.2. Eskatologi Paulus

Pengenalan dan penghayatan akan hidup dan pekerjaan-pekerjaan Yesus tampaknya mendasari seluruh pemikiran teologis Paulus, termasuk eskatologinya. Paulus tiba pada keyakinan bahwa kehadiran Yesus mengakibatkan pembaruan mendasar dalam sejarah kehidupan dunia. Bagi Paulus, zaman yang akan datang sudah mulai sebab kebangkitan Yesus adalah kebangkitan “yang sulung dari orang-orang yang telah meninggal” (1Kor 15:20), tahap pertama dari kebangkitan semua orang benar yang sudah meninggal pada masa yang akan datang. Orang Kristen dapat mengalami zaman yang akan datang itu pada zaman sekarang (1Kor 2:6; 7:29-31). Namun, pembaruan sepenuhnya orang-orang Kristen dan juga kosmos akan terwujud pada saat kedatangan kembali Yesus Kristus atau parousia (1Tes 4; 1Kor 15:51-56; Flp 3:20).

Demikianlah eskatologi Paulus, sama seperti eskatologi Yesus, menyiratkan adanya suatu tegangan antara sudah dan belum terpenuhinya pengharapan realitas Kerajaan Allah. Yang membedakan eskatologi Paulus dari eskatologi Yesus adalah: pada eskatologi Paulus, ke-sudah-terpenuhiannya pengharapan realitas Kerajaan Allah ditunjukkan oleh peristiwa kebangkitan Yesus yang membuktikan bahwa kuasa si jahat sudah dipatahkan (1Kor 15:20-28). Selain itu, pada eskatologi Paulus, pengharapan realitas Kerajaan Allah akan terpenuhi secara sempurna ketika tibanya parousia atau kedatangan kembali Tuhan Yesus Kristus ke dunia (1Tes 1:10; 2:19).[41] Tegangan antara yang sudah dan yang belum dalam eskatologi Paulus tampak jelas melalui ungkapan 2Tim 4:8: “Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya; tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya.”

Sebagai catatan, Paulus rupanya begitu yakin bahwa akhir zaman itu sudah sangat dekat. Kadang-kadang Paulus dengan jelas mengharapkan dirinya masih hidup pada waktu Kristus datang kembali dari surga (1Tes 4:15, 17; 1Kor 15:15-22). Namun, di sisi lain, Paulus memperhitungkan kemungkinan bahwa ia dan juga orang-orang lainnya mungkin meninggal sebelum parousia terjadi. Ia mengharapkan bahwa segera sesudah meninggal orang-orang beriman akan menikmati sekurang-kurangnya beberapa buah keselamatan, seperti misalnya persatuan dengan Kristus (Flp 1:23) dan karunia “tubuh rohaniah” (1Kor 15:44) .

Akhirnya, bagi Paulus, eskatologi bukanlah suatu spekulasi abstrak mengenai sisi yang lain. Eskatologi mempunyai implikasi-implikasi praktis-etis. Paulus sering menggunakan bahasa eskatologi untuk mendesak umat supaya berperilaku baik. Dalam Galatia 5:19-21, sesudah mendaftarkan serangkaian tindakan yang tidak diterima, ia mengingatkan bahwa “barangsiapa melakukan hal-hal yang demikian, ia tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah.” Di sini realitas eskatologi digunakan sebagai sanksi langsung terhadap jenis-jenis tertentu perilaku yang tidak bermoral.

2.2.3. Eskatologi Kitab Wahyu

Kitab Wahyu adalah satu-satunya tulisan Perjanjian Baru yang menyatakan diri sebagai kitab nubuat (1:3; 22:7, 10, 18-19). Walaupun demikian, kitab ini menyebut dirinya sebagai sebuah wahyu atau apokalipsis (1:1). Jadi, kita dapat mengatakan bahwa Kitab Wahyu bersifat apokaliptik-profetik.

Tampaknya sifat apokaliptik-profetik yang dimiliki Kitab Wahyu menjadikan kitab ini sulit untuk ditafsirkan. Green mengingatkan bahwa bagaimana pun Kitab Wahyu harus ditafsirkan mengikuti bentuk sastra yang digunakannya karena Yohanes, sang penulis, punya maksud dengan itu. Dalam hal ini kita harus ingat, Yohanes bermaksud mengomunikasikan sebuah berita ilahi yang penting kepada orang-orang sezamannya, dan bukan memberikan skema peristiwa-peristiwa akhir zaman. Fakta bahwa berita Kitab Wahyu lebih berorientasi kepada orang-orang Kristen pada zamannya terindikasi oleh nasihat Yohanes yang berulang kali meminta mereka menuruti perkataan-perkataan yang dituliskan di dalam nubuat ini (1:3; 22:7). Lagipula, dengan memberikan bentuk surat kepada kitab ini (lihat bagian salam pada 1:4-5 dan berkat pada 22:21), Yohanes mengungkapkan maksudnya untuk menyapa umatnya sendiri dan menggarisbawahi kegentingan dari seruannya itu.[42]

Yang tidak boleh dilupakan juga dalam penafsiran Kitab Wahyu adalah pemahaman akan latar belakang historis Kitab Wahyu. Kita tahu, Wahyu kepada Yohanes ini dituliskan di dalam situasi sejarah tertentu. Dalam hal ini, seperti dinyatakan Suharyo, para penafsir mempunyai pendapat yang berbeda-beda tentang kapan persisnya Kitab Wahyu ditulis.[43] Beberapa berpendapat bahwa kitab ini ditulis pada pemerintahan Kaisar Claudius (41-54 M); beberapa menghubungkannya dengan pemerintahan Kaisar Nerva (96-98) atau bahkan Traianus (98-117). Pada kenyataannya sebagian besar penafsir memandang Kitab Wahyu ditulis pada zaman Kaisar Domitianus (81-96) yang menjelang akhir pemerintahannya menganiaya orang-orang Kristen. Pendapat itu didukung oleh kesaksian-kesaksian yang diberikan oleh Ireneaus, Klemens dari Aleksandria dan Origenes. Pada awal abad keempat, Eusebius dan Victorinus menegaskan pendapat itu dan juga akhirnya diikuti oleh Hironimus.

