Rabu, 04 Juni 2008

REFLEKSI ATAS EVE AND THE FIRE HORSE

“Kami percaya, tetapi bukan lagi karena apa yang kaukatakan." (Yoh 4:42)


EVE and the Fire Horse adalah judul film yang diproduksi oleh Golden Horse Productions pada tahun 2005. Film berdurasi 92 menit ini mendapatkan banyak penghargaan (± 9 penghargaan) di berbagai festival film internasional, antara lain di: Vancouver International Film Festival (2005), Sundance Film Festival (2006), Leo Awards (2006), BendFilm Festival (2006), dan Genie Awards (2007).

Film yang ditulis dan disutradarai oleh Julia Kwan ini mengisahkan drama kehidupan seorang anak perempuan, usia 9 tahun, bernama Eve Eng (diperankan oleh Phoebe Kut), dan saudarinya, Karena Eng, usia 11 tahun (diperankan oleh Hollie Lo). Eve dan Karena menjalani dunia anak-anak di tengah keluarga mereka yang masih secara kuat memelihara tradisi Cina, di Vancouver, Kanada. Sejak kematian nenek mereka dan hadirnya sebuah buku: Living Together in Heaven on Earth, pemberian dari dua orang penginjil (God’witnesses – Saksi-saksi Jehowa?), di rumah mereka, Eve dan Karena memasuki masa pergumulan untuk memahami “kebenaran”, antara lain tentang kehidupan setelah kematian, di tengah pluralitas paham kepercayaan, termasuk paham tradisional Cina (Konfucianisme), Buddhisme, dan paham Kristiani. Kakak Eve, Karena, memutuskan untuk menjadi seorang Katolik. Ia menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat, sebagaimana disampaikan Kitab Suci, buku-buku kristiani, dan juga suster biarawati (Sr. Agnes, diperankan oleh Wendy Russell). Berbeda dengan kakaknya, Eve yang ber-shio “kuda api” menerima Yesus sebagaimana imajinasi dan kreasinya. Barangkali sesuai dengan karakter shio “kuda api” menurut kepercayaan orang-orang Cina, Eve memang pantang menyerah dan berusaha menjadi diri sendiri. Eve akhirnya berjumpa dengan Yesus yang menari bersama dewa-dewi.

Pada bagian akhir film, Karena berusaha menjadikan Eve sebagaimana pandangan dan keyakinan Kristianinya. Lantas ia membaptis-selam Eve di bath tub, sampai Eve tidak dapat bernafas di dalam air. Tidak tahu secara pasti, apakah Eve masih hidup atau tidak. Yang jelas, adegan akhir film ini menggambarkan pembaptisan Karena di Gereja Katolik. Orangtua Karena menyaksikan peristiwa itu, dan Eve tampak tersenyum kepada kakaknya.

Eve and the Fire Horse adalah kisah tragedi seorang anak manusia (digambarkan melalui tokoh anak perempuan usia 9 tahun, Eve) yang berusaha beriman secara otentik, berangkat dari dunia atau konteksnya sendiri. Ia mau beriman kepada Yesus, bukan sebagaimana disampaikan si pemberita (entah Kitab Suci, buku-buku teologi, guru agama, misionaris, biarawan-biarawati, pendeta, atau pastor), tapi sebagaimana dirinya dan hidupnya. Usahanya itu mendapatkan tantangan cukup hebat dari orang(-orang) yang beriman secara tak-otentik, termasuk di dalamnya, yang beriman secara institusional, doktrinal, dan biblikal!

Untuk sampai kepada keberimanan yang otentik, ada proses mendahuluinya. Proses itu baru bisa berjalan setelah ada pendengaran tentang apa yang diberitakan, misalnya tentang “Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat”. Oleh karena itu, tetaplah perlu untuk mendengarkan Yesus sebagaimana disampaikan si pemberita. Namun, yang jauh lebih perlu untuk pencapaian keberimanan kepada “Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat” secara otentik adalah: menggumuli apa yang telah didengar dari si pemberita tentang Yesus itu di dalam pengalaman hidup sendiri. Demikianlah proses itu bermuara pada jawaban atas pertanyaan Yesus ini: “Apa katamu, siapakah Aku ini?” (Mrk 8:29).

Setelah menyaksikan film karya Julia Kwan ini, saya memandang bahwa kontekstualisasi kristologi pada hakikatnya adalah proses menuju keberimanan kepada Kristus secara otentik dan membumi. Kontekstualisasi kristologi berakhir pada “kristologi kontekstual”, yakni kristologi menurutku dan dalam konteksku, bukan menurut orang lain dan dalam dunia lain. Kristologi kontekstual bersifat “membebaskan”, membuat imajinasi dan kreasi bermakna bagi kehidupan di sini dan saat ini. Untuk sampai kepada kristologi semacam ini, orang mesti berani untuk tidak hanya menerima Kristus sebagaimana diberitakan oleh orang lain, termasuk oleh Kitab Suci dan buku-buku. Orang-orang Samaria dalam kisah Yohanes tampaknya tidak hanya puas percaya kepada Kristus sebagaimana kata perempuan dari sumur itu, melainkan juga mau berjumpa dengan Kristus di dalam pengalaman hidup sendiri (Yoh 4:40).

Orang-orang Samaria itu telah sampai pada kristologi kontekstual; oleh karena itu mereka berkata: “Kami percaya, tetapi bukan lagi karena apa yang kaukatakan, sebab kami sendiri telah mendengar Dia dan kami tahu, bahwa Dialah benar-benar Juruselamat dunia.” (Yoh 4:42)

Hendri M. Sendjaja

Tidak ada komentar: