Selasa, 17 Juni 2008

PENERJEMAHAN KITAB SUCI DAN SEMANGAT EKUMENIS


I. SEKILAS SEJARAH

Menurut legenda dalam Surat Aristeas, penerjemahan Kitab Suci sudah dimulai sekitar abad ke-3 S.M., yakni ketika Raja Mesir Ptolomeus II Philadelphus (285-247 S.M.) meminta kepada Imam Agung Eleazar di Yerusalem, sekelompok ahli untuk menerjemahkan kitab hukum Yahudi (Taurat) agar perpustakaan raja di Aleksandria bisa memperoleh satu salinan hukum tersebut dalam bahasa Yunani. Dari legenda yang kebenarannya tidak bisa dipertanggungjawabkan ini, muncullah istilah ‘Septuaginta’ (artinya: Tujuh puluh, LXX). Agaknya legenda ini dipandang para sejarahwan sebagai ungkapan apologetis yang mau menunjukkan bahwa Septuaginta juga memiliki wibawa ilahi yang sejajar dengan Kitab Suci Ibrani, terbukti dari keajaiban ketika proses penerjemahan dilakukan.[1] Sebagai catatan yang perlu diingat, Septuaginta merupakan terjemahan Kitab Suci Ibrani menurut Kanon Aleksandria yang memuat kitab-kitab yang kelak disebut ‘Kitab-kitab Deuterokanonika’ (kalangan Katolik) atau ‘Kitab-kitab Apokrif’ (kalangan Protestan). Pada perkembangan selanjutnya Septuaginta diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Hasilnya dikenal dengan nama ‘Vetus Latina’ (atau Old Latin Version).

Pada akhir abad ke-4 hingga awal abad ke-5, atas perintah Paus Damas (366-384), Hieronimus (±347-420) menerjemahkan Kitab Suci Ibrani ke dalam bahasa Latin berdasarkan teks Kanon Ibrani atau Kanon Palestina. Hal ini dapat dipahami karena Hieronimus tinggal di Palestina dan banyak berdiskusi dengan para ahli kitab Yahudi. Terjemahannya selesai sekitar tahun 405 dan dikenal dengan nama ‘Vulgata’. Karena merujuk pada Kanon Ibrani, Vulgata mula-mula tidak memuat Kitab-kitab Deuterokanonika. Baru kemudian, setelah menyadari bahwa sebagian besar orang berpihak kepada Augustinus (354-430) yang berpendapat bahwa Kitab-kitab Deuterokanonika harus dimasukkan ke dalam Vulgata, maka Hieronimus pun memasukkan kitab-kitab Deuterokanonika ke dalam Vulgata.[2] Untuk maksud tersebut, ia mengambil kitab-kitab ini dari Vetus Latina.[3]

Pada dasarnya teks Vulgata yang beredar pada Abad Pertengahan memiliki rupa-rupa versi. Akibatnya kalau teolog-teolog Abad Pertengahan mendasarkan teologi mereka pada versi-versi yang berbeda dari Vulgata, maka tidak tertutup kemungkinan, kesimpulan-kesimpulan mereka pun akan menjadi ragam. Hal ini mendorong beberapa teolog Paris mengupayakan penyeragaman versi Vulgata. Pada 1226 mereka berhasil menerbitkan versi Paris dari Vulgata. Sejak itu, Paris diakui sebagai pusat yang menonjol dari teologi di Eropa dengan akibat yang tidak dapat dielakkan bahwa Vulgata versi Paris itu ditetapkan sebagai yang normatif. Patut dicatat, versi ini tidak disponsori oleh lembaga gerejawi mana pun, dan tampaknya merupakan suatu usaha yang murni komersial. Alkitab versi inilah yang pada gilirannya (terpaksa) dipakai para teolog Abad Pertengahan, suatu Alkitab yang agak buruk terjemahannya dan berbau komersial.[4]

Selain Vulgata versi Paris, selama Abad Pertengahan beredar pula sejumlah Alkitab versi bahasa non-Latin, terjemahan-terjemahan dari Vulgata. Pada kenyataannya Gereja pada waktu itu tidak pernah secara terbuka melarang upaya penerjemahan Vulgata. Contoh yang dapat dikemukakan adalah terjemahan-terjemahan Wycliffe yang dihasilkan oleh sekelompok sarjana yang berkumpul di sekitar John Wycliffe (±1370-1415) di Lutterworth. Motivasi penerjemahan Vulgata ke dalam bahasa Inggris ini bersifat rohani dan juga politik: bersifat rohani, dalam arti bahwa orang awam sekarang dapat mempergunakan Goddis lawe (hukum Allah); dan bersifat politik, dalam arti bahwa suatu tantangan implisit dikemukakan kepada kewenangan pengajaran Gereja. Kaum awam dimungkinkan untuk melihat perbedaan-perbedaan yang jelas antara visi alkitabiah tentang Gereja dan kenyataan Gereja di Inggris yang korup. Demikianlah hal ini mempersiapkan agenda untuk suatu program pembaruan.[5]

Semangat ad fontes atau “kembali ke sumber-sumber” pada masa Renaisannce mendorong kaum Humanis untuk membaca Kitab Suci secara langsung dalam bahasa-bahasa aslinya daripada dalam terjemahan Latin (Vulgata versi Paris) atau terjemahan bahasa Inggris (versi Wycliffe). Mereka berusaha membaca PL dalam bahasa Ibrani dan PB dalam bahasa Yunani. Pada gilirannya mereka pun menyediakan cetakan Kitab Suci dalam bahasanya yang asli. Pada 1509 Jacques Lefèvre d’Étaples (±1455-1536), seorang Humanis Prancis yang terkemuka, menerbitkan sekumpulan Mazmur dalam bahasa Ibrani. Pada 1516 Desiderius Erasmus (±1466-1536) menerbitkan Novum Instrumentum omne, suatu edisi PB dalam bahasa Yunani. Dalam karyanya Enchiridion yang menjadi sangat berpengaruh pada 1515, Erasmus berpendapat bahwa kaum awam yang memahami Alkitab merupakan kunci bagi pembaruan Gereja. Pada kenyataannya karya Erasmus ini beredar luas di antara kaum intelektual awam di Eropa, dan mempersiapkan jalan untuk program Reformasi yang alkitabiah oleh Martin Luther (1483-1546) dan Huldrych Zwingli (1484-1531) pada periode 1519-1525.[6]

Awalnya Reformasi Luther merupakan reformasi akademis yang terutama berkenaan dengan pembaruan pengajaran (kurikulum) teologi di Universitas Wittenberg. Pemasangan “95 Tesis” oleh Luther pada 31 Oktober 1517, dan perdebatan Leipzig pada Juni-Juli 1519, tampaknya menimbulkan gelombang-gelombang reformasi yang semakin meluas keluar dari Wittenberg. Pada 18 April 1521 Sidang Umum Kekaisaran di Worms mengutuk dan mengasingkan Luther ke Wartburg Castle. Selama pengasingannya itu, Andreas Bodenstein von Karlstadt, kolega Luther di Wittenberg, mengerjakan program pembaruan di Wittenberg. Tindakannya itu justru mengakibatkan reformasi merosot ke dalam kekacauan. Pada 1522 Luther kembali ke Wittenberg dan berusaha memulihkan kembali keadaan khaos yang ditimbulkan oleh tindakan Karlstadt. Pada titik inilah program pembaruan akademis Luther berubah menjadi suatu program untuk pembaruan Gereja dan masyarakat.[7] Pada tahun itu juga Luther menerjemahkan PB terjemahan Erasmus ke dalam bahasa Jerman. Dalam waktu kurang dari tiga bulan, Luther menyelesaikan pekerjaannya, lalu menerbitkan terjemahannya pada September 1522.[8] Dengan penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Jerman dan penerbitannya secara luas ini, Luther bermaksud memasyarakatkan Alkitab sehingga banyak orang (awam) dapat membaca Alkitab dan memperoleh pesan dari pembacaannya.

Perlu diingat, Alkitab versi Luther itu menyisihkan Kitab-kitab Deuterokanonika karena menurutnya tulisan-tulisan PL yang dapat diakui untuk masuk ke dalam kanon Kitab Suci hanyalah sebagaimana terdapat dalam Kitab Suci menurut Kanon Ibrani. Namun Luther tetap menerjemahkan kitab-kitab itu (1543) dan menempatkannya sebagai kumpulan tersendiri di antara PL dan PB dengan keterangan: “Baik dan berguna untuk dibaca, tetapi tidak termasuk dalam Kitab Suci.”[9] Para reformator kemudian memandang kitab-kitab ini sebagai bacaan-bacaan yang bermanfaat tetapi tidak dapat dipergunakan sebagai dasar untuk ajaran Gereja. Pada titik inilah perbedaan fundamental tentang paham Kitab Suci antara kelompok Protestan dan Gereja Katolik Roma menjadi nyata.[10]

Gereja Katolik Roma tentu saja bereaksi terhadap Reformasi Protestanisme. Pada 8 April 1546 Konsili Trente memutuskan bahwa daftar kitab kanonis Protestan tidak mencukupi. Lantas Konsili menerbitkan satu daftar lengkap dari kitab-kitab yang diterima sebagai yang berwibawa, termasuk di dalamnya adalah kitab-kitab yang dianggap apokrif oleh kalangan Protestan dan kini oleh Konsili dipandang sebagai ‘Deuterokanonika’ atau ‘kanon kedua’. Lalu Konsili pun menegaskan bahwa edisi Vulgata sungguh dapat diandalkan dan berwibawa. Kata Konsili:

“Edisi Latin Vulgata lama, yang telah dipergunakan selama berabad-abad, telah diakui oleh Gereja dan harus dipertahankan sebagai otentik dalam pengajaran-pengajaran umum, perdebatan-perdebatan, khotbah-khotbah atau eksposisi, dan bahwa tidak seorang pun berani atau menganggap, dalam keadaan bagaimanapun juga, untuk menolaknya.”[11]

Keputusan Konsili Trente pada gilirannya menyebabkan penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa modern menjadi terhambat. Pada 1559 Paus Paulus IV menetapkan bahwa terjemahan dalam bahsa Jerman, Prancis, Spanyol, Italia, Inggris, atau Belanda tidak boleh dicetak atau dibaca atau dimiliki tanpa izin tertulis dari inkuisisi di Roma. Paus Pius IV (1564) menegaskan sekali lagi bahwa untuk pengadaan Alkitab terjemahan dalam bahasa non-Latin dibutuhkan izin khusus. Paus Benedictus XIV (1757) mengizinkan pemakaian Alkitab terjemahan, asal ada persetujuan dari Roma dan keterangan dari teolog yang terpelajar. Paus Pius VII (1816) melarang pemakaian Alkitab terjemahan Protestan. Paus Leo XIII (1897) mengeluarkan ketetapan yang tercantum dalam Kitab Hukum Kanonik lama (1917), bahwa hanya Alkitab terjemahan Katolik yang diperbolehkan dan itu pun harus dibubuhi catatan sebagai keterangan.[12]

Perubahan drastis Gereja Katolik Roma terjadi setelah Konsili Vatikan II (8 Desember 1962 hingga 8 Desember 1965). Secara khusus berkaitan dengan Kitab Suci, Konsili ini menetapkan:

“Bagi kaum beriman kristiani jalan menuju Kitab Suci harus terbuka lebar-lebar. Oleh karena itu sejak semula Gereja mengambil alih terjemahan Yunani Perjanjian Lama yang amat kuno, yang disebut ‘Septuaginta’. Gereja selalu menghormati juga terjemahan-terjemahan lain ke dalam bahasa Timur dan Latin, terutama yang disebut ‘Vulgata’. Tetapi karena sabda Allah harus tersedia pada segala zaman, Gereja dengan perhatian keibuannya mengusahakan, supaya dibuat terjemahan-terjemahan yang sesuai dan cermat ke dalam pelbagai bahasa, terutama berdasarkan teks asli Kitab Suci. Bila terjemahan-terjemahan itu – sekiranya ada kesempatan baik dan pimpinan Gereja menyetujuinya – diselenggarakan atas usaha bersama dengan saudara-saudara terpisah, maka terjemahan-terjemahan itu dapat digunakan oleh semua orang kristiani.”[13]


II. PENERJEMAHAN KITAB SUCI DI INDONESIA

Upaya penerjemahan Kitab Suci Kristiani di Indonesia berkaitan erat dengan misi pekabaran Injil di Indonesia oleh para misionaris Eropa. Awalnya seorang pedagang Kompeni (VOC), bernama Albert Cornelisz Ruyl, berlayar ke Indonesia (dahulu disebut Hindia Belanda) pada 1600. Setelah belajar bahasa Melayu, Ruyl menerjemahkan Injil Matius ke dalam bahasa Melayu, bahasa yang dipakai di Kepulauan Indonesia, Semenanjung Malaka bahkan hingga ke Filipina. Ia menyelesaikan terjemahan itu pada 1612. Jan Jacobiz Palenstein menerbitkannya di Enkhuizen, Belanda, pada 1629, dalam dwibahasa (diglot): di satu sisi bahasa Melayu dan di sisi lain bahasa Belanda. Ini merupakan Alkitab pertama yang diterjemahkan ke dalam bahasa non-Eropa demi misi pekabaran Injil. Hasil jerih payah ini disimpan di Württembergische Landesbibliothek di Stuttgart, Jerman, dan di British Museum di London, Inggris. Tidak hanya Injil Matius, Ruyl pun kemudian menerjemahkan Injil Markus. Kedua Injil ini akhirnya disatukan, lalu diterbitkan pada 1638.[14]

Beberapa tahun kemudian, Jan van Hasel, seorang pegawai Kompeni, menerjemahkan Injil Lukas dan Injil Yohanes. Tidak lama setelah itu, Justus Heurnius, seorang pendeta di Batavia, menerjemahkan Kisah Para Rasul. Berdasarkan naskah bahasa Yunani, Heurnius pun merevisi Injil Matius dan Injil Markus (terjemahan Ruyl), serta Injil Lukas dan Injil Yohanes (terjemahan van Hasel). Pada 1651, hasil revisi Heurnius dicetak di Amsterdam dalam dwibahasa sebagai “Empat Injil dan Kisah Para Rasul”. Perpustakaan Universitas Amsterdam Belanda dan Perpustakaan Universitas Cambdrige Inggris menyimpan hasil cetakan ini.[15]

Pada 1668 terbit Perjanjian Baru (PB) bahasa Melayu hasil terjemahan Daniel Brouwerious. Namun, Brouwerious tampaknya masih memakai banyak istilah asing, khususnya bahasa Portugis, yang sulit dipahami oleh khalayak umum, misalnya: baptismo, crus, Deos, Euangelio, Spirito Sancto.

Pada 1691 Melchior Leijdecker, seorang pendeta di Batavia, menerjemahkan Alkitab lengkap ke dalam bahasa Melayu tinggi, bahasa yang dipakai untuk menulis buku kesusastraan pada masa itu. Ketika terjemahan selesai hingga Efesus 6:6, pada 1701 Leijdecker meninggal dunia. Pieter van Vorm meneruskan pekerjaan Leijdecker itu. Ia menerjemahkan Efesus 6:7 hingga selesai. Setelah melalui pengkajian yang panjang, akhirnya PB terjemahan Leijdecker dan Pieter van Vorm terbit pada 1731, dan secara lengkap PL dan PB terbit pada 1733. Alkitab terjemahan Leijdecker dan Pieter van Vorm ini terus-menerus mengalami revisi.[16]

Hillebrandus Cornelius Klinkert, seorang misionaris Gereja Menonit, menerjemahkan Alkitab terjemahan Leijdecker Pieter van Vorm ke dalam bahasa Melayu rendah. Pada 1863 PB terjemahan Klinkert selesai, lalu dicetak di Semarang dan diterbitkan pada 1870. Secara lengkap (PL dan PB) Alkitab terjemahan Klinkert terbit pada 1879. Sejak 1900 orang cenderung membaca Alkitab terjemahan Klinkert daripada terjemahan Leijdecker dan Pieter van Vorm.[17]

Pada 1904 William Shellabear, seorang misionaris Metodis, menyelesaikan penerjemahan PB ke dalam bahasa Melayu. Lima tahun kemudian (1909) ia menerjemahkan PL untuk merevisi terjemahan Klinkert. Pada 1912 Alkitab terjemahan Shellabear selesai, lalu diterbitkan dalam huruf arab pada 1912. Baru pada 1927-1929 terjemahan ini dicetak dalam huruf latin. Pada 1913 Shellabear menyelesaikan terjemahan PB ke dalam bahasa Melayu Baba, bahasa yang biasa dipakai oleh kelompok keturunan Cina berbahasa Melayu yang tinggal di Semenanjung Malaka.[18]

Pada 1929 Lembaga Alkitab Belanda (NBG, Nederlands Bijbelgenootschap), Lembaga Alkitab Inggris (British and Foreign Bible Society), dan Lembaga Alkitab Skotlandia (National Bible Society of Scotland) sepakat untuk mengusahakan satu terjemahan baru untuk menggantikan terjemahan Leijdecker dan van Vorm (1733), Klinkert (1879), dan Shellabear (1912), yang dapat dimengerti di Kepulauan Indonesia dan di Semenanjung Malaka. Yang mendapatkan tugas untuk itu adalah Werner August Bode. Bode menyelesaikan terjemahan PB pada 1935. Terjemahan ini terbit pada 1938. Karena Perang Dunia II, terjemahan PL tidak terselesaikan. Setelah Indonesia merdeka, bahasa Indonesia berkembang pesat, sehingga terjemahan-terjemahan yang lalu tertinggal jauh.[19]

Pada 1950 beberapa tokoh Kristiani memprakarsai berdirinya suatu lembaga Alkitab di Indonesia yang terlepas sama sekali dari NBG. Prakarsa itu terwujud nyata pada 9 Februari 1954, dengan berdirinya Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Sebagai sebuah organisasi mitra Gereja, LAI membantu semua gereja dalam penerjemahan, penerbitan, dan penyebarluasan Alkitab ke pelosok-pelosok Nusantara. Untuk memenuhi kebutuhan sementara, pada 1958 LAI menerbitkan Alkitab secara darurat, yakni gabungan PL terjemahan Klinkert (1879) dan PB terjemahan Bode (1938). Alkitab inilah yang kemudian dikenal dengan nama Alkitab Terjemahan Lama (TL).[20] Sampai 1975, umat Kristiani di Indonesia, khususnya kalangan Protestan, memakai Alkitab TL. Di kalangan Katolik terbit PB terjemahan Pater J. Bouma, SVD, dari Percetakan Arnoldus Ende, Flores, pada 1964. Edisi PB Bouma ini direvisi pada 1968.

Tidak jauh dari domisili Tim Penerjemah LAI di Bogor, Pastor Cletus Groenen, OFM, bersama dengan beberapa rekannya, sejak 1956 mulai menerjemahkan seluruh PL ke dalam bahasa Indonesia. Pada 1965 Pastor Groenen mendirikan Lembaga Biblika Indonesia Saudara-Saudara Dina (LBSSD) yang diasuh dan didukung oleh Ordo Fransiskan (OFM) Indonesia. LBSSD meneruskan proyek Pastor Groenen. Pada 1967 Pastor Groenen mengusulkan kepada Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI) agar Gereja Katolik di Indonesia turut serta dalam penerjemahan Alkitab yang sedang ditangani oleh LAI. Pada 1968 MAWI menerima usul itu. Selanjutnya pada 1969 LAI menerima kerjasama yang diusulkan oleh LBSSD/MAWI itu, sehingga sejumlah ahli Kitab Suci Katolik diikutsertakan dalam proyek penerjemahan Alkitab yang ditangani LAI. Pada tahun yang sama LBSSD membubarkan diri. Satu tahun kemudian Lembaga Biblika Indonesia (LBI) berdiri.[21]

Pada tahun berdirinya LBI, Alkitab Terjemahan Baru (TB) yang merupakan hasil kerjasama ekumenis Protestan dan Katolik, selesai. Alkitab TB ini mulai beredar pada 1975. Kebanyakan umat Kristiani di Eropa dan bagian-bagian lain di dunia tidak memiliki terjemahan ekumenis seperti di Indonesia. Berkat Pastor Groenen serta dukungan MAWI, sejak 1975 umat Katolik di Indonesia memiliki terjemahan Alkitab yang sama dengan umat Protestan. Tentunya, khusus bagi umat Katolik, Alkitab TB dilengkapi dengan Kitab-kitab Deuterokanonika.[22] Secara khusus bagi para petugas pastoral Katolik (pastor, suster, bruder, katekis, guru agama, dll.), Percetakan Arnoldus menerbitkan Alkitab yang dilengkapi dengan banyak catatan kaki dan pengantar. Semua informasi sekitar nama, arti kata atau istilah dan ungkapan yang dicantumkan dalam catatan kaki menjadi ciri khas terbitan Gereja Katolik. Namun terbitan Arnoldus itu berisi teks Alkitab yang sama dengan yang ada dalam Alkitab TB.[23]

Pada 1974 proyek penerjemahan Alkitab dalam Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) dimulai. Cara penerjemahannya adalah dinamis-fungsional. PB dikerjakan oleh LAI dengan bantuan tenaga-tenaga ahli/konsultan dari United Bible Society (UBS). PB BIS edisi pertama terbit pada 1977 dan diberi judul “Kabar Baik untuk Masa Kini”. Edisi kedua terbit pada 1978. Proyek penerjemahan PL BIS dikerjakan secara ekumenis dan dibantu oleh UBS sebagai konsultan penerjemahan. Terjemahan ini diterbitkan bersama dengan edisi ketiga PB BIS menjadi “Alkitab Kabar Baik untuk Masa Kini” pada 1985. Atas permintaan Gereja Katolik Roma, terjemahan dinamis-fungsional Deuterokanonika BIS disiapkan oleh Sr. Emmanuel Gunanto. Proses ini sepenuhnya dibiayai Gereja Katolik Roma.[24]

Sejak Nopember 2002 di kalangan umat Katolik, beredar “Kitab Suci Komunitas Kristiani – Edisi Pastoral Katolik” (KSKK) yang diterbitkan oleh Penerbit OBOR, Jakarta. Alkitab ini merupakan terjemahan dari Christian Community Bible, terbitan Claretian Publications dan St. Paul’s, yakni dua penerbit di Filipina. KSKK versi Inggris yang terbit di Filipina merupakan terjemahan dari KSKK versi Spanyol yang dikerjakan oleh Pater Bernardo Hurault. Pater Hurault menerjemahkan Alkitab secara agak bebas dari bahasa asli (Ibrani, Aram dan Yunani) dan memberikan komentar-komentar singkat atas banyak ayat. Ia pun memberi pengantar singkat untuk setiap buku serta menyediakan beberapa informasi lain yang berguna, seperti misalnya kalender liturgi, sejarah ringkas terjadinya Alkitab dan sebagainya. Ini semua dia lakukan karena keprihatinan pastoralnya. Ia ingin membuat Alkitab lebih mudah dibaca dan dipahami oleh umat Katolik.[25]

LBI menanggapi terbitan KSKK di Indonesia secara positif. Namun, LBI pun mengingatkan bahwa: “Terjemahan KSKK hanyalah salah satu dari beberapa kemungkinan. Maka sebaiknya KSKK ini dipakai sebagai bahan perbandingan untuk Alkitab Terjemahan Baru (=TB) yang diterbitkan oleh LAI, tetapi yang juga diakui oleh KWI sebagai terjemahan resmi untuk umat Katolik di Indonesia.” Menurut LBI, “Kitab Suci resmi adalah TB yang ekumenis, sedang KSKK bukan yang resmi.” Itulah sebabnya “KSKK bukanlah dari KWI atau LBI yang mewakili KWI. Menurut KWI, menerima KSKK sebagai Alkitab resmi dianggap terlalu cepat dan kurang menguntungkan bagi gerakan ekumenis. Maka dari itu penerbitan KSKK ini tidak atas tanggung jawab KWI atau LBI, melainkan atas tanggung jawab atau imprimatur seorang uskup, dalam hal ini Uskup Denpasar, Mgr. Benyamin Y. Bria, Pr. Namun karena imprimatur hanya akan diberikan kalau ada nihil obstat dari seseorang yang dianggap cukup kompeten untuk menilai buku tersebut, maka ada nihil obstat dari Rm. H. Pidyarto O.Carm., yang dalam hal ini bertindak sebagai pribadi, dan bukan atas nama LBI.”[26]


III. SEMANGAT EKUMENIS: LEBIH DARI UPAYA KERJASAMA

Keberadaan Kitab-kitab Deuterokanonika pada gilirannya mengakibatkan pembedaan antara Kitab Suci Katolik dan Kitab Suci Protestan. Semua ini, seperti telah ditunjukkan di atas, merupakan produk sejarah yang berkaitan dengan konteks zaman ketika pembedaan itu benar-benar terjadi. Kalau kita menilik secara jernih dan tenang sejarah perbedaan pandangan tentang kedudukan Kitab-kitab Deuterokanonika, misalnya perbedaan pandangan antara Hieronimus dan Augustinus, maka kita akan menyadari bahwa kelainan antara Kitab Suci Katolik dan Kitab Suci Protestan itu bukanlah suatu hambatan untuk semangat ekumenis, melainkan justru merupakan kekayaan produk sejarah yang pada gilirannya mendorong orang Katolik dan orang Protestan memanen manfaat darinya.

Bagaimanapun polemik tentang kedudukan Kitab-kitab Deuterokanonika masih sering terjadi. Sekalipun banyak buku tentang sejarah munculnya Reformasi sudah menjelaskan bahwa Luther melancarkan program pembaruannya dengan tujuan mengoreksi praktik dan ajaran Gereja pada zamannya yang dinilainya mundur (korup), dan Luther pun menekankan gagasan sola fide (“hanya iman yang menjadi dasar keselamatan”) sehingga ditolaklah praktik doa untuk orang mati yang disadarinya berdasar pada 2Makabe 12:43-45, namun tetap beberapa orang Protestan berusaha mencari(-cari) penjelasan untuk membenarkan paham bahwa Kitab-kitab Deuterokanonika memang tidak layak masuk dalam daftar Kitab Suci. Y.M. Seto Marsunu menuliskan bahwa salah satu argumen yang sering diajukan oleh orang Protestan adalah “kitab-kitab ini mengajarkan praktik-praktik amoral, seperti berbohong, bunuh diri, dan pembunuhan, sehingga tidak layak dipandang sebagai sabda Allah.”[27] Contoh argumen lain adalah bahwa Yesus (PB) tidak pernah mengutip Kitab-kitab Deutero-kanonika sehingga kitab-kitab itu “tidak terinspirasi”.

Argumen-argumen di atas jelas tidak mencirikan sama sekali semangat dialogis-ekumenis. Argumen-argumen itu terkesan terlalu terburu-buru untuk dikemukakan, dan hampir dapat dipastikan, merupakan luapan apologetis yang emosional, tanpa suatu pertimbangan matang akan konsekuensi-konsekuensi yang menyertainya. Jika karena Kitab-kitab Deuterokanonika itu mengajarkan praktik-praktik amoral, lantas kitab-kitab itu tidak masuk dalam daftar Kitab Suci, maka kitab-kitab lain pun dalam PL yang mengajarkan hal-hal serupa, misalnya kisah seorang perempuan bernama Yael yang memperdaya Sisera sampai akhirnya membunuhnya dengan cara yang kejam (Hak 4:1-24), seharusnya dikeluarkan juga dari daftar Kitab Suci. Terhadap argumen bahwa Yesus (dengan demikian PB) tidak pernah mengutip Kitab-kitab Deuterokanonika sehingga kitab-kitab itu “tidak terinspirasi”, harus dikemukakan bahwa ternyata dalam PB dijumpai berbagai contoh kata, frasa, bahkan satu bagian dari sebuah kitab yang paralel dengan Kitab-kitab Deuterokanonika. Marsunu menuliskan, “Dalam beberapa kasus, baik pemikiran maupun frasanya begitu dekat, sehingga harus disimpulkan bahwa para penulis kristiani secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh Kitab-kitab Deuterokanonika.”[28]

Satu hal lagi perlu dikemukakan di sini, jika karena Kitab-kitab Deuterokanonika, misalnya: Tob 12:9; Sir 3:30, menekankan manfaat yang diperoleh melalui perbuatan-perbuatan baik, lalu kitab-kitab itu tidak sesuai dengan ajaran Reformasi (berkaitan dengan sola fide) sehingga tidak pantas dimasukkan dalam daftar Kitab Suci, maka hal itu bisa saja diterima sehingga itu akan menciptakan Kitab Suci (yang sungguh) Protestan. Namun, bukankah untuk menghadirkan Kitab Suci (yang sungguh) Protestan itu seharusnya terlebih dahulu Surat Yakobus dalam PB dikeluarkan dari daftar Kitab Suci? Luther memang sempat memikirkan ini. Ia mengungkapkan keraguannya atas “kekanonikan” kitab-kitab tertentu dari PB (yakni Surat Ibrani, Yakobus, Yudas, dan Wahyu), tetapi dukungan terhadap pandangannya itu terlampau sedikit.[29] Akhirnya Luther menempatkan keempat tulisan itu pada akhir PB terjemahannya.


Pada kenyataannya masih tersisa pada kita persoalan tentang paham Kitab Suci dalam konteks zaman yang berubah sekarang ini. Bagi kami, kerjasama ekumenis dalam penerjemahan Kitab Suci yang telah dicapai tidak menunjukkan finalnya dialog ekumenis tentang paham Kitab Suci. Justru, kerjasama ekumenis yang telah dicapai itu merupakan satu langkah maju dalam perjalanan akrab dialogis ekumenisme. Masih ada 999 langkah di depan untuk mewujudkan doa Yesus: “Ut omnes unum sint” – “Supaya mereka menjadi satu …” (Yoh 17:11, 21-23).

PENUTUP
Dalam semangat ekumenis, beberapa hal dpt dipikirkan dan dilaksanakan: (1) Polemik tentang Kitab-kitab Deuterokanonika semestinya diakhiri dengan kesadaran bahwa perbedaan “Alkitab Katolik” dan “Alkitab Protestan” merupakan produk sejarah dan tidak perlu dinilai mana yang mencukupi sebagai Kitab Suci. [Bdk. Faith and Order Paper No. 99, h. 60-61.] (2) LAI tidak lagi menempatkan Kitab-kitab Deuterokanonika secara tersendiri dalam TB atau terjemahan mutakhir nantinya, seolah-olah hanya lampiran saja, tapi menempatkan kitab-kitab itu menurut paham dan tradisi Katolik.

Hendri M. Sendjaja

KEPUSTAKAAN

Borg, Marcus J. 2004. The Heart of Christianity: Rediscovering a Life of Faith. New York: HarperSanFrancisco.