Dari Kitab Wahyu, kita mendapat semacam petunjuk yang mendukung pendapat bahwa kitab ini ditulis pada saat umat Kristen di beberapa jemaat di Asia mengalami penderitaan dan penganiayaan lantaran pemerintahan kaisar Roma. Rasa benci terhadap orang-orang Kristen rupanya sudah minta korban di Pergamum, dan Yohanes mengungkapkan penglihatannya tentang para korban penganiayaan di sekeliling altar surgawi (Why 6:9 dst). Roma, si pelacur, sudah mabuk oleh darah orang-orang kudus dan para martir Yesus Kristus (Why 17:6), namun para korban ini akan memerintah bersama dengan Kristus untuk masa seribu tahun[44] (Why 20:4). Semua orang harus menyembah kaisar yang diilahikan (13:4; 14:9, 11; 16:2; 19:20). Jadi, orang-orang Kristen di Asia dianiaya karena tidak rela melakukan penyembahan kaisar ini.[45]

Para penulis sejarah mencatat bahwa penganiaya orang Kristen pertama adalah Kaisar Nero. Kaisar Nero menganiaya orang-orang Kristen yang tinggal di kota Roma dan sekitarnya dengan dalih mereka telah membakar kota Roma. Padahal dalih itu semata-mata fitnahan belaka. Pada kenyataannya penganiayaan yang ada di latar belakang Kitab Wahyu adalah jauh lebih hebat daripada yang dilakukan Nero. Penganiayaan semacam itu tampaknya ditemukan pada masa akhir pemerintahan Kaisar Domitianus. Kaisar yang satu ini sungguh-sungguh menegakkan dan memaksakan penyembahan kepada dirinya. Domitianus berharap ungkapan “Kaisar adalah Dominus et deus noster (= Tuhan dan Allah kami)” dikumandangkan oleh semua orang, termasuk orang-orang Kristen.[46]

Situasi zaman yang menjadi latar penulisan Kitab Wahyu di atas segera mengingatkan kita akan situasi yang dialami oleh orang-orang Yahudi pada masa Daniel, sang pelihat. Itulah sebabnya tidak heran kalau penafsir pun menangkap bahwa tujuan penulisan Kitab Wahyu itu tidak jauh berbeda dengan penulisan apokalipsis Daniel. Seperti sudah dinyatakan di atas, Kitab Daniel dan Kitab Wahyu, keduanya memakai gaya penulisan apokaliptik, sama-sama menggunakan gambaran-gambaran imajinatif-kreatif. Yang mencolok berbeda tentunya adalah dasar teologi masing-masing penulis. Daniel berpegang pada teologi Yahudi, sementara Yohanes pada teologi Kristen.

Bagian khas teologi Kitab Wahyu tampak pada uraian penglihatan Yohanes tentang Allah dan Sang Anak Domba di surga (lihat Why 4-5). Dalam pandangan Yohanes, peralihan zaman sudah terjadi pada masa lalu, yaitu ketika Sang Anak Manusia (Yesus Kristus) disembelih dan dibangkitkan untuk menggenapkan karya penyelamatan Allah. Kini, Sang Anak Domba itu telah naik dan duduk di tahta Allah untuk memerintah bersama Allah dengan segala kekuatan, kekuasaan, dan kemuliaan-Nya atas semesta alam. Oleh karena itu, sekalipun pada masa kini di dalam sejarah dunia berlangsung pelbagai gejolak, krisis, dan kejahatan, melalui Sang Anak Domba yang sudah menang itu, Allah tetap memperlihatkan kekuasaan dan kedaulatan-Nya atas semesta. Kemenangan Allah secara sempurna dan penuh akan dinyatakan pada saat Sang Anak Domba datang kembali ke dunia (Why 21-22).

Penggambaran Yesus Kristus yang datang kembali sebagai Sang Anak Domba ini, dan bukan “singa dari suku Yehuda”, menyiratkan pemahaman eskatologis Yohanes bahwa Dia yang datang adalah Dia yang penuh kasih, yang menghapus dosa dunia (bandingkan Yoh 1:29). Pada saat itu “perjamuan kawin” akan diadakan, suatu perjamuan sukacita yang menandakan persatuan abadi antara Allah sebagai mempelai laki-laki dan orang-orang beriman sebagai mempelai perempuan (Why 19:7; 22:9, 17; bandingkan Mat 25:1-13).[47]

Dengan penglihatannya itu, Yohanes berharap, umat Kristen yang mengalami masa penderitaan dan penganiayaan menjadi yakin bahwa pada akhirnya mereka akan menang apabila tetap beriman, tabah, tekun dan bertahan, tidak bercela, dan takut akan Allah. Kalaupun dalam pergumulan dan perjuangan iman mereka itu, mereka harus mati, mereka tetap berbahagia sebab akan segera tiba hari kebangkitan orang-orang mati dan hari penghakiman, yakni tatkala mereka menerima upah dan memerintah bersama Kristus sebagai Raja. Musuh-musuh yang menganiaya mereka dan orang-orang yang tidak setia akan kena murka Allah pada hari penghakiman itu. Setan pun “diikat” dan dilemparkan ke dalam jurang maut sampai selama-lamanya. Jadi, pada intinya Kitab Wahyu Yohanes dimaksudkan untuk membangkitkan semangat dan daya tahan umat Kristen dalam perjuangan menghadapi kekuasaan pemerintah Roma yang kejam dan menyengsarakan mereka.[48]


III. BAHAN RUMUSAN PEGANGAN AJARAN TENTANG AKHIR ZAMAN

Setelah mengenali, mengerti dan menghayati paham tentang akhir zaman (eskatologi) melalui penelusuran Alkitab sebagaimana dipaparkan di atas, kita pun dapat menarik suatu pengajaran sistematis yang kemudian dapat menjadi bahan rumusan ajaran tentang akhir zaman.

