Rabu, 04 Juni 2008

KRISTOLOGI PERSAHABATAN DALAM KONTEKS MASYARAKAT PLURAL INDONESIA

SELAMA semester genap 2007-2008, perkuliahan Kristologi Kontekstual mengarahkan mahasiswa/i Program Pascasarjana Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma untuk menggali pemahaman dan penghayatan mengenai Yesus Kristus dalam konteks kehidupan masyarakat sekarang ini. Perkuliahan ini memakai metode seminar dengan kelompok-kelompok mahasiswa/i sebagai penyajinya, dan juga metode studi kasus dengan dua pokok diskusi: film Eve and the Fire Horse, dan praktik teologi inkulturasi di Paroki St. Maria Lourdes, Sumber, Muntilan.

Dari sepuluh buku acuan yang dibahas kelompok-kelompok seminar Kristologi Kontekstual, saya tertarik untuk menghayati lebih lanjut buku Robert Cummings Neville, Symbols of Jesus: A Christology of Symbolic Engagement, secara khusus bab keenamnya, yakni tentang “Yesus sebagai Sahabat” (Jesus as Friend).[1] Sebagaimana dipaparkan dalam makalah Kelompok V,[2] titik tolak Neville dalam pembahasan Jesus as Friend adalah pengalaman religius yang dipahaminya sebagai suatu pengalaman relasional antara seorang individu manusia, yang melibatkan perasaan, pikiran dan tindakan, dengan Yang Ilahi. Umat Kristiani memiliki pengalaman relasional itu dalam persahabatan mereka dengan Yesus Kristus. Dengan perkataan lain, persahabatan dengan Kristus, bagi umat Kristiani, merupakan persahabatan dengan Sang Mahalain, Allah sendiri.

Dalam analisis Larry W. Hurtado, pengalaman religius yang bertitik tolak pada pengalaman relasional dengan Kristus memang terjadi pada para pengikut Yesus mula-mula. Pengalaman religius itu pada gilirannya menciptakan sebuah “mutasi” atau bentuk varian monoteisme eksklusif Yahudi, yakni: ‘monoteisme binitarian’. Hurtado menunjukkan bahwa pengalaman religius para pengikut Yesus, secara khusus setelah peristiwa penyaliban Yesus, pada gilirannya membentuk devosi kepada Kristus.[3]

Makalah yang disajikan dalam rangka tugas akhir perkuliahan Kristologi Kontekstual ini hendak menunjukkan suatu Kristologi kontekstual yang bertitik tolak dari pengalaman relasional dengan Yesus Kristus yang diimani sebagai Sang Mahalain (The Wholly Other), dan dengan setiap pribadi manusia yang dijumpai sebagai sang lain (the other). Untuk maksud tersebut, pada bagian awal tulisan ini saya memaparkan konteks ber-Kristologi, yakni masyarakat plural Indonesia. Di sini saya sengaja tidak menyajikan data-data tentang pluralitas masyarakat Indonesia, melainkan mengisahkan kembali krisis yang terjadi dalam masyarakat plural Indonesia. Tujuannya adalah agar konteks masyarakat plural di Indonesia semakin terhayati melalui paparan konkret krisis yang terjadi di dalamnya. Pada bagian berikutnya saya menaruh perhatian pada persoalan relasi antara ‘aku’ dan ‘sang lain’. Akhirnya, saya memaparkan ‘Kristologi Persahabatan’ sebagai sebuah refleksi.

I. MASYARAKAT PLURAL INDONESIA: DALAM KRISIS?

Tanggal 13-15 Mei 2008 ini genap sepuluh tahun terjadinya aksi-aksi anarkis yang merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Ketika itu, sepuluh tahun yang lalu, saya sedang menjalani studi teologi di STT Jakarta. Saya menyaksikan sendiri bagaimana kota Jakarta lumpuh total oleh kerusuhan massal yang destruktif. Di sana sini kepulan asap hitam yang berasal dari pembakaran kendaraan-kendaraan dan toko-toko membumbung tinggi ke langit Jakarta. Situasi benar-benar khaos. Yang saya saksikan pada waktu itu adalah aksi-aksi penjarahan dan pembakaran. Pasar swalayan Hero yang terletak beberapa puluh meter dari kampus kami hancur berantakan karena dijarah. Sekarang ini saya mengetahui, dari data yang saya peroleh, ternyata aksi-aksi anarkis yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya itu telah menghancurkan: 13 pasar, 2.479 ruko, 40 mal, 1.604 toko, 45 bengkel, 387 kantor, 9 SPBU, 8 bis dan puluhan angkutan umum lainnya, 1.119 mobil, 821 sepeda motor, dan 1.026 rumah tinggal.[4]