Dister, Nico Syukur. 1992. Pengantar Teologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, dan Yogyakarta: Kanisius.

Dokumen Konsili Vatikan II, terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, & Penerbit Obor, 2004.

Dulles, Avery. 1980. “Scripture: Recent Protestant and Catholic Views,” dalam Theology Today, Vol. 37, No. 1, April.

de Jonge, Christiaan. 1995. “Sola Scriptura: Alkitab pada Zaman Reformasi, Terutama dalam Teologi Calvin,” dalam Rakhmat, Ioanes, ed. Mendidik dengan Alkitab dan Nalar: Kumpulan Karangan dalam rangka Penghormatan kepada Pdt. Prof. Richard W. Haskin, Ph.D. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Komisi Kitab Suci Kepausan. 2003. Penafsiran Alkitab dalam Gereja, terj. V. Indra Sanjaya. Yogyakarta: Kanisius.

Kristiyanto, Eddy. 2004. Reformasi dari Dalam: Sejarah Gereja Zaman Modern. Yogyakarta: Kanisius.

Leks, Stefan. 1996. Mengenal ABC Kitab Suci. Jakarta: Lembaga Biblika Indonesia.
Lembaga Biblika Indonesia. 2003. “Tanggapan Lembaga Biblika Indonesia terhadap Kitab Suci Komunitas Kristiani – Edisi Pastoral Katolik,” dalam http://www.mirifica.net/printPage.php?aid%20=409. Diakses 19 Maret 2008.

Marsunu, Y.M. Seto. 2008. “Menelusuri Polemik Deuterokanonika,” dalam Wacana Biblika. No. 1, Januari-Maret.

McGrath, Alister E. 1997. Sejarah Pemikiran Reformasi, terj. Liem Sien Kie. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Pelikan, Juraslov. 2005. Whose Bible is It? A Short History of the Scriptures. New York: Penguin Books.

Sanjaya, V. Indra. 2003. Tentang Alkitab. Yogyakarta: Kanisius.

Soesilo, Daud H. 1995. Mengenal Alkitab Anda. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.

Smith, Wilfred Cantwell. 2005. Kitab Suci Agama-agama, terj. Dede Iswadi. Jakarta: Teraju.

Tjen, Anwar. 1994. “Kewibawaan Alkitab dari Sudut Pandang seorang Lutheran,” dalam Forum Biblika. No. 4, Tahun 2, April.

Vanhoozer, Kevin J. 2003. “Scripture and Tradition,” dalam Vanhoozer, Kevin J., ed. The Cambridge Companion to Postmodern Theology. Cambridge: Cambridge University.

Wacana Biblika. 2008. No. 2, April-Juni.


CATATAN AKHIR:

[1] Diceritakan bahwa Imam Agung Eleazar mengutus ke Mesir 72 orang ahli, enam orang dari masing-masing suku Israel, untuk melaksanakan penerjemahan Kitab Suci Ibrani itu. Ke-72 orang itu masing-masing bekerja secara terpisah di tempat terpencil, di Pulau Pharos. Mereka menyelasaikan pekerjaan mereka dalam waktu 72 hari. Setelah pekerjaan mereka diperbandingkan satu sama lain, hasilnya persis 100% sama. Itulah keajaiban yang terjadi pada saat proses penerjemahan dilakukan. Berdasarkan: V. Indra Sanjaya, Tentang Alkitab (Yogyakarta: Kanisius, 2003), h. 23-24.
[2] Y.M. Seto Marsunu, “Menelusuri Polemik Deuterokanonika,” dalam Wacana Biblika, No. 1, Januari-Maret, 2008, h. 5.
[3] Sanjaya, Op.Cit., h. 26-27.
[4] Alister McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, terj. Liem Sien Kie (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), h. 177-178.
[5] Ibid., h. 178-179.
[6] Ibid., h. 181. Pandangan jernih tentang alasan munculnya Reformasi Protestanisme, lihat: Eddy Kristiyanto, Reformasi dari Dalam: Sejarah Gereja Zaman Modern (Yogyakarta: Kanisius, 2004), h. 42-51.
[7] Ibid., h. 8-9.
[8] Juraslov Pelikan, Whose Bible is It? A Short History of the Scriptures (New York: Penguin Books, 2005), h. 168-172.
[9] Marsunu, Op.Cit., h. 5.
[10] McGrath, Op.Cit., h. 183. Perbedaan ini tetap ada hingga saat ini.
[11] McGrath, Op.Cit., h. 202.
[12] Sanjaya, Op.Cit., h. 27.
[13] Dei Verbum art. 22.
[14] Daud H. Soesilo, Mengenal Alkitab Anda (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1995), h. 44.
[15] Ibid., h. 45.
[16] Ibid., h. 46-48.
[17] Ibid., h. 51-52.
[18] Ibid., h. 54-55.
[19] Ibid., h. 56-58.
[20] Ibid., h. 58, 135-137.
[21] Stefan Leks, Mengenal ABC Kitab Suci (Jakarta: Lembaga Biblika Indonesia, & Yogyakarta: Kanisius, 1996), h. 30-31.
[22] Umumnya pada Alkitab TB tercantum pernyataan sebagai berikut: “ALKITAB yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam Terjemahan Baru, yang diselenggarakan oleh Lembaga Alkitab Indonesia, ditambah dengan Kitab-kitab Deuterokanonika, yang diselenggarakan oleh Lembaga Biblika Indonesia.”
[23] Leks, Ibid., h. 31-32.
[24] Soesilo, Op.Cit., h. 64-65.
[25] “Tanggapan Lembaga Biblika Indonesia terhadap Kitab Suci Komunitas Kristiani – Edisi Pastoral Katolik,” dalam http://www.mirifica.net/printPage.php?aid=409 [diakses 19 Maret 2008].
[26] Ibid.
[27] Marsunu, Op.Cit., h. 7. Pandangan ini biasanya dikenakan pada Kitab Yudit yang menceritakan bagaimana Yudit menyalah-gunakan kecantikannya untuk membunuh.
[28] Marsunu, Op.Cit., h. 8. Marsunu pun memaparkan beberapa contoh yang menunjukkan bagaimana PB mempergunakan Kitab-kitab Deuterokanonika; lihat Marsunu, Op.Cit,, h. 8-10.
[29] McGrath, Op.Cit., h. 182-183.

Minggu, 15 Juni 2008

PAHAM SOLA SCRIPTURA DAN DIALOG ANTAR-UMAT BERAGAMA

PADA 21 Januari 2008, dalam pertemuan keenam persiapan Sinode Kitab Suci yang akan diselenggarakan pada 5-26 Oktober 2008, Paus Benediktus XVI berkata:

“Di antara tugas-tugas Gereja yang semakin banyak dan berat belakangan ini, bagi saya yang terpenting adalah penginjilan dan ekumene. Karya penginjilan yang dilakukan Gereja diinspirasikan oleh firman Allah dan bertujuan untuk mewartakan kebaikan-Nya. Sementara itu, dialog ekumenis tidak mungkin didasarkan pada kebijaksanaan manusia, tetapi harus terus mengacu pada firman yang diberikan Allah dan Gereja-Nya untuk dibaca, ditafsirkan, dan dihidupi dalam persekutuan.”[1]

Pernyataan Paus Benediktus XVI tersebut tampaknya memuat suatu ketegasan tentang makna dan peranan penting Alkitab[2] dalam kehidupan Gereja. Alkitab yang diyakini sebagai firman Allah adalah hal yang sangat mendasar dalam pewartaan Injil Yesus Kristus dan juga ekumenisme. Ketika membuka Bible Expo yang digelar di Perpustakaan Don Bosco, Pontifical Selesian University, pada 29 Januari 2008, Uskup Agung Nikola Eteróvic, Sekretaris Jendral Sinode Kitab Suci 2008, menegaskan kembali makna dan peranan penting Alkitab itu: “Bagi seluruh umat Kristen, baik Katolik, Protestan, maupun Ortodoks, firman Allah merupakan hal yang sangat mendasar.” Oleh karena itu, lanjut Nikola Eteróvic, “Setiap orang semestinya menemukan kembali Kitab Suci sebagai firman yang hidup, di mana Tuhan mengarahkan kita dalam sejarah hidup kita, baik dalam kehidupan pribadi, komunitas, maupun sosial.”[3]

Pesan yang terkandung dalam pernyataan Paus Benediktus XVI dan Uskup Agung Nikola Eteróvic di atas seharusnya dapat diterima juga oleh orang-orang Protestan. Sebagaimana diketahui, dalam kalangan orang Protestan, Alkitab dipandang sebagai otoritas tertinggi dalam kehidupan gereja. Pandangan ini dipelihara dalam paham ‘sola scriptura’ (‘hanya Alkitab’) yang senyatanya berasal dari Bapak Reformasi, Martin Luther.

Makalah ini membahas paham sola Scriptura yang diperhadapkan dengan dialog agama. Tujuan kami adalah hendak menjawab pertanyaan berikut: apakah dengan paham sola Scriptura, orang-orang Protestan (yang menganut paham itu) dapat berdialog secara tulus dengan umat berkepercayaan lain?

Untuk mencapai tujuan tersebut, pada awal makalah kami terlebih dahulu memaparkan paham sola Scriptura dalam pemikiran Martin Luther. Setelah mengetahui hakikat paham sola Scriptura dari Bapak Reformasi tersebut, kami pun mengungkapkan beberapa praktik dari para penganut paham sola Scriptura, mulai dari para reformator gereja sendiri, terutama Yohanes Calvin, sampai kepada kaum Fundamentalis Kristen. Pada bagian akhir makalah ini, kami menyoroti praktik paham sola Scriptura dalam kaitannya dengan dialog antar-umat beragama. Di sini kami pun mempertanyakan apakah paham sola Scriptura yang menekankan Alkitab sebagai otoritas tertinggi dalam kehidupan umat Kristen masih relevan pada konteks zaman yang berubah sekarang ini?

I. PAHAM SOLA SCRIPTURA DALAM PEMIKIRAN MARTIN LUTHER

William Chillingworth, seorang Protestan dari Inggris pada abad XVII, berseru: “Alkitab, dan aku katakan, hanya Alkitab, adalah agama dari orang-orang Protestan.”[4] Kata-kata Chillingworth pada dasarnya meringkaskan sikap Reformasi terhadap Alkitab. Tidak dapat disangkal, permulaan Reformasi berhubungan erat dengan paham Kitab Suci sebagai sumber satu-satunya yang berwibawa bagi ajaran iman Kristiani.

Martin Luther (1483-1546) tentu saja menyatakan hal itu dengan kuat. Dalam perdebatannya dengan Johann Eck di Leipzig (1519), ia menegaskan bahwa Alkitab saja yang perlu diikuti:
“It is not in the power of the Roman pontiff or of the Inquisition to construct new articles of faith. No believing Christian can be coerced beyond holy writ. By divine law we are forbidden to believe anything which is not established by divine Scripture or manifest revelation.”[5]

Tiga tahun kemudian, yakni dalam Sidang Umum Kekaisaran di Worms pada 15 April 1521, Luther mengatakan: "Unless authority of popes and councils, for they have contradicted each other – my conscience is captive to the Word of God. I cannot and I will not recant anything, for to go against conscience is neither right nor safe. God help me. Amen."[6]

Luther menempatkan Alkitab sebagai otoritas tertinggi di antara warisan-warisan tradisi Gereja lainnya. Sekalipun demikian ia tetap menghargai tulisan-tulisan Bapa-bapa Gereja sejauh itu menyampaikan dan mengajarkan firman Allah sebagaimana tertulis dalam Alkitab. Dalam Seruan kepada Pemimpin-pemimpin Jerman (1520) ia menyampaikan:

“Tulisan-tulisan dari semua bapa suci hendaknya dibaca hanya untuk sementara waktu agar melalui tulisan-tulisan itu kita dapat dibimbing kepada Kitab Suci. Namun ternyata, kita membacanya dan larut di dalamnya tanpa pernah datang kepada Kitab Suci. Kita seperti orang yang mempelajari rambu-rambu dan tidak pernah menempuh jalan itu sendiri. Bapa-bapa yang terkasih itu, melalui tulisan-tulisan mereka, ingin menuntun kita kepada Kitab Suci.”[7]

Sampai di sini, muncul satu pertanyaan: mengapa Luther menempatkan Alkitab sebagai otoritas tertinggi dalam kehidupan umat Kristiani? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita dapat memperhatikan pernyataan Luther ini: “Aku tidak melihat apa pun dalam Kitab Suci selain Kristus yang disalibkan.”[8] Dari pernyataan ini kita dapat menyimpulkan bahwa alasan Luther menempatkan Alkitab sebagai otoritas tertinggi adalah karena Alkitab menyampaikan dan mengajarkan Firman Allah, yakni Yesus Kristus, yang telah berkarya bagi keselamatan dunia. Dalam Pengantar kepada Perjanjian Baru, Luther menyatakan ini secara jelas: “Maka Injil tidak lain daripada pemberitaan tentang Kristus, Anak Allah dan Anak Daud, Allah sejati dan manusia sejati, yang oleh kematian dan kebangkitan-Nya telah mengatasi semua dosa manusia dan maut serta neraka, bagi kita yang percaya kepada Dia.”[9]

Pada kenyataannya pandangan Luther tentang kewibawaan Alkitab bukanlah hal yang baru. Pada Augustinus (354-430), kita pun menemukan pandangan semacam itu. Perjumpaannya dengan Sang Firman, yakni Kristus dalam Alkitab, mendorong Augustinus untuk percaya bahwa Alkitab memiliki kewibawaan yang tinggi. Kewibawaan tinggi Alkitab itu menunjuk pada makna dan peranan Alkitab yang berdaya sapa mengantar orang (pembaca) kepada Allah. Tulis Augustinus:

“Kami tanpa daya dalam usaha menemukan kebenaran melalui penalaran yang hening, sehingga memerlukan kewibawaan tulisan-tulisan suci itu. Maka aku sudah mulai percaya bahwa kepada Kitab itu sekali-kali tidak bakal Kauberikan wibawa sebesar itu di seantero bumi, seandainya bukanlah kehendak-Mu supaya karena Kitab itu orang percaya pada-Mu, maupun supaya melaluinya orang mencari-Mu.”[10]

Pandangan Luther tentang Alkitab sebagai otoritas tertinggi dalam kehidupan Gereja menjadi sangat mencuat pada zamannya lantaran berlangsung praktik-praktik yang bertentangan dengan pengajaran alkitabiah, seperti dilakukan para pemimpin Gereja (termasuk paus). Eddy Kristiyanto mencatat kebobrokan yang terjadi pada konteks zaman Luther itu sebagai berikut:

“Selain itu, Paus Alexander VI (alias Rodriguez de Borza y Borja: 1492-1503) suka mengoleksi emas dan perempuan. Dari sejumlah wanita lahirlah tujuh anak (sewaktu ia masih imam dan kardinal). Selama ia menjadi paus, beberapa wanita yang tidur dengannya melahirkan 2 (dua) anak: Yohanes dan Rodriguez, yang lahir pada hari-hari terakhir sebelum Alexander wafat, atau malahan setelah ia wafat […]. Di Vatikan berembus udara yang seluruhnya berbau maksiat dan mesum, dansa, alkohol, mabuk dan pesta pora yang tidak berkesudahan serta mencairkan belenggu-belenggu ikatan moral. Paus Yulius II (1503-1513) tidak luput dari noda hitam berkenaan dengan tingkah lakunya. Leo X, pelindung para artis, secara pribadi tidak mempunyai sikap tanggung jawab, tak berminat pada masalah-masalah kerohanian-keagamaan. Dekadensi moral di Kuria Roma merupakan salah satu tragedi sejarah kepausan.

Tentu saja, borok dan kebusukan para pemimpin Gereja tidak dapat disangkal. Situasi semacam ini de facto menyuburkan sikap berontak terhadap lembaga Gereja yang dipimpin orang-orang yang tidak becus dan bermoral bejat. Perlu diingat, dekadensi moral di Jerman kurang lebih atau mungkin lebih berat daripada di Italia. […] Sementara itu, banyak di antara imam-imam kelas tinggi, seperti uskup dan pembantu terdekatnya, hidup dalam semangat duniawi semata-mata. Mereka ini gemar mengumpulkan harta kekayaan dan sangat jarang merayakan Ekaristi. Mereka juga melewatkan waktu dengan berburu dan bersenang-senang. Contoh yang sangat jelas diperlihatkan oleh gaya hidup Uskup Köln, Hermann von Wied. Dalam seluruh hidupnya (sebagai uskup) ia hanya merayakan Ekaristi sebanyak 3 (tiga) kali saja.

[…] Kemerosotan juga terlihat sangat jelas di biara-biara para rubiah atau suster, di mana para keluarga bangsawan mendesak putra-putri mereka untuk masuk biara; lalu menyertai mereka dengan pembantu-pembantunya. Beredar pula pendapat, bahwa percabulan dan ‘praktik riba’ kecil-kecilan tidak dipandang sebagai dosa.”[11]

Dengan mempertimbangkan konteks zaman Luther (abad XIV-XV) itu, maka tidaklah mengherankan apabila Luther berbicara lantang tentang Alkitab sebagai otoritas tertinggi dalam kehidupan umat Kristiani. Dalam hal ini, melalui program reformasinya, Luther sama sekali tidak bermaksud memisahkan diri dari Gereja Katolik Roma. Seperti dikatakan sejarawan Inggris John Emerich Edward Dalberg Acton (1834-1902), melalui Reformasi, massa Kristiani ingin memperbaiki kualitas (hidup) para imam.[12] Sayang, pada perkembangan kemudian program reformasi itu betul-betul menjadi sebuah skisma gereja.

II. PAHAM SOLA SCRIPTURA DALAM PRAKTIK

Pada masa Reformasi penerapan praktis paham sola Scriptura tampaknya beragam. Luther dan juga Ulrich Zwingli (1484-1531), Martin Bucer (1491-1551), Heinrich Bullinger (1504-1575), serta Johanes Calvin (1509-1564), pada kenyataannya tidak mengabaikan tradisi gereja kuno sebagai salah satu alat untuk menafsirkan Alkitab. Namun, para reformator radikal, sama sekali menolak tradisi gereja kuno. Sebastian Franck (1499-1542), misalnya, adalah seorang reformator radikal yang menekankan bahwa setiap orang Kristen cukup dilengkapi oleh Roh Kudus untuk membaca Alkitab sendiri, sehingga tidak diperlukan lagi bimbingan dari para bapa gereja. Pada gilirannya kalangan Kristen radikal ini menolak baptisan anak, karena menurut mereka hal ini tidak ditemukan dalam Alkitab tetapi muncul pada zaman gereja kuno. Demikian juga beberapa di antara mereka bahkan menolak doktrin trinitas dan kristologis karena kedua itu hanyalah rumusan para bapa gereja belaka.[13]

Untuk mencegah bahaya subjektivisme dan anarkhisme dalam upaya penafsiran Alkitab – bahwa setiap orang percaya dapat mendaku tafsirannya adalah benar karena diilhami oleh Roh Kudus, maka Johanes Calvin, yang termasuk angkatan kedua Reformasi, seperti Luther, menegaskan bahwa Kristuslah kunci untuk membaca Alkitab. Pemusatan perhatian pada Kristus, berbeda dengan Luther, tidak membawa Calvin pada penyempitan pemahaman tentang Alkitab secara keseluruhan, melainkan justru mendorongnya untuk mencari kesaksian tentang karya Allah dalam Yesus Kristus di setiap bagian Alkitab. Bagi Calvin, tidak mungkin ada bagian Alkitab yang tidak bermakna sebagai kesaksian Kristus bagi kehidupan Kristiani. Orang dapat memperoleh makna di setiap bagian Alkitab itu hanya apabila ia membaca Alkitab secara benar, yakni dengan memakai alat-alat ilmiah yang tersedia dan juga ajaran iman. Pada gilirannya Calvin menunjuk karyanya, Institutio, sebagai alat untuk memahami Alkitab sehingga orang sampai pada makna yang tepat dan bermanfaat bagi kehidupannya. Dalam prakata edisi Prancis 1541, ia menuliskan bahwa Institutio adalah kunci dan pintu masuk untuk memahami Kitab Suci dengan tepat.[14]

Lalu, apa peranan Roh Kudus? Calvin menjawab, peranan Roh Kudus yang dijanjikan Kristus itu “bukanlah memikirkan penyataan-penyataan baru yang belum didengar orang, atau menempa suatu jenis ajaran baru untuk menjauhkan kita dari ajaran Injil yang telah kita terima. Sebaliknya, tugas-Nya ialah memeteraikan di dalam hati kita ajaran yang dianugerahkan kepada kita dalam Kitab Injil itu.”[15] Jadi, Calvin tampaknya mengemukakan ajaran pengilhaman rangkap oleh Roh Kudus, yaitu dalam Alkitab sendiri, dan secara tersembunyi dalam hati orang percaya yang membaca Alkitab. Dengan demikian, ia berhasil mempertahankan pada satu pihak bahwa Alkitab adalah dokumen dengan wewenang ilahi karena memuat firman Allah, dan pada pihak lain bahwa Alkitab adalah karya manusia yang mempergunakan bahasa dan cara berpikir manusiawi.[16]

Pada perkembangan kemudian, para pengikut Calvin sulit mempertahankan dialektika antara Alkitab sebagai diktat Roh Kudus, dan buku yang ditulis oleh manusia. Mereka lantas membekukan ajaran pengilhaman rangkap Calvin itu menjadi ajaran mengenai pengilhaman harfiah. Selain itu, mereka pun mulai mengaitkan paham ketidakkeliruan (inerrentia) Alkitab, yang oleh Calvin dikaitkan dengan ajaran, gagasan-gagasan mengenai Alkitab, janji-janji yang dikemukakan – singkat kata: isi Alkitab, dengan teks Alkitab itu sendiri. Puncak perkembangan ini adalah Formula consensus ecclesiarum Helveticarum, “Rumusan kesepakatan gereja-gereja Swis” (1675), yang menetapkan bahwa titik-titik yang dipakai untuk menandai huruf-huruf hidup dalam bahasa Ibrani Perjanjian Lama, adalah diilhamkan oleh Roh Kudus dan tidak mungkin keliru.[17]

Paham sola Scriptura yang kemudian mewujud rupa dalam rumusan kesepakatan gereja seperti di atas pada gilirannya membuahkan praktik yang menghambat penelitian Alkitab secara ilmiah-modern. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila teologi ortodoks (Protestan) pada abad ke-19, bahkan sampai sekarang, tetap menolak kritisisme alkitabiah, sebab dengan itu Alkitab dianggap kurang dihormati sebagai dokumen kebenaran Allah yang abadi, melainkan hanya sebagai dokumen-dokumen kesaksian manusia tentang kebenaran Allah dalam konteks kebudayaan tertentu.

Penolakan terhadap kritisisme alkitabiah kian mencuat dalam gerakan teologis di tubuh gereja-gereja Kristen evangelikal yang muncul pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, dan berkembang sesudah Perang Dunia I, secara khusus di Amerika Serikat. Ada indikasi kuat gerakan teologis yang kemudian dikenal sebagai “Fundamentalisme”[18] ini muncul sebagai salah satu reaksi atas: teori evolusi Charles Darwin yang dianggap tidak kompatibel dengan Kitab Kejadian 1-3; kritisisme alkitabiah yang dirintis para modernis-liberal; dan serangkaian konferensi Alkitab orang Protestan Konservatif yang berlangsung di berbagai tempat di Amerika Utara.[19]

Martin Harun mengungkapkan bahwa aliran teologis abad ke-19 (dispensasionalisme dan Princeton-oriented Calvinism) beberapa lama bergabung bersama dalam perjuangan melawan Modernisme, dengan bersandar secara mutlak pada otoritas Alkitab. Gabungan inilah yang menghasilkan pandangan dan keyakinan terpenting Fundamentalisme abad ke-20. Pokok-pokok ajaran yang diusung kaum Fundamentalis adalah sebagai berikut:[20]

1. Inspirasi verbal: Para pengarang kitab-kitab suci dianggap menerima firman Allah melalui ilham yang langsung. Lepas dari pengaruh manusiawi yang selalu terbatas dan tidak sempurna, entah itu pengaruh dari pengarang sendiri atau dari umat atau dari keadaan zaman, para pengarang – menurut pandangan fundamentalistik – menerima perkataan-perkataan langsung dari Allah dan menuliskannya demikian dalam Alkitab.

2. Inerrentia, tanpa kesalahan: Karena kata-kata Allah dikomunikasikan tanpa adanya pengaruh manusia, maka isi Alkitab diterima sebagai terjamin benar, benar untuk segala zaman. Dipandang tak mungkin ada kekeliruan apa pun masuk, juga tidak dalam hal data-data sejarah atau gambaran dunia. Apabila muncul perbedaan antara pandangan Alkitab dan hasil ilmu modern, Fundamentalisme berdiri teguh di pihak Alkitab: entah akan menolak hasil ilmu modern, entah akan berusaha keras untuk menunjukkkan bahwa Alkitab dan ilmu dalam hal tersebut sesungghnya cocok satu sama lain (konkordisme).

3. Otoritas Alkitab: Inspirasi verbal dan inerrentia tersebut merupakan dasar untuk wibawa mutlak Alkitab. Karena melalui pengarang Alkitab, kebenaran kekal dikomunikasikan tanpa adanya kemungkinan masuknya kesalahan, maka Alkitab bukan saja otoritas tertinggi, tetapi bahkan satu-satunya otoritas yang sungguh-sungguh dapat diandalkan dan mesti dipegang oleh umat sepanjang zaman.

4. Tak ada tempat untuk otoritas gereja: Karena adanya Alkitab yang berwibawa mutlak dan benar untuk selama-lamanya, maka tidak diperlukan interpretasi ataupun wibawa Gereja. Institusi Gereja dengan kuasa mengajarnya justru dinilai rendah sebagai unsur manusiawi yang cenderung keliru.

5. Dispensasionalisme: Banyak pengkhotbah fundamentalis tetap menyukai nubuat-nubuat apokaliptuk, baik dari Perjanjian Lama maupun dari Perjanjian Baru. Lewat interpretasi yang disebut harfiah mereka meneruskan ajaran tentang masa-masa sejarah seperti yang sudah disimpulkan dari nubuat-nubuat itu oleh para dispensasionalis abad sebelumnya. […] Mereka memanfaatkan segala gempa bumi, peperangan, dan kelaparan yang terjadi untuk menghangatkan keyakinan bahwa akhir zaman ini tidak jauh lagi.

Pada kenyataannya di Indonesia Fundamentalisme alkitabiah Kristen berkembang pesat. Sebagai contoh, Stanley Health, yang pada 1961 mengajar di Institut Teologi Bandung (ITB) dan pada 1966 menjadi pendiri Institut Alkitab Tiranus di Bandung, menyatakan bahwa Alkitab bersikap positif terhadap kegiatan ilmiah, “Alkitab memberikan keterangan tentang alam semesta […] karena seluruh isi Alkitab adalah benar.”[21] Lantas ia menjadikan Alkitab sebagai tolok ukur setiap teori ilmiah. Ini adalah sikap kreasionisme ilmiah.

Demikian juga Daniel Lucas Lukito, rektor Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang, adalah seorang yang moderat, tetapi pandangannya terhadap Alkitab memperlihatkan sikap fundamentalistik.[22] Menurut Daniel Lukito, inerrancy Alkitab tidak merupakan sebuah kepercayaan yang bersifat empirik. Inerrancy bukan saja sebuah metode induksi, melainkan juga deduksi. Maka, tak terhindarkan ada seleksi dalam membaca teks Alkitab. Tentang hal ini, Gerrit Singgih menegaskan:

“Prinsip inerrancy sebenarnya adalah seleksi! Teks yang sesuai dengan doktrin diterima sedangkan yang tidak, diabaikan. Proses mengabaikan teks yang tidak sesuai dengan doktrin tidak dirasakan oleh pembaca fundamentalis oleh karena mereka berangkat dari asumsi bahwa mereka ‘Alkitabiah’ dalam arti yakin sudah membaca keseluruhan Alkitab. Tetapi sebenarnya hal ini hanya asumsi saja. Yang dikuasai sebenarnya hanya satu set ayat-ayat Alkitab yang sesuai dengan doktrin, dan itulah yang dianggap sebagai mewakili seluruh Alkitab. Jadi, kalau dikatakan bahwa kalangan fundamentalis membaca Alkitab secara harfiah, sebenarnya hal itu berarti bahwa teks-teks yang bersesuaian dengan doktrin, itulah yang bermakna harfiah, sedangkan yang lain mungkin tidak akan dibaca demikian, dalam arti mungkin bermakna alegorik atau metaforik.”[23]

III. MASIH RELEVANKAH PAHAM SOLA SCRIPTURA DALAM KONTEKS DIALOG ANTAR-UMAT BERAGAMA?

Pada gilirannya praktik paham sola Scriptura sebagaimana dipaparkan terakhir di atas, jika diperhadapkan dengan realitas konteks masyarakat yang multi-agama, akan menghadapi persoalan yang cukup mendasar. Sebagai contoh, demi paham sola Scriptura yang dianutnya, Togardo Siburian, pengajar tetap Sekolah Tinggi Teologi (STT) Bandung – sama seperti SAAT Malang, sekolah ini mencetak banyak pendeta untuk gereja-gereja Kristen evangelikal (termasuk Reformed Injili) di Indonesia, menegaskan bahwa penyataan khusus Allah yang bersifat penyelamatan dikenal secara sempurna hanya dalam Alkitab bagi orang-orang pilihan-Nya. Kitab-kitab suci agama lain sama sekali tidak mengantar umat-Nya kepada keselamatan Allah. Togardo Siburian menuliskan:

“[D]alam penyataan umum Allah, manusia tidak dapat mengalami keselamatan, karena penyataan itu tidak bersifat penyelamatan, hanya pemberitahuan bahwa Allah Mahakasih kepada semua ciptaan-Nya, lagi pula dalam wadah-wadah umum saja. Dengan demikian kemungkinan Allah dapat dikenal secara sempurna (termasuk penyelamatan) hanyalah melalui corak wahyu khusus. Allah mewahyukan diri-Nya secara khusus melalui inskripturasi dalam teks-teks Alkitab demi penyelamatan orang-orang pilihan-Nya. Namun dalam kitab-kitab suci lain, Allah dapat saja menyatakan diri-Nya secara umum (dengan kebenaran-kebenaran umum manusia) dan tidak menyelamatkan pemeluk-Nya, meskipun mereka mencoba mengerti dan menyembah Allah, karena cara satu-satunya yang dipakai Allah adalah melalui Alkitab saja.”[24]

Kita dapat membayangkan bagaimana perasaan umat berkepercayaan lain jika membaca pernyataan Togardo Siburian di atas. Kami sendiri jadi teringat akan cerita yang disampaikan Wesley Ariarajah. Ariarajah menuliskan, dalam majalah bulanan Letter on Evangelism (1982), seorang pembaca dari India mengingat akan peristiwa berikut ini:

“Pada suatu ketika, seorang pemimpin aliran Gandhi datang ke Kohima, dan kami sempat berakrab-akrab bersama. Ketika kami duduk bersama-sama, ia mulai membicarakan masalah-masalah agama dengan saya: ‘Ada beberapa orang Kristen ekstrim mengatakan bahwa orang hanya dapat diselamatkan melalui Kristus saja dan tidak ada jalan lain. Bagaimana pendapat Anda?’ ‘Itulah yang saya percaya,’ jawab saya. ‘Ada berjuta-juta dan berjuta-juta orang di dunia yang beragama lain. Bagaimana nasib mereka?,’ ia segera bertanya. ‘Menurut Alkitab, mereka yang tidak percaya kepada Kristus akan binasa,’ saya menjawab. Ia pergi dengan marah.

Keyakinan saya ialah, suka atau tidak suka, kita tidak dapat mengompromikan kebenaran.”[25]

Menurut Ariarajah, cerita tersebut bukanlah sesuatu yang aneh. Cerita itu sebenarnya menggambarkan sikap berjuta-juta orang Kristen di Asia dan di tempat-tempat lain terhadap orang-orang yang berkepercayaan lain. Di dalam cerita itu, pihak Kristen menunjukkan sikap tidak toleran yang kelihatannya hampir-hampir bertentangan dengan pribadinya: “Suka tidak suka,” katanya, “kita tidak dapat mengompromikan kebenaran.” Lalu, apakah kebenaran yang dimaksud? Tidak lain itu adalah apa yang dinyatakan dalam Alkitab. “Menurut Alkitab, mereka yang tidak percaya kepada Kristus akan binasa.” Orang itu tidak senang jika orang-orang berkepercayaaan lain binasa, tetapi sebagai orang Kristen ia harus menerima vonis Alkitab itu.[26]

Dengan kritis, kita seharusnya dapat mengajukan pertanyaan kepada orang Kristen dalam cerita tersebut demikian: apakah memang berita Alkitab itu tidak mengenal kompromi di dalam tuntutannya bahwa seseorang harus percaya dan menerima Yesus Kristus agar ia memperoleh keselamatan? Kalau jawabannya: ya, maka sungguh ini merupakan hal yang ironis bagi kita yang hidup di tengah masyarakat yang multi-agama. Bagaimana pun, seperti ditegaskan pula oleh Ariarajah (dan banyak teolog lainnya), inti Alkitab adalah penegasan tentang relasi kasih antara Allah dan dunia.

“Di dalam Alkitab, ada penegasan bahwa Allah adalah kasih. Sebagai pernyataan tentang hakikat dari realitas akhir, atau sebagai penjelasan tentang bagaimana Allah itu, penegasan semacam itu mungkin akan menimbulkan sedikit saja perdebatan. Namun, Alkitab tidak berhenti dengan menegaskan bahwa Allah adalah kasih. Sesungguhnya Injil menceritakan kisah-kisah tentang apakah artinya mengasihi itu. Itulah Kabar Baik itu. Injil mengungkapkan hakikat kasih Allah. Ia mengungkapkan apakah arti yang sebenarnya itu bagi Allah, dalam arti hubngan Allah dengan dunia.”[27]

Kalau jawaban atas pertanyaan di atas: tidak, maka pertanyaan lanjutannya adalah sebagai berikut: jadi sebenarnya ungkapan ‘menurut Alkitab’ itu tepatnya bagaimana? Apakah sebaiknya ungkapan itu diganti saja menjadi ‘menurut tafsiranku atas Alkitab’? Nah, sampai di sini, kita sudah mencium aroma masakan dari ajaran tertentu tentang keselamatan (soteriologi) yang disodorkan dengan piring berupa Alkitab. Yang akhirnya menjadi makanan adalah ajaran tertentu tentang keselamatan, dan sama sekali bukan berita Alkitab tentang keselamatan. Pada titik inilah paham sola Scriptura patut dipertanyakan signifikansi dan relevansinya bagi kehidupan kita dalam konteks masyarakat yang multi-agama.

Dengan menekankan Alkitab sebagai otoritas tertinggi dalam kehidupan gereja, maka dua hal yang mungkin terjadi, yaitu: (1) umat pada hakikatnya mempersempit penyataan atau wahyu atau karya Allah sebatas di dalam Alkitab saja; padahal bagaimana pun karya Allah itu maha luas dan tak terjangkau akal pikiran manusia; dan (2) umat pada gilirannya tidak dapat berdialog secara tulus dengan orang-orang berkepercayaan lain; padahal bagaimana pun dialog antar-agama, selain merupakan suatu bagian hidup yang tak terelakkan sekarang ini, juga adalah perwujudan dari sikap kasih terhadap orang lain demi karya penginjilan yang mewartakan kebaikan-Nya.

Hendri M. Sendjaja

KEPUSTAKAAN
Ariarajah, Wesley. 2003. Alkitab dan Orang-orang yang Berkepercayaan Lain, terj. Eka Darmaputera (Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Augustinus. 2005. Pengakuan-pengakuan, terj. Winarsih Arifin & Th. van den End. Yogyakarta: Kanisius; Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Bainton, Roland H. 1950. Here I Stand: A Life of Martin Luther. New York: Abingdon-Cokesbury Press.

Calvin, Yohanes. 2000. Institutio: Pengajaran Agama Kristen, terj. Winarsih, dkk. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Heath, W. Stanley. 1999. Sains, Iman dan Teknologi – Manakah yang Benar: Firman Allah ataukah Sains Modern?. Yogyakarta: Yayasan Andi, 1999.

de Jonge, Christiaan. 1995. “Sola Scriptura: Alkitab pada Zaman Reformasi, Terutama dalam Teologi Calvin,” dalam Ioanes Rakhmat (ed.), Mendidik dengan Alkitab dan Nalar: Kumpulan Karangan dalam rangka Penghormatan kepada Pdt. Prof. Richard W. Haskin. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Kristiyanto, Eddy. 2004. Reformasi dari Dalam: Sejarah Gereja Zaman Modern. Yogyakarta: Kanisius.

_______. 2005. “Fundamentalisme, Kekerasan, dan Keselamatan,” dalam Sinar Sabda dalam Prisma: Hermeneutika Kontekstual. Yogyakarta: Kanisius.

McGrath, Alister E. 1997. Sejarah Pemikiran Reformasi, terj. Liem Sien Kie. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Siburian, Togardo. 2004. Kerangka Teologi Religionum Misioner: Pendekatan Injili tentang Hubungan Kekristenan dengan Agama-agama Lain. Bandung: Penerbit Sekolah Tinggi Teologia Bandung.

Singgih, Gerrit, 2004. “Fundamentalisme dalam Agama Kristen: Perspektif Sejarah,” dalam Memahami Wajah Para Pembela Tuhan. Yogyakarta: Dian/Interfidei.

Tjen, Anwar. 1994. “Kewibawaan Alkitab dari Sudut Pandang Seorang Lutheran,” dalam Forum Biblika, No. 4, April.

Wacana Biblika, Vol. 8, No. 2, April-Juni, 2008.

CATATAN AKHIR

[1] Wacana Biblika, Vol. 8, No. 2, April-Juni, 2008, h. 96.
[2] Dalam makalah ini, istilah ‘Alkitab’ dan ‘Kitab Suci’ merupakan dua istilah yang diartikan sama.
[3] Wacana Biblika, Vol. 8, No. 2, April-Juni, 2008, h. 93.
[4] Alister E. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, terj. Liem Sien Kie (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), h. 181.
[5] Roland H. Bainton, Here I Stand: A Life of Martin Luther (New York: Abingdon-Cokesbury Press, 1950), h. 116.
[6] Ibid., h. 185.
[7] Sebagaimana dikutip: Anwar Tjen, “Kewibawaan Alkitab dari Sudut Pandang Seorang Lutheran,” dalam Forum Biblika, No. 4, April, 1994, h. 53.
[8] Ibid., h. 55.
[9] Ibid., h. 55.
[10] Augustinus, Pengakuan-pengakuan, terj. Winarsih Arifin & Th. van den End (Yogyakarta: Kanisius; Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), h. 158.
[11] Eddy Kristiyanto, Reformasi dari Dalam: Sejarah Gereja Zaman Modern (Yogyakarta: Kanisius, 2004), h. 44-45.
[12] Kristiyanto, Op.Cit., h. 48.
[13] Christiaan de Jonge, “Sola Scriptura: Alkitab pada Zaman Reformasi, Terutama dalam Teologi Calvin,” dalam Ioanes Rakhmat (ed.), Mendidik dengan Alkitab dan Nalar: Kumpulan Karangan dalam rangka Penghormatan kepada Pdt. Prof. Richard W. Haskin (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), h. 185-186.
[14] Ibid., 189.
[15] Yohanes Calvin, Institutio: Pengajaran Agama Kristen, terj. Winarsih, dkk. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), h. 28.
[16] C. de Jonge, Op.Cit., h. 190.
[17] C. de Jonge, Ibid.
[18] Kata ‘fundamentalisme’ berasal dari serangkaian traktat dari Lyman dan Milton yang berjudul The Fundamentals: A Testimony to the Truth, 10 jilid (Chicago: Testimony Publishing Co., 1910-1915). Traktat itu dimaksudkan untuk membela dan mempertahankan prinsip-prinsip fundamental Kristen. Traktat inilah yang menginspirasikan nama gerakan, tetapi istilah ‘fundamentalisme’ diciptakan oleh editor surat kabar Baptis, Curtis Lee Laws, pada 1920. Berdasarkan: Eddy Kristiyanto, “Fundamentalisme, Kekerasan, dan Keselamatan,” dalam Sinar Sabda dalam Prisma: Hermeneutika Kontekstual (Yogyakarta: Kanisius, 2005), h. 164-165.
[19] Kristiyanto, Ibid., h. 160.
[20] Martin Harun, Menghadapi Fundamentalisme Biblis (Jakarta: Penerbit OBOR, 1996), h. 16-19; sebagaimana dikutip: Kristiyanto, Ibid., h. 162-164.
[21] W. Stanley Heath, Sains, Iman dan Teknologi – Manakah yang Benar: Firman Allah ataukah Sains Modern? (Yogyakarta: Yayasan Andi, 1999), h. 23.
[22] Berdasarkan uraian Gerrit Singgih, “Fundamentalisme dalam Agama Kristen: Perspektif Sejarah,” dalam Memahami Wajah Para Pembela Tuhan (Yogyakarta: Dian/Interfidei, 2004), h. 97.
[23] Gerrit Singgih, Ibid., h. 97-98.
[24] Togardo Siburian, Kerangka Teologi Religionum Misioner: Pendekatan Injili tentang Hubungan Kekristenan dengan Agama-agama Lain (Bandung: Penerbit Sekolah Tinggi Teologia Bandung, 2004), h. 105.
[25] Wesley Ariarajah, Alkitab dan Orang-orang yang Berkepercayaan Lain, terj. Eka Darmaputera (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), h. 40.
[26] Ariarajah, Ibid., h. 41.
[27] Ibid., h. 43.

Rabu, 04 Juni 2008

KRISTOLOGI PERSAHABATAN DALAM KONTEKS MASYARAKAT PLURAL INDONESIA

SELAMA semester genap 2007-2008, perkuliahan Kristologi Kontekstual mengarahkan mahasiswa/i Program Pascasarjana Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma untuk menggali pemahaman dan penghayatan mengenai Yesus Kristus dalam konteks kehidupan masyarakat sekarang ini. Perkuliahan ini memakai metode seminar dengan kelompok-kelompok mahasiswa/i sebagai penyajinya, dan juga metode studi kasus dengan dua pokok diskusi: film Eve and the Fire Horse, dan praktik teologi inkulturasi di Paroki St. Maria Lourdes, Sumber, Muntilan.

Dari sepuluh buku acuan yang dibahas kelompok-kelompok seminar Kristologi Kontekstual, saya tertarik untuk menghayati lebih lanjut buku Robert Cummings Neville, Symbols of Jesus: A Christology of Symbolic Engagement, secara khusus bab keenamnya, yakni tentang “Yesus sebagai Sahabat” (Jesus as Friend).[1] Sebagaimana dipaparkan dalam makalah Kelompok V,[2] titik tolak Neville dalam pembahasan Jesus as Friend adalah pengalaman religius yang dipahaminya sebagai suatu pengalaman relasional antara seorang individu manusia, yang melibatkan perasaan, pikiran dan tindakan, dengan Yang Ilahi. Umat Kristiani memiliki pengalaman relasional itu dalam persahabatan mereka dengan Yesus Kristus. Dengan perkataan lain, persahabatan dengan Kristus, bagi umat Kristiani, merupakan persahabatan dengan Sang Mahalain, Allah sendiri.

Dalam analisis Larry W. Hurtado, pengalaman religius yang bertitik tolak pada pengalaman relasional dengan Kristus memang terjadi pada para pengikut Yesus mula-mula. Pengalaman religius itu pada gilirannya menciptakan sebuah “mutasi” atau bentuk varian monoteisme eksklusif Yahudi, yakni: ‘monoteisme binitarian’. Hurtado menunjukkan bahwa pengalaman religius para pengikut Yesus, secara khusus setelah peristiwa penyaliban Yesus, pada gilirannya membentuk devosi kepada Kristus.[3]

Makalah yang disajikan dalam rangka tugas akhir perkuliahan Kristologi Kontekstual ini hendak menunjukkan suatu Kristologi kontekstual yang bertitik tolak dari pengalaman relasional dengan Yesus Kristus yang diimani sebagai Sang Mahalain (The Wholly Other), dan dengan setiap pribadi manusia yang dijumpai sebagai sang lain (the other). Untuk maksud tersebut, pada bagian awal tulisan ini saya memaparkan konteks ber-Kristologi, yakni masyarakat plural Indonesia. Di sini saya sengaja tidak menyajikan data-data tentang pluralitas masyarakat Indonesia, melainkan mengisahkan kembali krisis yang terjadi dalam masyarakat plural Indonesia. Tujuannya adalah agar konteks masyarakat plural di Indonesia semakin terhayati melalui paparan konkret krisis yang terjadi di dalamnya. Pada bagian berikutnya saya menaruh perhatian pada persoalan relasi antara ‘aku’ dan ‘sang lain’. Akhirnya, saya memaparkan ‘Kristologi Persahabatan’ sebagai sebuah refleksi.

I. MASYARAKAT PLURAL INDONESIA: DALAM KRISIS?

Tanggal 13-15 Mei 2008 ini genap sepuluh tahun terjadinya aksi-aksi anarkis yang merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Ketika itu, sepuluh tahun yang lalu, saya sedang menjalani studi teologi di STT Jakarta. Saya menyaksikan sendiri bagaimana kota Jakarta lumpuh total oleh kerusuhan massal yang destruktif. Di sana sini kepulan asap hitam yang berasal dari pembakaran kendaraan-kendaraan dan toko-toko membumbung tinggi ke langit Jakarta. Situasi benar-benar khaos. Yang saya saksikan pada waktu itu adalah aksi-aksi penjarahan dan pembakaran. Pasar swalayan Hero yang terletak beberapa puluh meter dari kampus kami hancur berantakan karena dijarah. Sekarang ini saya mengetahui, dari data yang saya peroleh, ternyata aksi-aksi anarkis yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya itu telah menghancurkan: 13 pasar, 2.479 ruko, 40 mal, 1.604 toko, 45 bengkel, 387 kantor, 9 SPBU, 8 bis dan puluhan angkutan umum lainnya, 1.119 mobil, 821 sepeda motor, dan 1.026 rumah tinggal.[4]

Sungguh, saya tidak menyadari bahwa pada hari-hari itu berlangsung juga aksi-aksi brutal dan biadab terhadap orang-orang Tionghoa. Padahal saya adalah orang ‘suci’ alias orang Sunda-Cina; jadi masih dapat dikatakan: orang Tionghoa. Mungkin karena bergabung dengan pra mahasiswa/i pro-reformasi, maka saya jadi aman-aman saja. Setelah beberapa hari, saya menyadari, banyak orang Tionghoa di Jakarta dan sekitarnya menjadi korban dalam kekacauan itu. Mereka mengalami tindak kekerasan berupa penganiayaan, pemerkosaan, penjarahan, dan pembunuhan. Tindakan-tindakan destruktif brutal dan biadab itu tentu saja merupakan pengkhianatan pada realitas masyarakat plural Indonesia. Sebagai warga negara yang sah, orang-orang Tionghoa tampaknya masih menjadi kambing hitam yang dikorbankan.[5] Di bawah ini, untuk mengenang dan menyelami kembali tragedi kemanusiaan ini, saya menuliskan catatan Ivan Wibowo pada D&R, 20 Juni 1998:

“Kerusuhan besar melanda Jakarta. 14 mei. Korban begitu besar. Begitu banyak WNI keturunan Cina yang merasa tidak aman di negeri dan tanah airnya sendiri, memilih tempat lebih aman di negeri orang. Di antaranya terdapat sebuah keluarga yang menunggu pesawat terbang di Bandara Soekarno-Hatta, menangis dan berteriak-teriak histeris tanpa henti, “Pribumi biadab!”

Rupanya mereka bertempat tinggal di perumahan mewah Pantai Indah Kapuk. Rumah mereka, beserta seluruh tetangga yang lain, dirampok habis-habisan. Lebih dari itu, ibu dan anak gadis keluarga itu diperkosa ramai-ramai oleh para penjarah. Demikian pengakuan mereka kepada orang yang ada di sekelilingnya. Sang ibu kemudian membuka bajunya untuk memperlihatkan buah dadanya yang penuh cakaran dan bercak-bercak darah. Setelah itu, ia melepaskan gadisnya dari pelukan ayahnya, menunjukkan berkas darah di sekitar selangkangan gadis tersebut yang tampak tegas membekas. Mereka meninggalkan tanah airnya hanya dengan baju yang melekat di badannya.”[6]

Sekalipun program reformasi Indonesia sudah berjalan selama sepuluh tahun, namun pengkhianatan pada realitas masyarakat plural Indonesia masih terus terjadi. Baru-baru ini, giliran warga Ahmadiyah mendapatkan perlakuan brutal. Pada 28 April 2008 lalu, ratusan orang tak dikenal membakar sebuah mesjid Jema’at Ahmadiyah di Desa Parakan Salak, Sukabumi, tidak jauh dari kantor kepolisian sektor setempat. Tidak hanya mesjid, massa yang brutal itu pun menghancurkan Sekolah Madrasah Ahmadiyah di lingkungan tersebut. Dua tahun sebelumnya, pada Februari 2006, Jema’at Ahmadiyah di Mataram, NTB, mendapatkan tindak kekerasan: harta mereka dijarah, mereka pun diusir. Sampai makalah ini dibuat, keberadaan Jema’at Ahmadiyah di Indonesia masih berada di ujung tanduk. Padahal Jema’at Ahmadiyah telah berdiri di Indonesia sejak 1925, dan diakui Pemerintah Republik Indonesia sebagai badan hukum.[7]

Aksi-aksi destruktif brutal terhadap etnis Tionghoa pada Tragedi Mei 1998, dan Jema’at Ahmadiyah Indonesia belakangan ini, menunjukkan bahwa realitas masyarakat plural Indonesia sedang berada dalam situasi krisis. Krisis itu mungkin saja terjadi karena rekayasa aktor-aktor politik tertentu.[8] Namun, pada dasarnya krisis itu berkaitan erat dengan persoalan relasi antar-pribadi: antara aku dan pribadi manusia lainnya sebagai ‘sang lain’.

II. RELASI ANTARA AKU DAN SANG LAIN

Girls and boys, come out to play,
The moon doth shine as bright as day;
Leave your supper, and leave your sleep,
And come with your playfellows into the street.
Come with a whoop, come with a call,
Come with a good will or not at all.
Up the ladder and down the wall,
A halfpenny roll will serve us all.
You find milk, and I’ll find flour,
And we'll have a pudding in half an hour.
[9]

2.1. Berjumpa dengan Sang Lain

Saya masih ingat, ketika duduk di sekolah dasar negeri, saya memiliki sahabat-sahabat dari etnis-etnis Sunda, Jawa, Melayu, Batak, dan Tionghoa. Pada kenyataannya, ketika itu secara etnis saya sama sekali tidak menganggap mereka sebagai yang lain dari diri saya. Dalam pandangan saya, mereka adalah orang-orang yang bersama dalam permainan-permainan: sahabat-sahabat sepermainan. Kelainan mereka begitu mencolok di hadapan saya hanya karena tampilan fisik yang berbeda: saya pendek, sedangkan mereka lebih tinggi; dan karena agama yang berbeda: saya Kristen dan kebanyakan mereka adalah Islam. Namun, kelainan-kelainan itu tidak pernah membuat kami berhenti untuk bermain bersama-sama. Barangkali seperti dinyatakan sajak di atas, kami selalu berteriak, “Teman-teman, mari kita bermain!”

Kesadaran bahwa saya berbeda secara etnis dengan sahabat-sahabat muncul belakangan. Itu pun terjadi setelah saya memiliki keinginan yang kuat untuk mengenal sahabat-sahabat saya, setelah melewati masa bermain kanak-kanak. Dari kesadaran akan kelainan-kelainan yang saya jumpai pada sahabat-sahabat, muncullah suatu pengakuan bahwa masyarakat di lingkungan saya itu plural. Dalam kesadaran itu, saya sungguh berjumpa dengan sang lain (the other).
Pada hakikatnya kesadaran tentang incommensurability[10] atau ‘ketakterukuran’ mengawali perjumpaan dengan sang lain. Wajah sahabat tampil sebagai sang lain yang berbeda secara radikal, hingga tak ada tindakan optikal apapun yang sesuai untuk menilai, menghakimi dan menghisabkannya pada diri saya. Maka, kesadaran tentang ketakterukuran membuat saya tidak memasukkan sang lain ke dalam kategori “sang lain yang digeneralisasikan” (the generalizied other), tetapi mengakuinya sebagai “sang lain yang konkret” (the concrete other).[11]

Untuk menghindari bahaya relativisme yang mungkin terjadi akibat pengakuan “sang lain yang konkret”, maka mau tidak mau, kita mesti berusaha untuk merelasikan diri dengan sang lain. Prinsip yang dipegang adalah: hanya jika ketakterukuran diakui dan dihargai, maka relasi – dan dengan demikian komunikasi – bisa berlangsung secara otentik. Di sini kebersamaan yang mau dicapai tidak didasarkan pada kesamaan (the sameness), melainkan pada kelainan (the difference). Kebersamaan intersubjektif ini pada gilirannya membuahkan transformasi bagi semua pihak: aku menjadi tidak sama lagi seperti dulu karena perjumpaanku dengan sang lain; begitu pun sang lain menjadi tidak sama lagi karena perjumpaannya denganku.[12] Sampai di sini, kita menyadari bahwa perjumpaan aku dengan sang lain akan membuahkan transformasi diri hanya jika perjumpaan tersebut berlanjut dalam sebuah persahabatan.

2.2. Bersahabat dengan Sang Lain

Definisi yang sering dikemukakan tentang ‘sahabat’ mengatakan bahwa sahabat adalah “orang yang mengetahui hal yang paling buruk tentang dirimu, namun masih tetap mencintai engkau sebagaimana adanya.” Definisi lain menyatakan bahwa sahabat adalah “orang yang mengetahui segala sesuatu tentang dirimu dan menghendaki agar engkau sendiri pun mengenal dia sepenuhnya, dan dia tidak dapat memahami kepenuhan hidup ini tanpa engkau.”[13] Mestinya definisi yang terakhir ini ditambahkan: “dan engkau pun tak dapat memahami kepenuhan hidup ini tanpa dia.”

Dalam terang paham relasi intersubjektif sebagaimana dipaparkan di atas, maka kita dapat mengartikan persahabatan sebagai suatu bentuk relasi antar-pribadi yang didasarkan pada pengakuan bahwa masing-masing pribadi memiliki kelainan-kelainan. Persahabatan adalah kebersamaan intersubjektif yang pada gilirannya membuahkan transformasi diri masing-masing pribadi yang berelasi secara otentik. Pengertian ‘persahabatan’ ini masih bersifat umum; oleh karena itu dari pengertian ini dapat ditarik tiga jenis persahabatan: (1) persahabatan berdasarkan manfaat (utility), (2) persahabatan berdasarkan kesenangan (pleasure), dan (3) persahabatan berdasarkan kebaikan (good-ness). Namun, dalam pembahasan di sini, persahabatan yang dimaksud adalah jenis yang ketiga. M.E. Doyle dan M.K. Smith menyebut persahabatan jenis ketiga ini sebagai yang sempurna.[14] Maka, dalam persahabatan jenis ketiga, transformasi yang terjadi dalam kebersamaan intersubjektif itu pada gilirannya bermuara pada “kebaikan bersama” (common good). Pada titik ini persahabatan bersentuhan dengan moralitas.[15]

Dalam rangka berteologi, menarik untuk disimak dan dipelajari lebih lanjut, apa yang dinyatakan teologi komparatif mengenai persahabatan. Pada kenyataannya teologi komparatif, yang adalah “pendekatan baru terhadap pluralitas iman”,[16] dapat sungguh bekerja melalui dan dalam semangat persahabatan. James L. Fredericks, seorang teolog komparatif yang tinggal bertahun-tahun di Jepang dan berusaha menjadi seorang ahli dalam ajaran-ajaran dan praksis Buddha, menunjukkan bagaimana teologi komparatif secara wajar mengarah pada teologi dialogis. Paul F. Knitter mengungkapkan:

“Dari pengalamannya [Fredericks] sendiri, ia menggambarkan bagaimana proses melakukan teologi komparatif ini mengarahkan umat Kristiani bukan hanya untuk menghayati lebih dalam berbagai ajaran agama lain, tetapi juga membangun persahabatan dengan umat beragama lain.”[17]

Menurut Knitter, karena persahabatan dan kasih yang muncul dari ranah teologi komparatif, umat Kristiani bersedia merangkul rekan-rekan beragama lain bukan hanya untuk belajar dari mereka, tapi juga berbagi dengan memperkaya mereka.[18] Seandainya rekan-rekan beragama lain itu ingin mendengar tentang kemungkinan perbandingan yang dapat mereka lakukan antara tradisi mereka dan agama Kristiani, ingin belajar dari Yesus dan Injil-Nya, maka rekan Kristiani bersedia membantu dengan proses belajar dan saling berbagi. Karena proses ini berlangsung dalam arena persahabatan, maka bisa dimaklumi jika perselisihan pendapat terjadi. Namun, perselisihan itu tidak akan saling menghancurkan, melainkan justru membina persahabatan. Fredericks menuliskan: “Untuk berteologi secara komparatif, umat Kristiani akan mampu mengembangkan persahabatan abadi dengan sesama umat non-Kristiani sebagai cara bermanfaat untuk berselisih pendapat secara jujur dan mendalam.”[19]

Pada kenyataannya Frederick mengakui bahwa teologi komparatif menghadapi krisis dalam proses bekerjanya. Krisis itu adalah antara menjadi benar-benar terbuka terhadap yang lain dan kesiapan untuk perubahan di satu pihak, dan di lain pihak tetap berpegang pada dan berada dalam agamanya sendiri. Frederick menyatakan:

“Teologi komparatif adalah seorang yang sadar akan krisis pemahaman yang ditimbulkan oleh adanya gangguan kehadiran akan Yang Lain. Ini berarti bahwa teologi komparatif itu bekerja dalam ketegangan yang terjadi karena 1) kerapuhan terhadap kuasa transformatif dari Yang Lain, dan 2) kesetiaan terhadap tradisi Kristiani.”[20]

Seperti dituliskan Knitter, “kerapuhan dan kesetiaan, itulah ketegangan anugerah kehidupan dan hasil kerja dalam teologi komparatif, baik bahagia maupun sedih. Namun bagi umat Kristiani komparatif, ketegangan sedemikian merupakan sesuatu yang harus dan ingin diperoleh. Karena untuk setia kepada Kristus, seseorang harus rapuh terhadap yang lain.”[21] Jika demikian, maka siapakah Kristus di tengah masyarakat plural sekarang ini? Bagian berikut ini berusaha menjawab pertanyaan ini.


III. KRISTOLOGI PERSAHABATAN

What a Friend we have in Jesus
All our sins and griefs to bear!
What a privilege to carry
Everything to God in prayer!
Oh, what peace we often forfeit!
Oh, what needless pain we bear!
All because we do not carry
Everything to God in prayer.

Have we trials and temptations?
Is there trouble anywhere?
We should never be discouraged;
Take it to the Lord in prayer.
Can we find a friend so faithful
Who will all our sorrows share?
Jesus knows our every weakness;
Take it to the Lord in prayer.

Are we weak and heavy-laden,
Cumbered with a load of care?
Precious Saviour, still our refuge
Take it to the Lord in prayer;
Do thy friends despise, forsake thee?
Take it to the Lord in prayer;
In His arms He'll take and shield thee,
Thou wilt find a solace there.[22]

Robert Cummings Neville mengungkapkan bahwa tradisi Kristiani tampaknya tidak memberi tempat yang sangat penting secara liturgis pada simbol “Yesus sebagai sahabat”. Hal itu terjadi karena simbol ini secara umum tidaklah menjadi suatu prinsip yang dapat berlaku untuk suatu ibadah atau komunitas umum. Pada umumnya orang masih memandang persahabatan sebagai urusan privat dan personal, bukan urusan publik atau komunal.[23]

Lebih lanjut Neville memaparkan bahwa persahabatan dengan Yesus dapat tumbuh dan berkembang dalam tiga pengalaman: pengalaman hidup sehari-hari (ordinary living), pengalaman puncak (peak experience), dan pengalaman berada dalam jurang terdalam (visits to the abyss).[24] Neville menerangkan lebih lanjut tentang kaitan antara pengalaman berada dalam jurang terdalam dengan Yesus dan sekaligus Allah.[25] Menurutnya, pada pengalaman pahit seperti kesepian dan penderitaan itu, persahabatan dengan Yesus yang terkoneksi dengan Allah menjadi sangat berarti. Maka, tulis Neville: “Friendship with Jesus is the symbol that allows us to relate to God in friendship.”[26]

Kalau kita menyimak kisah di balik lagu “What a Friend We Have in Jesus” di atas, maka kita akan mendapatkan sedikit gambaran bahwa apa dinyatakan Neville itu mengandung kebenaran. Berikut ini kisah di balik lagu yang sangat akrab di telinga orang-orang Kristiani.[27]

Joseph Medlicott Scriven, demikianlah penulis lagu itu, dilahirkan di Irlandia pada 10 September 1819, dari keluarga yang cukup berada. Scriven mengenyam pendidikan yang baik. Setelah selesai dari universitas pada 1842, ia merencanakan untuk menikah dengan seorang gadis Irlandia yang cantik. Namun, sehari sebelum pernikahan mereka, gadis tunangan Scriven mengalami kecelakaan dan meninggal dunia. Scriven merasa sangat terpukul oleh peristiwa itu. Ketika itu sebenarnya ia juga sedang bergumul dengan persoalan keluarganya yang tidak setuju kalau ia menjadi Kristen. Pada 1844 akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan Irlandia, pergi ke Kanada.

Di Kanada, selama beberapa waktu Scriven menjadi seorang guru. Mula-mula ia mengajar di sekolah umum, kemudian mengajar secara khusus di keluarga anak-anak orang kaya. Tidak lama kemudian ia pun bertunangan dengan salah seorang anggota keluarga kaya itu. Namun, lagi-lagi maut menjemput tunangannya. Pernikahannya yang sudah dipersiapkan dan tinggal beberapa hari lagi akhirnya batal.

Scriven benar-benar mengalami visits to the abyss. Di tengah kepahitan hidup yang dirasakannya itu, ia memutuskan untuk menyingkir dari keramaian. Lalu ia pun tinggal seorang diri dalam sebuah pondok di pinggir danau. Cara hidupnya sangat bersahaja. Uang dan tenaganya ia pakai untuk menolong orang miskin. Ia pun menolong banyak anak yatim piatu. Ia bekerja sebagai tukang kayu sukarela bagi para janda miskin. Masyarakat mengenalnya sebagai penolong orang-orang miskin dan para janda.

Sepuluh tahun setelah Scriven pindah ke Kanada, ibunya di Irlandia sangat sedih dan sakit keras. Scriven tidak bisa pulang ke negeri asalnya untuk menengok ibunya. Ia pun mendapat akal untuk menghibur ibunya. Seorang diri di kamarnya, ia menuliskan sebuah syair tentang Yesus, Sahabat yang sejati bagi orang yang lemah. Satu salinan ia kirimkan kepada ibunya di Irlandia, dan satu lagi ia simpan.

Dari kisah di balik syair lagu Scriven ini, kita melihat bagaimana pengalaman visits to the abyss memaknai relasi antara Scriven, Yesus dan Allah. Pemaknaan itu terungkap dalam tema persahabatan. Bagi Scriven, persahabatannya dengan Yesus dan sekaligus Allah menjadi daya kekuatan yang metransformasi hidupnya. Ia memang mengalami kepahitan hidup, tetapi ia pun berusaha untuk tidak tenggelam dalam kepahitan hidup. Scriven bangkit dan kemudian mewartakan “Yesus sebagai sahabat sejati” kepada orang-orang miskin, anak-anak yatim piatu, para janda miskin, ibunya yang non-Kristiani, dan akhirnya kepada semua orang, melalui perbuatannya yang nyata dan juga syair lagunya. Pada titik itulah persahabatan Scriven dengan Yesus tidak lagi menjadi urusan privat dan personal, melainkan juga urusan publik dan komunal.

Dalam rangka memperluas gambaran “Yesus sebagai sahabat”, yang tampaknya masih dipahami secara sempit (bersifat privat dan personal) oleh orang-orang Kristiani masa kini, maka pada bagian berikut ini saya mau memaparkan hasil pemikiran kembali (rethinking) atas Kristologi tradisional. Dalam hal ini, saya tetap berpijak pada paham wahyu Allah yang tak bisa lepas dari sejarah keselamatan Allah dalam Yesus Kristus. Alasannya, seperti dinyatakan Konstitusi Dogmatis “Dei Verbum” tentang Wahyu Ilahi:

“Dalam kebaikan dan kebijaksanaan-Nya Allah berkenan mewahyukan diri-Nya dan memaklumkan rahasia kehendak-Nya (lih. Ef 1:9); berkat rahasia itu manusia dapat menghadap Bapa melalui Kristus Sabda yang menjadi daging, dalam Roh Kudus, dan ikut serta dalam kodrat ilahi (lih. Ef 2:18; 2Ptr 1:4). Maka dengan wahyu itu Allah yang tidak kelihatan (lih. Kol 1:15; 1Tim 1:17) dari kelimpahan cinta kasih-Nya menyapa manusia sebagai sahabat-sahabat-Nya (lih. Kel 33:11; Yoh 15:14-15), dan bergaul dengan mereka (lih. Bar 3:38), untuk mengundang mereka ke dalam persekutuan dengan diri-Nya dan menyambut mereka di dalamnya. Tata perwahyuan itu terlaksana melalui perbuatan dan perkataan yang amat erat terjalin, sehingga karya, yang dilaksanakan oleh Allah dalam sejarah keselamatan, memperlihatkan dan meneguhkan ajaran serta kenyataan-kenyataan yang diungkapkan dengan kata-kata, sedangkan kata-kata menyiarkan karya-karya dan menerangkan rahasia yang tercantum di dalamnya. Tetapi melalui wahyu itu kebenaran yang sedalam-dalamnya tentang Allah dan keselamatan manusia nampak bagi kita dalam Kristus, yang sekaligus menjadi pengantara dan kepenuhan seluruh wahyu.”[28]

3.1. Sang Mahalain Hadir dalam Rupa yang Lain: Misteri Inkarnasi

Ketika menerangkan paham wahyu dalam bukunya Allah Menggugat: Sebuah Dogmatik Kristiani (Maumere: Ledalero, 2007), Georg Kirchberger membandingkan paham wahyu menurut Konsili Vatikan I (Dei Filius) dan menurut Konsili Vatikan II (Dei Verbum). Menurut Kirchberger, Dei Filius pada dasarnya memandang wahyu itu sebagai proses pengajaran yang dalamnya Allah menyatakan kebenaran-kebenaran yang secara prinsipal tidak dapat diketahui manusia dengan daya akal budinya sendiri. Memang, sebagai isi wahyu, Dei Filius menyebut “Allah sendiri dan keputusan-keputusan-Nya”. Namun, dalam seluruh uraian selanjutnya, Dei Felius menggambarkan wahyu sebagai proses dan sarana untuk mengajarkan “rahasia-rahasia ilahi” (DS 3015; 3016; 3041), “kebenaran terwahyu” (DS 3032), “ajaran iman” (DS 2020) atau “ajaran terwahyu” (DS 3042). Singkat kata, wahyu menurut Konsili Vatikan I berarti: “ajaran dari pihak Allah, dalamnya Allah memperkenalkan kebenaran-kebenaran adikodrati lewat Yesus Kristus dan para rasul yang dijaga dan ditradisikan oleh Gereja.”[29]

Berbeda dengan Vatikan I, Konstitusi Dei Verbum memberikan suatu pengertian tentang wahyu yang lebih personal dan menyeluruh. Dei Verbum tidak mulai dengan pengenalan alamiah akan Allah dan kemudian tambah wahyu adi-alamiah, melainkan dengan pewahyuan diri Allah dan berusaha untuk menggabungkan pengenalan Allah yang alamiah ke dalam pewahyuan historis dengan menggunakan gagasan “penciptaan oleh Sabda”. Maka, Dei Verbum tidak lagi menggambarkan wahyu sebagai pengajaran yang dalamnya Allah menyatakan kebenaran-kebenaran, tetapi sebagai persahabatan yang dalamnya Allah membuka hati-Nya dan membuka kemungkinan agar manusia bisa mengambil bagian dalam kekayaan dan kebahagiaan hidup ilahi.[30]

Dari paham wahyu menurut Dei Verbum sebagaimana dipaparkan Kirchberger tersebut, maka kita bisa memandang misteri inkarnasi Yesus sebagai bukti persahabatan Allah dengan manusia (dan alam) dalam sejarah hidup manusia. Penyebutan “dalam sejarah hidup manusia” ini sangat penting bagi kita karena pada titik itulah wahyu sebagai persahabatan Allah mendapat maknanya yang sedalam-dalamnya.

Ungkapan “dalam sejarah hidup manusia” pada hakikatnya menunjuk pada suatu keterbukaan dan penerimaan Allah secara penuh dan aktif atas hidup manusia (dan alam) yang tentunya lain dari-Nya. Berbeda dengan pantheisme, paham Kristiani memahami Allah Sang Pencipta sebagai yang tidak identik dengan kosmos.[31] Jadi, kalau Allah mau terbuka dan menerima hidup manusia (dan alam) dalam sejarah, atau dengan perkataan lain: mau bersahabat dengan sang lain dalam sejarah, melalui Yesus Kristus yang dilahirkan Maria, maka itu terjadi hanya karena kelimpahan cinta kasih-Nya demi menyelamatkan dunia. Penulis Injil Yohanes menuliskan:

“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia [Yunani: kosmos] ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia.” (Yoh 3:16-17)

Dalam kelimpahan cinta kasih-Nya Allah bersahabat dengan sang lain dalam rupa yang lain. Pada dasarnya “transformasi” Allah itu, yang kita katakan sebagai misteri inkarnasi, merupakan buah dari persahabatan-Nya dengan manusia sejak penciptaan. Tanpa persahabatan antara Allah dan manusia, misteri inkarnasi tak pernah ada. Ini pada gilirannya berkaitan erat dengan rencana penyelamatan Allah. Kita tahu, kelainan baru Allah dalam Yesus Kristus tidak pernah lepas dari rencana penyelamatan-Nya. Justru dengan kelainan baru itu, Allah dalam Yesus Kristus semakin otentik dalam bersahabat dengan manusia, dan dengan demikian semakin efektif melakukan karya penyelamatan-Nya di dunia. Konstitusi Dei Verbum menuliskan:
“Setelah berulang kali dan dengan pelbagai cara Allah bersabda dengan perantaraan para nabi, “akhirnya pada zaman sekarang Ia bersabda kepada kita dalam Putera” (Ibr 1:1-2). Sebab Ia mengutus Putera-Nya, yakni Sabda kekal, yang menyinari semua orang, supaya tinggal di tengah umat manusia dan menceritakan kepada mereka hidup Allah yang terdalam (lih. Yoh 1:1-18).

Maka Yesus Kristus, Sabda yang menjadi daging, diutus sebagai “manusia kepada manusia”, “menyampaikan sabda Allah” (Yoh 3:34), dan menyelesaikan karya penyelamatan, yang diserahkan oleh Bapa kepada-Nya (lih. Yoh 5:36; 17:4).[32]

3.2. Yesus dari Nazaret Bersama Sang Lain: Karya Kristus dan Misteri Paskah

Banyak pakar Kitab Suci modern berusaha mengungkapkan siapa Yesus yang sesungguhnya. Ketika pakar-pakar Kitab Suci menyodorkan kajian mereka tentang Yesus historis (historical Jesus), yakni sejak the First Quest for the historical Jesus berlangsung, maka ketuhanan Yesus pun menjadi perbincangan. Pada masa sekarang ini, perbincangan tentang Yesus, secara khusus tentang ketuhanan-Nya, kian ramai tatkala beberapa sarjana mengeluarkan teori-teori “aneh” mengenai Yesus.[33] Kategori “aneh” ini sebenarnya bisa berasal dari dua perspektif: perspektif para peneliti yang kritis terhadap teori-teori kontemporer yang cenderung populer tentang Yesus, dan perspektif umat Kristiani yang sudah terbiasa (atau mungkin, memakai bahasa Immanuel Kant: tertidur secara dogmatis) dalam memahami Yesus, lalu merasa aneh begitu para sarjana tersebut memaparkan kajian mereka tentang Yesus historis.

Bagaimana pun, setelah mengikuti perkuliahan Kristologi Kontekstual dalam semester genap 2007-2008 ini, kajian tentang Yesus historis tetap dibutuhkan. Kajian semacam ini pada dasarnya dapat memberikan suatu insight untuk ber-Kristologi dalam konteks masyarakat yang nyata. Kajian tentang Yesus historis, misalnya dengan pendekatan continuum – seperti ditawarkan para penulis Jesus from Judaism to Christianity: Continuum Approaches to the Historical Jesus (London & New York: T&T Clark, 2007) – yakni pendekatan yang mau menegaskan bahwa ke-Yahudi-an Yesus sambung (continue) dengan kekristenan perdana, dapat membuat penghayatan dan pengungkapan iman seorang Kristiani menjadi semakin mendalam, meluas dan membumi. Dengan memakai pendekatan continuum ini, seorang Kristiani pada gilirannya akan semakin mengenal siapa Yesus sebagai manusia, dan sekaligus semakin menyadari apa artinya beriman kepada-Nya. Untuk itu, kini marilah kita menengok siapa Yesus sekitar 2000 tahun yang lalu itu dari perspektif tema persahabatan.

Pada dasarnya seluruh hidup Yesus terjalin dalam persahabatan. Sejak kecil Yesus mengalami kebersamaan intersubjektif yang membuahkan transformasi diri masing-masing pribadi yang berelasi secara otentik. Kisah Yesus pada usia dua belas tahun misalnya (lih. Luk 2:41-51) membuktikan hal itu, setidaknya kalau kita memandang relasi Yesus dengan para alim ulama di Bait Allah, atau relasi Yesus dengan orang tuanya, secara khususnya ibu-Nya Maria, sebagai relasi persahabatan. Percakapan Yesus dengan pihak-pihak tersebut adalah percakapan antar-sang lain. Paling jelas kalau kita membaca secara cermat percakapan Yesus dengan ibu-Nya, maka kita menemukan ada sesuatu yang ganjil di sana. Hanya dengan perspektif relasi persahabatanlah kita akhirnya bisa memahami cerita ini.

“Dan ketika orang tua-Nya melihat Dia, tercenganglah mereka, lalu kata ibu-Nya kepada-Nya: ‘Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau.’ Jawab-Nya kepada mereka: ‘Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?’ Tetapi mereka tidak mengerti apa yang dikatakan-Nya kepada mereka. Lalu Ia pulang bersama-sama mereka ke Nazaret; dan Ia tetap hidup dalam asuhan mereka. Dan ibu-Nya menyimpan semua perkara itu di dalam hati-Nya.” (Luk 2:48-51)

Relasi Yesus dengan orang-orang di sekitar-Nya jelas adalah relasi persahabatan yang sejati. Untuk menunjukkan relasi yang demikian tersebut, Yesus pun memanggil murid-murid-Nya, membentuk suatu paguyuban yang hidup dalam kebersamaan intersubjektif (Mrk 3:13-19). Injil Yohanes menuliskan secara jelas, dalam suatu perjamuan makan terakhir, Yesus memberi perintah kepada murid-murid-Nya untuk hidup saling mengasihi: “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.” (Yoh 15:12). Itulah inti misi Kerajaan Allah, sebab “Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih.” (1Yoh 4:18).

Selanjutnya Yesus pun menegaskan bahwa mereka adalah sahabat (philoi)-Nya (Yoh 15:14). Pengertian ‘sahabat’ di sini mesti dipahami dalam terang ayat sebelumnya: “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” (Yoh 15:13). Kesimpulannya, ketika Yesus mengatakan murid-murid-Nya sebagai sahabat-Nya, maka ada dimensi panggilan-perutusan, yakni hidup saling mengasihi dalam relasi persahabatan, dan dimensi kualitas kasih seorang sahabat dalam relasi itu – ditunjukkan dengan kasih “yang memberikan nyawanya” bagi orang lain. Inilah kualitas seorang sahabat yang sejati: ditunjukkan dengan agape, dan bukan sekadar filia.