3.1. Dasar Pengajaran

a. Dasar pengajaran Gereja tentang akhir zaman (eskatologi) adalah wahyu ilahi yang nyata di dalam kehadiran Sang Firman yang menjadi manusia, yakni di dalam hidup dan karya Yesus Kristus, Tuhan kita.

b. Oleh karena kesaksian tentang Yesus Kristus itu terdapat di dalam Alkitab, maka mau tidak mau, Alkitab menjadi titik tolak untuk memulai pengajaran tentang akhir zaman. Sekalipun begitu, kita mesti menyadari bahwa setiap orang yang menggunakan Alkitab sebagai titik tolak pengajaran tentang akhir zaman akan menghadapi masalah penafsiran Alkitab. Dalam hal ini, “kita pun tidak boleh mengabaikan keutuhan Alkitab yang tersedia bagi kita dan mengabaikan Pusat yang menyatukannya yaitu Kristus.”[49]

c. Berkaitan dengan penggunaan Alkitab untuk pengajaran tentang akhir zaman, maka kita mengajukan keberatan terhadap metode penafsiran Alkitab secara harfiah. Pertama, karena adanya sikap pengabaian studi historis atau literer (sastra) atas teks Alkitab yang ditafsirkan, sehingga sangat memungkinkan penafsir jatuh ke dalam tindakan eisegesis, yakni memasukkan ke dalam teks Alkitab arti yang sesuai dengan kemauan atau kepentingan penafsir. Kedua, karena adanya kecenderungan sikap tidak taat asas (inkonsisten) dalam memilih dan menafsirkan teks-teks Alkitab, sehingga memungkinkan terjadinya pemahaman yang menyimpang dari maksud Allah sebenarnya. Salah satu bentuk tafsiran Alkitab yang memuat pemahaman yang menyimpang dari maksud Allah berkaitan dengan pengajaran tentang akhir zaman adalah ramalan-ramalan tentang “hal-hal akhir” pada masa depan sejarah kehidupan dunia, misalnya ramalan tentang tanggal, bulan atau tahun kedatangan Tuhan Yesus kembali. Gereja menolak bentuk tafsiran seperti itu, karena:

“Alkitab bukanlah bukanlah suatu ‘buku keterangan’ tentang apa yang akan terjadi pada masa depan, tentang cara bagaimana segala sesuatu itu akan berlangsung, tentang urutan serta saat-saatnya. Mengenai ‘kejadian-kejadian’ terakhir, Alkitab mempergunakan gambaran-gambaran yang sudah barangtentu bersifat kiasan.”[50]


3.2. Kita dan Masa Depan

a. Pengajaran tentang akhir zaman berkaitan erat dengan penghayatan kita akan masa depan sejarah kehidupan. “Hal-hal akhir” (eskhata) pada masa depan itu sesungguhnya merupakan hal-hal yang belum kita alami dalam kehidupan masa kini kita. Dapat dikatakan, hal-hal akhir pada masa depan adalah perkara yang gelap dan kabur bagi kita. Namun, dalam terang kesaksian Yesus Kristus, akhirnya kita dapat menghayati masa depan kita sebagai orang beriman.

“Kita percaya kepada Yesus Kristus, yang sudah mengalahkan segala kuasa dosa, maut dan iblis, di dalam kematian-Nya serta kebangkitan-Nya. Kita percaya juga kepada-Nya sebagai Tuhan yang kini duduk di sebelah kanan Allah. Oleh sebab itu kita percaya dan yakin bahwa Ia akan berkuasa juga di masadepan. … Pendek kata, apa yang kita sebut masa lampau, masa kini dan masa depan seakan-akan bertindih dan berbareng di dalam Yesus Kristus (Ibr 13:8).”[51]

b. Penghayatan akan masa depan pada gilirannya menunjukkan pengharapan kita. Oleh karena kita menghayati masa depan dalam terang kesaksian Kristus, maka pengharapan kita bukanlah pengharapan yang gelap dan kabur.

c. Berkenaan dengan pengharapan akan masa depan, kita mesti mewaspadai dua bahaya berikut ini: (1) sikap mengutamakan dan mengejar pengetahuan tentang apa yang akan terjadi pada masa depan, dan melupakan Injil Yesus Kristus; dan (2) sikap menutup diri terhadap pembicaraan tentang masa depan oleh karena anggapan bahwa hal-hal akhir itu sama sekali gelap dan kabur.

“Terhadap kedua-duanya haruslah ditekankan: Yesus Kristus, Dialah pengharapan kita! Kita tidak mengetahui dengan cara bagaimana segala sesuatu itu akan terjadi, bila Kristus kembali. Tetapi hal itu tidak berarti bahwa pengharapan kita tak ada dasarnya yang kongkrit! Sebab ‘masa depan’ itu ditentukan coraknya oleh pekerjaan Yesus Kristus di ‘masa lampau’. Kita sungguh-sungguh mengetahui apa yang boleh kita nanti-nantikan, sebab kita mengetahui Siapa yang kita nanti-nantikan: Yesus Kristus, Tuhan yang telah disalibkan dan yang telah bangkit.”[52]


3.3. Yesus Kristus sebagai Pemenuhan Janji Keselamatan Allah

a. Pengenalan dan penghayatan kita akan hidup dan pekerjaan-pekerjaan Yesus Kristus mendorong kita untuk mengakui bahwa kehadiran Yesus Kristus di dunia merupakan pemenuhan janji keselamatan Allah bagi umat-Nya seperti yang telah disampaikan dalam nubuat-nubuat para nabi dan para pelihat dalam Perjanjian Lama. Nubuat-nubuat para nabi (melalui eskatologi profetik mereka) menyampaikan berita pengharapan bahwa Allah akan menyatakan keselamatan-Nya dan pemulihan-Nya bagi sejarah kehidupan dunia. Berita pengharapan ini kemudian mewujud dalam penantian kedatangan seorang Juruselamat yang disebut Imanuel (Yes 7:14), Raja Damai (Yes 8:23-9:6), Hamba Tuhan (Yes 42:1-4; 49:5-7; 52:13-53:12), atau seorang keturunan Daud (Yer 23:5). Sementara itu para pelihat (melalui eskatologi apokaliptik mereka) mengungkapan suatu pengharapan bahwa pada saatnya Allah akan datang dan memenangkan peperangan melawan kuasa-kuasa si jahat (Dan 7-12).

b. Sekalipun demikian, dalam kehadiran Yesus Kristus di dunia, pemenuhan janji keselamatan Allah itu belum terlaksana sepenuhnya. Kerajaan Allah yang Yesus sudah mulai di dalam pekerjaan-pekerjaan-Nya itu baru akan digenapi pada saat kedatangan-Nya kembali.

“Di dalam Kristus, Allah mulai mewujudkan rencana penyelamatan-Nya (Ef 1:9-10) yang akan digenapkan-Nya pada kedatangan Yesus kembali (1Kor 15:22-25; Ibr 9:28). … Kerajaan Allah itu sudah datang dan menjadi nyata dalam kehidupan dunia dan umat manusia dengan kedatangan Yesus Kristus, Raja dan Juruselamat dunia (Mrk 1:15). Walaupun demikian, penyataan Allah secara penuh baru akan terjadi ketika ‘dalam nama Yesus bertekuk lutut, segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi, dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku Yesus Kristus adalah Tuhan bagi kemuliaan Allah, Bapa” (Flp 2:10-11).[53]


3.4. Kedatangan Yesus Kristus Kembali dan Kesudahan Zaman

a. Kehadiran Yesus Kristus di dunia menandakan suatu perjanjian baru bahwa keselamatan dari Allah sudah dinyatakan kepada dunia di dalam pekerjaan-pekerjaan Yesus (Luk 22:20; Ibr 8:6, 13; 9:15), dan bahwa keselamatan itu sepenuhnya akan diberikan jika kita tinggal di dalam-Nya (Yoh 15:1-8) dan menantikan kedatangan-Nya kembali (Ibr 9:28).

b. Kedatangan Yesus Kristus kembali menandakan suatu pemenuhan janji keselamatan Allah secara sempurna bagi dunia. Itu berarti, sejarah kehidupan mencapai puncaknya, zaman sampai kepada kesudahannya, berganti zaman yang baru (Mrk 13:8, 13; Why 21-22).

“Akan tetapi hari itu [kedatangan Kristus kembali] pastilah akan datang, sama seperti hari kematian kita yang sekali kelak akan tiba. Hari kematian bagi kita berarti berakhirnya ‘waktu’ kita (= ‘kairos’ yang telah diberikan Allah kepada kita!). Demikianlah hari kedatangan Kristus akan merupakan berakhirnya segala hari, berakhirnya zaman-dunia ini. Maka akan dinyatakan adanya semacam zaman lain, semacam ‘zaman’ yang tak dapat kita bayangkan atau kita tangkap dengan pengertian kita tentang ‘waktu’ dan ‘zaman’. Sebab ‘zaman’ itu adalah ‘zaman Allah’, artinya keabadian.”[54]

c. Pergantian zaman yang dinyatakan melalui kedatangan Kristus kembali menunjukkan adanya pemisahan antara yang baik dan yang jahat, sehingga zaman baru itu dipenuhi dengan yang baik saja (Why 21:1-8). Pemisahan inilah yang disebut sebagai penghakiman yang terakhir (Mat 25:31-46; 2Pet 2:4-22). Yesus Kristus yang datang kembali itu adalah Hakim dalam penghakiman terakhir itu (Kis 10:42). Ini tentu merupakan berita sukacita bagi kita yang percaya akan pekerjaan-pekerjaan-Nya dan yang tinggal di dalam-Nya.

“Tetapi kita telah mengenal Hakim itu, yakni bahwa Ia sudah menebus segala dosa kita di Golgota dan menjadi Juruselamat kita. Makanya kita tidak takut menantikan kedatangan-Nya; sebaliknya kita menghadapi pengadilan yang terakhir itu dengan penuh pengharapan kepada Yesus Kristus yang menjadi Hakim kita juga. (1Pet 1:3-5; 1Tim 1:1; Yak 5:7-11; 1Kor 15:19-22; 1Yoh 3:3; 1Pet 1:13; Rm 12:12.)

Jadi, kedatangan Yesus Kristus itu adalah untuk keselamatan kita dan keselamatan seluruh dunia. Ia akan menyelesaikan karya penyelamatan itu; segala kuasa si jahat, iblis, dosa dan maut, akan ditaklukkan-Nya dan dimusnahkan-nya, dan Kerajaan-Nya akan datang dengan sempurna (1Kor 15:28; Why 5:21-22; Flp 2:10-11).”[55]


3.5. Tanda-tanda Zaman

a. Bilamana Yesus Kristus datang kembali dan kesudahan zaman terjadi, tidak ada seorang pun yang dapat mengetahuinya. Perjanjian Baru menyatakan bahwa kedatangan Kristus kembali itu adalah seperti pencuri (Mat 24:43; Luk 12:39-40; 1Tes 5:2, 4; 2Pet 3:10; Why 3:3; 16:15). Ini dinyatakan secara tegas, supaya kita senantiasa berjaga-jaga.

“Tentang hari kedatangan Kristus, Perjanjian Baru berbicara dengan sederhana, tanpa menggambarkannya dengan meluas, tetapi juga dengan tegas. Kita tidak mengetahui hari dan ketikanya (Mat 24:36). Tak dapat kita menghitung-hitungnya; hari itu datang sekonyong-konyong, seperti seorang pencuri pada malam (1Tes 5:2).”[56]

b. Dalam kaitan dengan sikap berjaga-jaga, Alkitab pun menyatakan hal-hal yang terjadi menjelang kesudahan zaman. Hal-hal yang terjadi menjelang kesudahan zaman itu disebut “tanda-tanda zaman”. Paling tidak, empat hal berikut ini patut kita ingat sehubungan dengan tanda-tanda zaman: (1) tanda-tanda zaman tidak saja dipahami sebagai peristiwa-peristiwa yang secara eksklusif hanya akan terjadi pada masa depan, seolah-olah tanda-tanda itu tidak bersangkut paut dengan masa kini; (2) tanda-tanda zaman tidak dipandang melulu dalam peristiwa-peristiwa spektakuler dan abnormal; (3) tanda-tanda zaman tidak dipandang sebagai alat bantu untuk menghitung waktu kedatangan Tuhan Yesus kembali; dan (4) tanda-tanda zaman tidak diyakini sebagai skema periode waktu tertentu yang menunjukkan urutan-urutan sampai kesudahan zaman.[57]