Sungguh, saya tidak menyadari bahwa pada hari-hari itu berlangsung juga aksi-aksi brutal dan biadab terhadap orang-orang Tionghoa. Padahal saya adalah orang ‘suci’ alias orang Sunda-Cina; jadi masih dapat dikatakan: orang Tionghoa. Mungkin karena bergabung dengan pra mahasiswa/i pro-reformasi, maka saya jadi aman-aman saja. Setelah beberapa hari, saya menyadari, banyak orang Tionghoa di Jakarta dan sekitarnya menjadi korban dalam kekacauan itu. Mereka mengalami tindak kekerasan berupa penganiayaan, pemerkosaan, penjarahan, dan pembunuhan. Tindakan-tindakan destruktif brutal dan biadab itu tentu saja merupakan pengkhianatan pada realitas masyarakat plural Indonesia. Sebagai warga negara yang sah, orang-orang Tionghoa tampaknya masih menjadi kambing hitam yang dikorbankan.[5] Di bawah ini, untuk mengenang dan menyelami kembali tragedi kemanusiaan ini, saya menuliskan catatan Ivan Wibowo pada D&R, 20 Juni 1998:

“Kerusuhan besar melanda Jakarta. 14 mei. Korban begitu besar. Begitu banyak WNI keturunan Cina yang merasa tidak aman di negeri dan tanah airnya sendiri, memilih tempat lebih aman di negeri orang. Di antaranya terdapat sebuah keluarga yang menunggu pesawat terbang di Bandara Soekarno-Hatta, menangis dan berteriak-teriak histeris tanpa henti, “Pribumi biadab!”

Rupanya mereka bertempat tinggal di perumahan mewah Pantai Indah Kapuk. Rumah mereka, beserta seluruh tetangga yang lain, dirampok habis-habisan. Lebih dari itu, ibu dan anak gadis keluarga itu diperkosa ramai-ramai oleh para penjarah. Demikian pengakuan mereka kepada orang yang ada di sekelilingnya. Sang ibu kemudian membuka bajunya untuk memperlihatkan buah dadanya yang penuh cakaran dan bercak-bercak darah. Setelah itu, ia melepaskan gadisnya dari pelukan ayahnya, menunjukkan berkas darah di sekitar selangkangan gadis tersebut yang tampak tegas membekas. Mereka meninggalkan tanah airnya hanya dengan baju yang melekat di badannya.”[6]

Sekalipun program reformasi Indonesia sudah berjalan selama sepuluh tahun, namun pengkhianatan pada realitas masyarakat plural Indonesia masih terus terjadi. Baru-baru ini, giliran warga Ahmadiyah mendapatkan perlakuan brutal. Pada 28 April 2008 lalu, ratusan orang tak dikenal membakar sebuah mesjid Jema’at Ahmadiyah di Desa Parakan Salak, Sukabumi, tidak jauh dari kantor kepolisian sektor setempat. Tidak hanya mesjid, massa yang brutal itu pun menghancurkan Sekolah Madrasah Ahmadiyah di lingkungan tersebut. Dua tahun sebelumnya, pada Februari 2006, Jema’at Ahmadiyah di Mataram, NTB, mendapatkan tindak kekerasan: harta mereka dijarah, mereka pun diusir. Sampai makalah ini dibuat, keberadaan Jema’at Ahmadiyah di Indonesia masih berada di ujung tanduk. Padahal Jema’at Ahmadiyah telah berdiri di Indonesia sejak 1925, dan diakui Pemerintah Republik Indonesia sebagai badan hukum.[7]

Aksi-aksi destruktif brutal terhadap etnis Tionghoa pada Tragedi Mei 1998, dan Jema’at Ahmadiyah Indonesia belakangan ini, menunjukkan bahwa realitas masyarakat plural Indonesia sedang berada dalam situasi krisis. Krisis itu mungkin saja terjadi karena rekayasa aktor-aktor politik tertentu.[8] Namun, pada dasarnya krisis itu berkaitan erat dengan persoalan relasi antar-pribadi: antara aku dan pribadi manusia lainnya sebagai ‘sang lain’.

II. RELASI ANTARA AKU DAN SANG LAIN

Girls and boys, come out to play,
The moon doth shine as bright as day;
Leave your supper, and leave your sleep,
And come with your playfellows into the street.
Come with a whoop, come with a call,
Come with a good will or not at all.
Up the ladder and down the wall,
A halfpenny roll will serve us all.
You find milk, and I’ll find flour,
And we'll have a pudding in half an hour.
[9]

2.1. Berjumpa dengan Sang Lain

Saya masih ingat, ketika duduk di sekolah dasar negeri, saya memiliki sahabat-sahabat dari etnis-etnis Sunda, Jawa, Melayu, Batak, dan Tionghoa. Pada kenyataannya, ketika itu secara etnis saya sama sekali tidak menganggap mereka sebagai yang lain dari diri saya. Dalam pandangan saya, mereka adalah orang-orang yang bersama dalam permainan-permainan: sahabat-sahabat sepermainan. Kelainan mereka begitu mencolok di hadapan saya hanya karena tampilan fisik yang berbeda: saya pendek, sedangkan mereka lebih tinggi; dan karena agama yang berbeda: saya Kristen dan kebanyakan mereka adalah Islam. Namun, kelainan-kelainan itu tidak pernah membuat kami berhenti untuk bermain bersama-sama. Barangkali seperti dinyatakan sajak di atas, kami selalu berteriak, “Teman-teman, mari kita bermain!”

Kesadaran bahwa saya berbeda secara etnis dengan sahabat-sahabat muncul belakangan. Itu pun terjadi setelah saya memiliki keinginan yang kuat untuk mengenal sahabat-sahabat saya, setelah melewati masa bermain kanak-kanak. Dari kesadaran akan kelainan-kelainan yang saya jumpai pada sahabat-sahabat, muncullah suatu pengakuan bahwa masyarakat di lingkungan saya itu plural. Dalam kesadaran itu, saya sungguh berjumpa dengan sang lain (the other).
Pada hakikatnya kesadaran tentang incommensurability[10] atau ‘ketakterukuran’ mengawali perjumpaan dengan sang lain. Wajah sahabat tampil sebagai sang lain yang berbeda secara radikal, hingga tak ada tindakan optikal apapun yang sesuai untuk menilai, menghakimi dan menghisabkannya pada diri saya. Maka, kesadaran tentang ketakterukuran membuat saya tidak memasukkan sang lain ke dalam kategori “sang lain yang digeneralisasikan” (the generalizied other), tetapi mengakuinya sebagai “sang lain yang konkret” (the concrete other).[11]

Untuk menghindari bahaya relativisme yang mungkin terjadi akibat pengakuan “sang lain yang konkret”, maka mau tidak mau, kita mesti berusaha untuk merelasikan diri dengan sang lain. Prinsip yang dipegang adalah: hanya jika ketakterukuran diakui dan dihargai, maka relasi – dan dengan demikian komunikasi – bisa berlangsung secara otentik. Di sini kebersamaan yang mau dicapai tidak didasarkan pada kesamaan (the sameness), melainkan pada kelainan (the difference). Kebersamaan intersubjektif ini pada gilirannya membuahkan transformasi bagi semua pihak: aku menjadi tidak sama lagi seperti dulu karena perjumpaanku dengan sang lain; begitu pun sang lain menjadi tidak sama lagi karena perjumpaannya denganku.[12] Sampai di sini, kita menyadari bahwa perjumpaan aku dengan sang lain akan membuahkan transformasi diri hanya jika perjumpaan tersebut berlanjut dalam sebuah persahabatan.

2.2. Bersahabat dengan Sang Lain

Definisi yang sering dikemukakan tentang ‘sahabat’ mengatakan bahwa sahabat adalah “orang yang mengetahui hal yang paling buruk tentang dirimu, namun masih tetap mencintai engkau sebagaimana adanya.” Definisi lain menyatakan bahwa sahabat adalah “orang yang mengetahui segala sesuatu tentang dirimu dan menghendaki agar engkau sendiri pun mengenal dia sepenuhnya, dan dia tidak dapat memahami kepenuhan hidup ini tanpa engkau.”[13] Mestinya definisi yang terakhir ini ditambahkan: “dan engkau pun tak dapat memahami kepenuhan hidup ini tanpa dia.”