Pada kenyataannya Yesus menunjukkan sendiri kepada murid-murid-Nya tentang apa yang dikatakan-Nya itu melalui karya pelayanan-Nya di tengah masyarakat Yahudi yang sedang mengalami multi-krisis: krisis sosio-ekonomi (hidup di bawah ketidakadilan sehingga membuat banyak orang menjadi miskin dan terlantar), krisis sosio-politik (hidup di bawah penindasan penguasa Romawi dan antek-anteknya), krisis religius-kultural (hidup di bawah bayang-bayang kemunafikan dan kelaliman para elite keagamaan Yahudi). Bagi Yesus, semua orang yang dijumpai-Nya, secara khusus orang-orang miskin dan tertindas, adalah sahabat-Nya. Relasi intersubjektif Yesus ini seringkali mengundang kritik dari orang-orang Yahudi pada waktu itu (misalnya orang-orang Farisi), bahkan dari orang-orang terdekat-Nya sendiri, yakni para murid-Nya. Namun, Yesus tetap tampil sebagai Sang Lain dan Ia pun menganggap orang-orang di sekitar-Nya sebagai sang lain yang kepada mereka kasih (agape) itu dilimpahkan.

Dalam relasi persahabatan yang sejati, dengan kualitas sahabat yang ber-agape, Yesus menanggung penderitaan hingga kematian-Nya di kayu salib. Di sanalah Yesus bergumul dengan Allah Bapa-Nya. Yesus masuk pada pengalaman berada dalam jurang yang terdalam (visits to the abyss). Dari jurang derita yang paling dalam itu, menggelagarlah suara: “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?”. Inilah jeritan dalam kebersamaan intersubjektif antara Yesus dan Bapa-Nya. Yang jelas pada saat itu Allah Bapa dialami Yesus sebagai Sang Mahalain. Namun, kalimat akhir Yesus di kayu salib: “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku” (Luk 23:46) adalah kalimat penerimaan Yesus akan Sang Mahalain. Pada titik itulah wafat Yesus membuahkan daya kekuatan yang mampu mentransformasi kehidupan. Kebangkitan Yesus membuktikan betapa dahsyat daya kekuatan peristiwa salib. Itulah misteri Paskah, puncak sejarah penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus, yang kemudian diteguhkan oleh Roh Kudus melalui misteri Pentakosta.

PENUTUP

Dalam konteks masyarakat plural Indonesia, dengan segala krisis yang terjadi di dalamnya, maka pertanyaan reflektif penting dapat diajukan untuk kita sebagai para murid Kristus: ketika kita memandang “Yesus sebagai sahabat” – saya meyakini, banyak orang Kristiani memandang-Nya demikian, apa yang menjadi buah dari relasi persahabatan itu? Masihkah gambaran “Yesus sebagai sahabat” bersifat privat dan personal, sehingga cenderung menjadi sentimental?

Paparan di atas [yang barangkali mesti ditata lagi alur pemikirannyaJ] pada intinya hendak menegaskan bahwa persahabatan dengan Yesus mestinya membuahkan daya kekuatan yang mentransformasi kehidupan: kehidupan aku dan juga kehidupan orang yang menjadi sahabatku. Sesungguhnya Yesus memandang sesama-Nya sebagai sang lain yang bersamanya Dia membangun relasi lebih dari sekadar perjumpaan, yakni relasi persahabatan. Dia pun menunjukkan bagaimana menjadi sahabat yang berkualitas, sahabat yang sejati. Tidak lain, kualitas itu ditunjukkan dengan kasih tanpa pamrih, kasih yang siap berbagi hidup: agape, bukan sekadar filia.

Hendri M. Sendjaja


KEPUSTAKAAN

Adiprasetya, Joas. 2002. “Berteologi dalam Perjumpaan dengan Sang Lain,” dalam Jurnal Teologi Proklamasi, No. 2, Tahun 1.

Aditjondro, George J. “Orang-orang Jakarta di balik Tragedi Maluku,” dalam http://www.forums.apakabar.ws/viewtopic.php?t=15833&sid=d7c1c458211a9eae63173a270a38a1d2 (diakses 2 Mei 2008).

Birch, Charles. 1990. “Chance, Purpose, and the Order of Nature,” dalam Liberating Life: Contemporary Approaches to Ecological Theology, eds. Charles Birch, William Eakin, & Jay B. McDaniel. Maryknoll: Orbis Books.

Blum, Lawrence A. 1980. Friendship, Altruism, and Morality (London, Boston and Henley: Routledge & Kegan Paul.

Budi, Hartono. 2003. “Kristologi Belarasa bagi Dialog Profetik di Asia,” dalam Diskursus, Vol. 2, No. 1, April.

Dokumen Konsili Vatikan II, terj. R. Hardawiryana. 1993. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI & Penerbit OBOR.

Doyle, M.E., & Smith, M.K. “Friendship: Theory and Experience,” dalam The Encyclopedia of Informal Education, http://www.infed.org/biblio/friendship.htm (diakses 1 Mei 2008).
Gallagher, Charles A. 1995. Makna Persahabatan: Bagaimana Menghayatinya?. Jakarta: Penerbit OBOR.

Gunadi, Paul. “Song: What a Friend We Have in Jesus,” dalam: http://c3i.sabda.org/artikel/isi/?id=208&mulai=135 (diakses 10 Mei 2008).

Hadiwiyata, A.S. 2008. Tafsir Injil Yohanes. Yogyakarta: Kanisius.

Hardiman. F. Budi Hardiman. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas. Yogyakarta: Kanisius.

Hurtado, Larry W. 2003. Lord Jesus Christ: Devotion to Jesus in Earliest Christianity. Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Co.

_______. 2005. How on Earth Jesus Become a God? Historical Question about Earliest Devotion to Jesus. Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Co.

Kelompok V. “Symbols of Jesus: A Christology of Symbolic Engagement,” (Makalah Seminar Kristologi Kontekstual, Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, 10 Maret, 2008).

Kirchberger, Georg. 2007. Allah Menggugat: Sebuah Dogmatik Kristiani. Maumere: Penerbit Ledalero.

Knitter, Paul F. Knitter. 2008. Pengantar Teologi Agama-agama, terj. Nico A. Likumahuwa. Yogyakarta: Kanisius.

Martasudjita, E. 2002. Persahabatan secara Kristiani. Yogyakarta: Kanisius.

Neville, Robert Cummings. 2001. Symbols of Jesus: A Christology of Symbolic Engagement. Cambridge: Cambridge University.

Prasetyantha, Y.B. 2007. “Teologi Komparatif: Pendekatan Baru terhadap Pluralitas Iman,” dalam Diskursus, Vol. 6, No. 2, Oktober.

Setiono, Benny G. “Apa Kabar Tragedi Mei 1998?,” http://www.suarapembaruan.com%20/News/2004/05/13/Editor/edi01.htm (Diakses 01 Mei, 2008).

Sindhunata. 2006. Kambing Hitam. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Wibowo, Ivan. 2008. “Minoritas Cina, Berhentilah Meratap,” dalam Ivan Wibowo, ed., Cokin? So What Gitu Loh! Pemikiran Tionghoa Muda. Jakarta: Komunitas Bambu.

Zulkarnain, Iskandar. 2005. Gerakan Ahmadiyah di Indonesia. Yogyakarta: LKiS.


CATATAN AKHIR

[1] Robert Cummings Neville, Symbols of Jesus: A Christology of Symbolic Engagement (Cambridge: Cambridge University, 2001), h. 192-223.
[2]Kelompok V, “Symbols of Jesus: A Christology of Symbolic Engagement,” (Makalah Seminar Kristologi Kontekstual, Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, 10 Maret, 2008), h. 5.
[3] Larry W. Hurtado, Lord Jesus Christ: Devotion to Jesus in Earliest Christianity, (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 2003), h. 70-74. Lihat juga uraiannya yang agak panjang tentang ini pada buku Hurtado, How on Earth Jesus Become a God? Historical Question about Earliest Devotion to Jesus (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 2005), h.179-204.
[4] Berdasarkan tulisan seorang pengamat sosial, Benny G. Setiono, “Apa Kabar Tragedi Mei 1998?,” dalam http://www.suarapembaruan.com/News/2004/05/13/Editor/edi01.htm (Diakses 01 Mei, 2008).
[5] Analisis berdasarkan teori Renè Girard tentang fenomena tindakan kekerasan kepada orang-orang etnis Tionghoa di Indonesia, lihat: Sindhunata, Kambing Hitam (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 385-389.
[6] Ivan Wibowo, “Minoritas Cina, Berhentilah Meratap,” dalam Cokin? So What Gitu Loh! Pemikiran Tionghoa Muda (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), h. 17-18.
[7] Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2005), h. 291.
[8] Ivan Wibowo menuliskan: “Tampaknya kerusuhan [Mei 1998] tersebut adalah hasil kerja raksasa dari sebuah elite politik yang mempunyai sumber daya yang luar biasa besar dalam hal dan dan manusia.” Lihat: Wibowo, Op.Cit., h. 19. Analisis lain tentang keterlibatan sejumlah tokoh politik dalam kerusuhan-kerusuhan di Indonesia, secara khusus kerusuhan di Ambon yang menelan lebih dari 9.000 korban jiwa, dikemukakan oleh George J. Aditjondro. Analisis Aditjondro ini berbeda dengan banyak tafsiran yang menunjukkan bahwa kerusuhan itu adalah konflik antar-etnis atau antar-agama. “Orang-orang Jakarta di balik Tragedi Maluku,” http://www.forums.apakabar.ws/viewtopic.php?t=15833&sid=d7c1c458211a9eae63173a270a38a1d2 (diakses 2 Mei 2008).
[9] “Girls and Boys Come Out to Play” adalah sebuah sajak kanak-kanak (nursery rhyme) yang beredar sekitar 1708. Sajak ini muncul sebagai tulisan dalam buku Tommy Thumb’s Pretty Song Book (1744). Berdasarkan: http://en.wikipedia.org/wiki/Girls_and_Boys_Come_Out_To_ Play (diakses 10 Mei 2008).
[10] Istilah ini diperkenalkan oleh Thomas Kuhn, dalam The Structure of Scientific Revolutions. Kuhn membicarakannya dalam konteks paradigma-paradigma yang berkompetensi dalam sains. Richard Rorty dan Alasdair MacIntyre memperluas konsep incommensurability ke konteks kebudayaan dan kemasyarakatan. Lihat: F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas (Yogyakarta: Kanisius, 2003), h. 197-198.
[11] Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community and Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge, 1992), h. 158-170; berdasarkan Joas Adiprasetya, “Berteologi dalam Perjumpaan dengan Sang Lain,” dalam Jurnal Teologi Proklamasi, No. 2, Tahun 1, 2002, h.51.
[12] Adiprasetya, Ibid., h. 52-53.
[13] Charles A. Gallagher, Makna Persahabatan: Bagaimana Menghayatinya?, terj. Dominikus Y. Nahak (Jakarta: Penerbit OBOR, 1995), h. 3.
[14] M.E. Doyle, & M.K. Smith, “Friendship: Theory and Experience,” The Encyclopedia of Informal Education, http://www.infed.org/biblio/friendship.htm (diakses 1 Mei 2008).
[15] Mengenai kaitan antara moralitas dan persahabatan, lihat: Lawrence A. Blum, Friendship, Altruism, and Morality (London, Boston & Henley: Routledge & Kegan Paul, 1980), secara khusus bab III dan bab IV.
[16] Y.B. Prasetyantha menuliskan teologi komparatif ini sebagai “pendekatan baru terhadap pluralitas iman”. Lihat: “Teologi Komparatif: Pendekatan Baru terhadap Pluralitas Iman,” dalam Diskursus, Vol. 6, No. 2, Oktober, 2007, h. 195-208.
[17] Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama, terj. Nico A. Likumahuwa (Yogyakarta: Kanisius, 2008), h. 248.
[18] Ibid.
[19] James L. Fredericks, Faith among Faiths: Christian Theology and Non-Chirstian Religions (New York: Paulist Press, 1999), h. 173-177; sebagaimana: Knitter, Ibid., h. 249.
[20] Sebagaimana Knitter, Ibid., h. 246.
[21] Ibid.
[22] Syair lagu “What a Friend We Have in Jesus” ini ditulis oleh Josep Medlicott Scriven pada 1855. Untuk menyanyikannya, kita hanya memakai notasi lagu yang sudah akrab di telinga anak-anak sekolah Indonesia, yakni lagu “Kulihat Ibu Pertiwi”. Tentu saja, lagu “Kulihat Ibu Pertiwi” hanya merupakan penggantian syair dari lagu Scriven ini.
[23] Neville, Op.Cit., h. 198, 200.
[24] Neville, Op.Cit., h. 212.
[25] Neville, Op.Cit., h. 217-223.
[26] Neville, Op.Cit., h. 223.
[27] Lagu ini dapat ditemukan dalam Kidung Jemaat, No. 453, dengan judul “Yesus Kawan yang Sejati”, lihat: Yamuger, Kidung Jemaat (Jakarta: Yayasan Musik Gereja di Indonesia, 2004). Tentang kisah di balik lagu ini, lihat: Paul Gunadi, “Song: What a Friend We Have in Jesus,” dalam: http://c3i.sabda.org/artikel/isi/?id=208&mulai=135 (diakses 10 Mei 2008).
[28] Konstitusi Dogmatis “Dei Verbum” tentang Wahyu Ilahi, bab satu, pasal 2, dalam Dokumen Konsili Vatikan II, terj. R. Hardawiryana (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI & Penerbit OBOR, 1993), h. 318.
[29] Georg Kirchberger, Allah Menggugat: Sebuah Dogmatik Kristiani (Maumere: Penerbit Ledalero, 2007), h. 26-27.
[30] Ibid., h. 27-28.
[31] Menurut Charles Birch, ada tiga gambaran relasi antara Allah dan kosmos, termasuk manusia, yang mungkin dirujuk untuk doktrin ekologis, yakni: (1) pantheisme: Allah identik dengan kosmos dan berada dalam segala aspek yang tak dapat dipisahkan dari kosmos dan dari semua yang berada (eksis); (2) theisme klasik: Allah tidak identik dengan kosmos dan berada dalam segala aspek yang independen dari kosmos; dan (3) panentheisme: Allah terlibat di dalam kosmos tetapi tidak identik dengan kosmos; Allah itu sekaligus berada di dalam sistem kosmos dan independen dari kosmos. Lihat: Charles Birch, “Chance, Purpose, and the Order of Nature,” dalam Liberating Life: Contemporary Approaches to Ecological Theology, eds. Charles Birch, William Eakin, & Jay B. McDaniel (Maryknoll: Orbis Books, 1990), h. 194.
[32] Konstitusi Dogmatis “Dei Verbum” tentang Wahyu Ilahi, bab satu, pasal 4, dalam Dokumen Konsili Vatikan II.
[33] Lihat diskusi mengenai teori-teori kontemporer tentang sejarah Yesus antara lain dalam: Craig A. Evans, Merekayasa Yesus: Membongkar Pemutarbalikan Injil oleh Ilmuwan Modern (Yogyakarta: ANDI Offset, 2007), dan Ben Witherington III, Apa yang telah Mereka Lakukan pada Yesus? (Jakarta: Gramedia, 2007).