c. Membaca tanda-tanda zaman merupakan salah satu upaya dalam rangka kita berjaga-jaga menjelang kedatangan Kristus kembali. Kita hidup dalam tegangan antara harapan dan realisme. Dalam keadaan seperti itu, kita perlu terus-menerus membaca tanda-tanda zaman, menganalisis kekuatan-kekuatan merusak yang mengasingkan dunia dan umat manusia dari kekuatan kasih Allah sambil menawarkan pemikiran, tindakan, dan cara hidup alternatif sebagai representasi harapan. Harapan ini memberi motivasi yang kuat dan landasan yang kokoh untuk berjuang dengan penuh semangat mengarungi kehidupan masa kini dan terlibat dalam perjuangan menegakkan Kerajaan Allah.[58]


IV. REFLEKSI: BACALAH TANDA-TANDA ZAMAN ITU SEKARANG!

Kehadiran World Trade Center (WTC) di berbagai negara bukanlah puncak prestasi manusia. WTC sebagai wadah perdagangan transnasional merupakan salah satu manifestasi dari proses globalisasi yang berlangsung di tengah-tengah kehidupan sejarah manusia masa kini. WTC berdiri sebagai konsekuensi arus zaman yang digerakkan oleh kemajuan teknologi komunikasi-informasi, yang pada gilirannya memengaruhi begitu kuat baik struktur-struktur ekonomi, sosial-budaya, maupun politik.

Ketika Twin Towers WTC di New York ambruk pada 11 September 2001, dunia terhentak dan tersadarkan bahwa ternyata proses globalisasi memupuk kebencian dan kemarahan. Banyak orang menilai peristiwa yang menelan korban ribuan orang itu sebagai indikasi dehumanisasi dalam dunia kontemporer. Beberapa orang pun memandang peristiwa itu sebagai simbol kemarahan para korban globalisasi terhadap perdagangan transnasional yang menjadi motor penggerak globalisasi. Akibatnya, sejak peristiwa itu, orang tidak dapat lagi memandang sejarah kehidupan ini dengan kacamata yang meneduhkan diri, sebab selalu melekat dalam globalisasi, selain wajah yang menyenangkan dan membanggakan, ada juga wajah yang memprihatinkan dan menakutkan. Sindhunata menuliskan, “Memang globalisasi bisa menjadi hikmah bagi manusia modern. Akan tetapi seperti yang sudah terjadi, globalisasi juga membawa risiko dan bahaya bagi masyarakat manusia.”[59] Globalisasi dapat memunculkan efek-efek negatif yang menghambat perkembangan sejarah kehidupan manusia. Ancaman-ancaman dan perusakan atas kehidupan manusia dan kehidupan bumi menjadi masalah serius yang kita hadapi pada masa kini.

Analisis Human Development Report 1998 menuturkan bahwa pada kenyataannya umat manusia memang memerlukan konsumsi. Konsumsi ini diperoleh lewat proses produksi yang salah satunya memanfaatkan kekayaan bumi atau alam. Pada dekade ini konsumsi umat manusia ini meningkat secara signifikan dan dirasakan manfaatnya bagi perkembangan manusia. Namun demikian peningkatan konsumsi ini tidak sejalan dengan pengaturan pola konsumsi yang proporsional. Pembagian konsumsi yang tidak merata pada gilirannya mengakibatkan kesenjangan sosial dan kemiskinan. Kenyataan ini, ironisnya, tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang, tetapi juga di negara-negara maju atau negara-negara industri yang tingkat kehidupannya lebih baik. The New Human Poverty memperlihatkan bahwa kira-kira 7-17% dari penduduk di negara-negara industri adalah kaum miskin.[60] Itulah wajah memprihatinkan dan menakutkan dari proses globalisasi, hasil tilikan lewat kacamata sosial-ekonomi. Tilikan semacam ini mau tidak mau membuat kita mengakui bahwa dunia sedang menghadapi krisis sosial-ekonomi.

Pola konsumsi yang tidak proporsional pada gilirannya mengakibatkan kerusakan lingkungan. Eksploitasi berlebihan atas sumber daya alam, hanya karena untuk memenuhi pola konsumsi yang tidak proporsional, dapat menhancurkan ekosistem-ekosistem bumi. Akibat eksploitasi tersebut, bumi kita dikotori oleh polusi dan sampah, sehingga sumber daya alam yang dapat diperbaharui terancam rusak. Polusi dan sampah ternyata melebihi kapasitas bumi kita untuk menyerap dan mengubahnya. Begitu pula sumber-sumber daya alam yang dapat diperbaharui, semisal air, tanah, hutan, ikan dan keanekaragaman hayati, menjadi rusak.[61]

Para ilmuwan Badan Antariksa AS (NASA) dan Pusat Data Es dan Salju Nasional AS pada September 2005 melaporkan bahwa planet bumi sedang berada dalam krisis ekologi besar akibat pemanasan global (global warming). Dampaknya terlihat jelas pada proses mencairnya lapisan es Kutub Utara yang meningkat secara tajam beberapa tahun ini. Jika proses pencairan es kutub terus berlanjut, maka sebelum berakhirnya abad ke-21 ini, Kutub Utara akan mengalami musim panas tanpa lapisan es sama sekali. Tentu saja ini akan menimbulkan berbagai konsekuensi mencelakakan, termasuk naiknya permukaan air laut yang menggenangi kota-kota di pesisir pantai dan semakin sering terjadi berbagai musibah akibat perubahan cuaca, seperti amukan badai dan topan besar. Fenomena alam seperti Topan Katrina dan Rita yang menerjang Amerika Serikat, dan Badai Damrey yang melanda Vietnam pada 2005, diyakini sebagai dampak pemanasan global.[62]

Dalam pandangan George Soros, peningkatan konsumsi umat manusia pada era globalisasi berdampak kepada ketersediaan pasokan energi berupa minyak dan gas. Dampak ini mendorong terjadinya krisis energi global. Celakanya, menurut Soros, krisis energi global lebih kompleks dibandingkan dengan krisis lain apa pun. Ini bukan krisis tunggal, melainkan pertemuan sejumlah perkembangan yang gawat seperti krisis sosial-ekonomi dan krisis ekologi akibat pemanasan global, yang saling memperkuat dan mencapai titik krisis kurang lebih pada saat yang bersamaan. Dengan berbagai cara, krisis energi global membahayakan peradaban manusia.[63]

Kesuraman masa depan manusia pun disampaikan oleh beberapa pemikir seperti Martin Heidegger dan Neil Postman. Menurut mereka, manusia di era globalisasi ini tampaknya cenderung dikuasai oleh ciptaannya sendiri, yakni oleh teknologi. Akibatnya terciptalah masyarakat teknopoli (technopoly), yaitu masyarakat yang di dalamnya kebudayaan dan manusia dikuasai oleh teknologi. Padahal tunduknya manusia kepada teknologi telah menimbulkan semacam “penggersangan simbol” (symbolic drain), yakni nihilnya kebudayaan dari makna-makna yang dalam. Masyarakat teknopoli adalah masyarakat yang tidak mempunyai pemahaman transenden mengenai tujuan hidup dan makna hidup, masyarakat yang mengalami krisis, bahkan kehancuran, spiritualitas keagamaan. Inilah masyarakat yang tidak mampu lagi membaca tanda-tanda zaman.[64]

Demikianlah gambaran umum konteks kehidupan umat manusia pada masa kini. Banyak tanda zaman mestinya mendorong kita untuk merenungkan langkah perjalanan hidup kita. Kalau kita membaca situasi yang terjadi di tengah-tengah kehidupan kita, lalu kita merasakan itu sebagai tanda-tanda zaman, maka niscaya lahir suatu semangat untuk bersikap atas kehidupan yang kita jalani ini berdasarkan iman dan pengharapan kita. Kita akan selalu berjaga-jaga, dalam arti berusaha “tinggal di dalam Kristus”.

“Tinggal di dalam Kristus” bukanlah suatu tindakan melarikan diri dari kenyataan kehidupan, tetapi tindakan bersandar pada Kristus dan menghasilkan buah sebagai murid Yesus Kristus. Ini terus kita lakukan seiring kita menanti-nantikan kedatangan Tuhan Yesus Kristus kembali. Penantian kita itulah yang menjadi daya motivasi kuat dan landasan kokoh tatkala kita berjuang mengarungi kehidupan masa kini dan menegakkan Kerajaan Allah. Maka, marilah kita berkata: “Amin, datanglah, Tuhan Yesus!” (Why 22:20)

Hendri M. Sendjaja

CATATAN AKHIR:
[1] Eka Darmaputera, Iman – Menjawab Pertanyaan, Mempertanyakan Jawaban: Khotbah-khotbah tentang Keanekaragaman Isu dalam Hidup Orang Percaya (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), h. 2.
[2] Otto Hentz, Pengharapan Kristen (Yogyakarta: Kanisius, 2005), h. 59.
[3] Lihat: Theo Christi, Yesus Tidak Datang (Jakarta: YWAM Publ. Indonesia, 2004).
[4] Hentz, Op.Cit., h. 59.
[5] G.C. van Niftrik dan B.J. Boland, Dogmatika Masa Kini (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), h. 312.
[6] Joel B. Green, Memahami Nubuatan (Jakarta: Persekutuan Pembaca Alkitab, 2005), h. 38-39.
[7] Ibid., h. 50-51.
[8] J. Dwight Pentacost, Things to Come (Grand Rapids: Zondervan, 1958), h. 33; sebagaimana dikutip Green, Ibid., h. 39-40.
[9] Charles C. Ryrie, Waktunya sudah Dekat (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1999), h. 66-67.
[10] Ernest B. Gentile, Kemenangan Final (Tunas Pustaka, 2001), h. 275-276. Perhatikan di sini, Gentile memilih secara bebas, tanpa argumentasi yang jelas, istilah-istilah apa yang diartikan secara harfiah dan apa yang tidak.
[11] Herlianto, Akhir Zaman: Kapan akan Terjadi? (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2002), h. 39-40.
[12] Ibid., h. 41.
[13] A.S. Horby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English (Oxford: Oxford University, 1987), h. 671.
[14] Harry Mowvley, Penuntun ke dalam Nubuat Perjanjian Lama (Jakarta: BPK Gunung Mulia,2000), h. 3-4.
[15] Green, Op.Cit., h. 62.
[16] Green, Op.Cit., h. 115.
[17] Perjanjian Allah yang dimaksudkan di sini adalah sebagaimana yang dituliskan kembali Yeremia (11:4-5): “Dengarkanlah suara-Ku dan lakukanlah segala apa yang Kuperintahkan kepadamu, maka kamu akan menjadi umat-Ku dan Aku akan menjadi Allahmu, sehingga Aku dapat menepati sumpah yang telah Kuikrarkan kepada nenek moyangmu untuk memberikan kepada mereka tanah yang berlimpah-limpah susu dan madunya, seperti halnya pada waktu ini.”
[18] Dalam teks Alkitab, kita mendapati tiga kelompok teks yang merujuk kepada ungkapan “Hari TUHAN”: (1) Kelompok teks yang menyebut “Hari TUHAN”, yakni Am 5:18, 20; Yes 13:6, 9; Zef 1:7, 14; Yeh 13:5; Ob 15; Yl 1:15; 2:1, 11, 30; 3:14 – tiga teks menggunakan ungkapan “Hari untuk TUHAN”: Yes 2:12; Yeh 30:3; Za 14:1. (2) Kelompok teks yang menggunakan ungkapan berbeda untuk ide yang sama, misalnya: “hari kegemasan TUHAN” (Zef 1:18), “hari kemurkaan TUHAN” (Yeh 7:19); “hari perjamuan kurban TUHAN” (Zef 1:8); “suatu hari pembalasan TUHAN” (Yes 34:8; bdk 61:2; 63:4; Yer 64:10). (3) Kelompok teks yang merujuk pada “hari” tanpa keterangan atau kualifikasi, misalnya “suatu hari bagi TUHAN” (Za 14:1). Lihat: Serpulus Tano Simamora, “Hari TUHAN Menurut Perjanjian Lama,” dalam Wacana Biblika, Vol. 6, No. 4, Oktober-Desember, 2006.
[19] A.Th. Kramer, Singa telah Mengaum: Nabi sebagai Penyambung Lidah TUHAN (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), h. 25.
[20] Nama ‘Sion’ semula menunjuk kepada kubu pertahanan di atas bukit tenggara Yerusalem (bdk 2Sam 5:7). Kemudian nama ‘Sion’ dikenakan kepada seluruh kota Yerusalem. Kramer, Ibid., h. 45.
[21] Green, Op.Cit., h. 68.
[22] Green, Op.Cit., h. 70.
[23] Ioanes Rakhmat, “Apokaliptisme Alkitabiah dan ‘Teologi Armagedon’ yang Menyesatkan,” dalam Andar Ismail, ed., Mulai dari Musa dan Segala Nabi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), h. 48-49. Lihat juga: Peter C. Phan, 101 Tanya Jawab tentang Kematian dan Kehidupan Kekal (Yogyakarta: Kanisius, 2005), h. 57.
[24] Green, Op.Cit., h. 85.
[25] Lihat juga: D.S. Russell, Penyingkapan Ilahi: Pengantar ke dalam Apokaliptik Yahudi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), h. 96-98.
[26] Annemarie Schimmel pernah meneliti pemakaian simbolis angka-angka dalam beberapa peradaban kuno, tradisi agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Tampaknya banyak angka memiliki makna tertentu dalam budaya dan agama tertentu. Dari penelusuran pelbagai budaya dan agama itu, Schimmel menemukan berbagai kesamaan yang menakjubkan atas pemaknaan angka. Contoh, angka 7 melambangkan kesempurnaan atau ketuntasan: bangsa Maya percaya adanya 7 lapis langit, dan menganggap 7 sebagai banyaknya penjuru mata angin. Tradisi Ibrani menganggap 7 sebagai angka kesempurnaan – 7 hari penciptaan; pada generasi ke-7 setelah Adam, hiduplah Lamekh selama 777 tahun dan harus membayar balas dendam 77 tahun (Kej 4:24, 5:31). Kalimat Syahadat dalam Islam berisi 7 kata dalam bahasa Arab. Buddha yang baru lahir menapak 7 langkah untuk mengatakan bahwa senyatanya ini merupakan kelahirannya yang terakhir; ia mencari keselamatan selama 7 tahun, dan mengitari pohon Bodhi 7 kali sebelum duduk bermeditasi di bawahnya. Lihat: Annemarie Schimmel, Misteri Angka-angka dalam Berbagai Peradaban Kuno dan Tradisi Agama Islam, Yahudi, dan Kristen (Jakarta: Pustaka Hidayah, 2004), h.130-157.
[27] Green, Op.Cit., h. 95.
[28] Green, Op.Cit., h. 85-86.
[29] Green, Op.Cit., h. 71.
[30] Rakhmat, Op.Cit., h. 54-55; Green, Op.Cit., h. 73.
[31] John J. Collins, Daniel (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h. 86.
[32] John J. Collins, “Apocalyptic Eschatology and the Transcendence of Death,” dalam Visionaries and Their Apocalypses (Philadelphia: SPCK dan Fortress, 1983), h. 68; sebagaimana dikutip Russel, Op.Cit., h. 126.
[33] Dermot A. Lane, Keeping Hope Alive: Stirrings in Christian Theology (New York/Mahwah: Paulist, 1996), h. 87.
[34] John Fuellenbach, Kerajaan Allah: Pesan Inti Ajaran Yesus dalam Cahaya Dunia Modern (Ende: Nusa Indah, 2006), h. 109.
[35] Fuellenbach, Ibid., h. 99-100.
[36] Fuellenbach, Op.Cit., h. 107-108.
[37] Fuellenbach, Op.Cit., h. 116.
[38] Anthony A. Hoekema, Alkitab dan Akhir Zaman (Surabaya: Momentum, 2004), h. 175-176.
[39] Hoekema, Ibid., h. 176-179.
[40] Hoekema, Ibid., h. 92.
[41] Tom Jacobs mengingatkan bahwa bagi Paulus parousia bukanlah sesuatu yang melulu akan datang pada akhir zaman, melainkan sekarang sudah mulai pengaruhnya. Sebab, sebagaimana tampak dari 1Kor 15:23, parousia sangat erat berhubungan dengan kebangkitan Yesus Kristus. Lihat: Tom Jacobs, Paulus: HIdup, Karya, dan Teologinya (Jakarta: BPK Gunung Mulia, dan Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 250-251.
[42] Green, Op.Cit., h. 75-76.
[43] I. Suharyo, Kitab Wahyu: Paham dan Maknanya bagi Hidup Kristen (Yogyakarta: Kanisius, 2004), h. 14.
[44] Dalam bahasa Latin, istilah ‘seribu tahun’ ditulis millennium (mille = seribu, dan annus = tahun). Bahasa Yunani sendiri menuliskan: kilia (khilia, seribu), eth (etē, tahun). Dari sini kita mendapati istilah-istilah: millenarianisme, millenialisme dan khiliasme. Millenarianisme menunjuk kepada suatu paham yang memandang 1000 tahun dalam Kitab Wahyu tidak secara harfiah. Millenialisme atau khiliasme memahami 1000 tahun dalam Kitab Wahyu secara harfiah. Ada tiga pandangan tentang millennium, yakni: pra-millenialisme (kedatangan kembali Kristus diyakini sebelum millenium); post-millenialisme (kedatangan kembali Kristus diyakini akan berlangsung setelah millenium, setelah masa yang di dalamnya tidak akan ada lagi kejahatan), dan a-millenialisme (millenium, dengan kondisi absennya kejahatan, itu tidak ada). Tentang tiga paham ini, lihat: Ioanes Rakhmat, “Tiga Pandangan tentang Kerajaan ‘Seribu Tahun’ (Millennium),” (Makalah Diskusi Teologi, Komisi Pengkajian Teologi GKI SW Jawa Barat, 18 September 2004). Annemarie Schimmel menyatakan bahwa angka 1000 merupakan angka yang meliputi segala sesuatu, menunjuk pada suatu kepenuhan. Lihat: Schimmel, Op.Cit., h. 289.
[45] Suharyo, Op.Cit., h. 15.
[46] Beberapa penafsir mengidentifikasi angka 666 dalam Why 13:18 sebagai nama untuk Kaisar Nero. Argumentasinya seperti ini: “Bilangan 666 adalah jumlah nilai angka dari huruf-huruf Ibrani yang membentuk kata “Nero” bila kata ini dialihbahasakan ke dalam bahasa Ibrani dari kata Yunani.” Lihat: Rakhmat, “Apokaliptisme Alkitabiah dan ‘Teologi Armagedon yang Menyesatkan,” h. 55; lihat juga David H. van Daalen, Pedoman ke dalam Kitab Wahyu Yohanes (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), h. 161-162. Namun, angka 666 mungkin juga menunjuk kepada DCLXVI, enam huruf yang dipakai untuk angka dalam sistem Romawi; huruf M untuk 1000 ditemukan kemudian). DCLXVI tampaknya diartikan sebagai singkatan untuk ungkapan: “Domitianus Caesar Legatos Xti Viliter Interfecit” – “Kaisar Domitianus telah membunuh duta-duta Kristus”, dan jika DCLXVI dialihkan menjadi angka dan dijumlah (D=500; C=100; L=50; X=10; V=5; I=1), maka hasilnya adalah 666. Penafsir yang suka mengutak-atik angka 666 pun mendapatkan suatu hal yang mengejutkan, misalnya bahwa angka 666 menunjuk kepada Hitler yang membasmi jutaan orang Yahudi. Jika A mewakili angka 100, B = 101, C =102, dst., maka jumlah angka pada HITLER hasilnya adalah 666! Tentang penafsiran angka 666, lihat: Geoffrey Ashe, The Book of Prophecy: from Ancient Greece to the Millennium (London: Blandford, 1999), h. 65-90, 265-266. Dalam catatan Annemarie Schimmel (Op.Cit., h. 289), Michael Stifel dan Petrus Bungus, dua orang numerolog ternama pada abad ke-16, menafsirkan angka 666 secara khas. Stifel, seorang Protestan, memandang angka ini mengacu pada Paus Leo X, sedangkan Bungus, seorang Katolik, melihat 666 sebagai kiasan untuk Martin Luther! Perhatikan di sini, kecenderungan orang menafsirkan angka-angka dalam tulisan-tulisan apokaliptik bersifat eisegesis, memasukkan ide-ide penafsir ke dalam angka-angka tersebut. Lalu bagaimana kita memahami 666 itu? Ada baiknya kita mengingat bahwa 666 adalah bilangan talenta emas yang wajib dibayar oleh bangsa-bangsa kepada Salomo (1Raj 10:14). Dengan mempertimbangkan pula perkataan Yohanes bahwa “yang penting di sini adalah hikmat” (Why 13:18), maka identitas 666 itu kemungkinan besar mengarah kepada seseorang yang seperti Salomo. Kita tahu, Salomo adalah seorang raja yang sukses tetapi akhirnya mengoyakkan kerajaan Israel oleh karena ketidaksetiaannya kepada Allah. Sampai di sini, kita lebih baik tidak perlu bersusah payah mengidentifikasikan siapa sebenarnya orang yang seperti Salomo itu, supaya kita tidak terjebak pada tindakan eisegesis. Bandingkan: Scott Hahn, The Lamb’s Supper (Malang: Dioma), h. 107.
[47] Scott Hahn, Ibid., h. 163.
[48] Rahmat, “Apokaliptisisme Alkitabiah dan ‘Teologi Armagedon’ yang Menyesatkan,” h. 56-57.
[49] “Pegangan Ajaran Mengenai Alkitab,” dalam Tata Gereja GKI (Jakarta: BPMS GKI, 2003), h. 273
[50] G.C. van Niftrik dan B.J. Boland, Dogmatika Masakini (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), h. 318-319.
[51] Ibid., h. 310-311.
[52] Ibid., h. 314.
[53] “Pemahaman Bersama Iman Kristen,” dalam Dokumen Keesaan Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), h. 77-79.
[54] G.C. van Niftrik dan B.J. Boland, Op.Cit., h. 317.
[55] Werner Pfendsack dan H.J. Visch, Jalan Keselamatan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998), h. 52.
[56] G.C. van Niftrik dan B.J. Boland, Op.Cit., h. 317.
[57] Hoekema, Ibid., h. 176-179.
[58] I. Suharyo, Gereja: Komunitas Pengharapan (Yogyakarta: Kanisius, 2004), h. 55.
[59] Sindhunata, “Dilema Globalisasi,” dalam Basis, No. 01-02, Tahun ke-52, Januari-Februari, 2003, h. 13.
[60] Berdasarkan: I. Aria Dewanta, “Upaya Merumuskan Etika Ekologi Global,” dalam Basis, No. 01-02, Tahun ke-52, Januari-Februari, 2003, h. 23.
[61] Ibid.
[62] “Bahaya Mencairnya Es Kutub,” dalam Kompas, 01 Oktober, 2005.
[63] George Soros, Zaman Kenisbian: Konsekuensi Perang terhadap Teror (Jakarta: Tempo, 2006), h. 216.
[64] Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Berlari: Mencari “Tuhan-Tuhan” Digital (Jakarta: Grasindo, 2004), h. 362-363.