Dalam terang paham relasi intersubjektif sebagaimana dipaparkan di atas, maka kita dapat mengartikan persahabatan sebagai suatu bentuk relasi antar-pribadi yang didasarkan pada pengakuan bahwa masing-masing pribadi memiliki kelainan-kelainan. Persahabatan adalah kebersamaan intersubjektif yang pada gilirannya membuahkan transformasi diri masing-masing pribadi yang berelasi secara otentik. Pengertian ‘persahabatan’ ini masih bersifat umum; oleh karena itu dari pengertian ini dapat ditarik tiga jenis persahabatan: (1) persahabatan berdasarkan manfaat (utility), (2) persahabatan berdasarkan kesenangan (pleasure), dan (3) persahabatan berdasarkan kebaikan (good-ness). Namun, dalam pembahasan di sini, persahabatan yang dimaksud adalah jenis yang ketiga. M.E. Doyle dan M.K. Smith menyebut persahabatan jenis ketiga ini sebagai yang sempurna.[14] Maka, dalam persahabatan jenis ketiga, transformasi yang terjadi dalam kebersamaan intersubjektif itu pada gilirannya bermuara pada “kebaikan bersama” (common good). Pada titik ini persahabatan bersentuhan dengan moralitas.[15]

Dalam rangka berteologi, menarik untuk disimak dan dipelajari lebih lanjut, apa yang dinyatakan teologi komparatif mengenai persahabatan. Pada kenyataannya teologi komparatif, yang adalah “pendekatan baru terhadap pluralitas iman”,[16] dapat sungguh bekerja melalui dan dalam semangat persahabatan. James L. Fredericks, seorang teolog komparatif yang tinggal bertahun-tahun di Jepang dan berusaha menjadi seorang ahli dalam ajaran-ajaran dan praksis Buddha, menunjukkan bagaimana teologi komparatif secara wajar mengarah pada teologi dialogis. Paul F. Knitter mengungkapkan:

“Dari pengalamannya [Fredericks] sendiri, ia menggambarkan bagaimana proses melakukan teologi komparatif ini mengarahkan umat Kristiani bukan hanya untuk menghayati lebih dalam berbagai ajaran agama lain, tetapi juga membangun persahabatan dengan umat beragama lain.”[17]

Menurut Knitter, karena persahabatan dan kasih yang muncul dari ranah teologi komparatif, umat Kristiani bersedia merangkul rekan-rekan beragama lain bukan hanya untuk belajar dari mereka, tapi juga berbagi dengan memperkaya mereka.[18] Seandainya rekan-rekan beragama lain itu ingin mendengar tentang kemungkinan perbandingan yang dapat mereka lakukan antara tradisi mereka dan agama Kristiani, ingin belajar dari Yesus dan Injil-Nya, maka rekan Kristiani bersedia membantu dengan proses belajar dan saling berbagi. Karena proses ini berlangsung dalam arena persahabatan, maka bisa dimaklumi jika perselisihan pendapat terjadi. Namun, perselisihan itu tidak akan saling menghancurkan, melainkan justru membina persahabatan. Fredericks menuliskan: “Untuk berteologi secara komparatif, umat Kristiani akan mampu mengembangkan persahabatan abadi dengan sesama umat non-Kristiani sebagai cara bermanfaat untuk berselisih pendapat secara jujur dan mendalam.”[19]

Pada kenyataannya Frederick mengakui bahwa teologi komparatif menghadapi krisis dalam proses bekerjanya. Krisis itu adalah antara menjadi benar-benar terbuka terhadap yang lain dan kesiapan untuk perubahan di satu pihak, dan di lain pihak tetap berpegang pada dan berada dalam agamanya sendiri. Frederick menyatakan:

“Teologi komparatif adalah seorang yang sadar akan krisis pemahaman yang ditimbulkan oleh adanya gangguan kehadiran akan Yang Lain. Ini berarti bahwa teologi komparatif itu bekerja dalam ketegangan yang terjadi karena 1) kerapuhan terhadap kuasa transformatif dari Yang Lain, dan 2) kesetiaan terhadap tradisi Kristiani.”[20]

Seperti dituliskan Knitter, “kerapuhan dan kesetiaan, itulah ketegangan anugerah kehidupan dan hasil kerja dalam teologi komparatif, baik bahagia maupun sedih. Namun bagi umat Kristiani komparatif, ketegangan sedemikian merupakan sesuatu yang harus dan ingin diperoleh. Karena untuk setia kepada Kristus, seseorang harus rapuh terhadap yang lain.”[21] Jika demikian, maka siapakah Kristus di tengah masyarakat plural sekarang ini? Bagian berikut ini berusaha menjawab pertanyaan ini.


III. KRISTOLOGI PERSAHABATAN

What a Friend we have in Jesus
All our sins and griefs to bear!
What a privilege to carry
Everything to God in prayer!
Oh, what peace we often forfeit!
Oh, what needless pain we bear!
All because we do not carry
Everything to God in prayer.

Have we trials and temptations?
Is there trouble anywhere?
We should never be discouraged;
Take it to the Lord in prayer.
Can we find a friend so faithful
Who will all our sorrows share?
Jesus knows our every weakness;
Take it to the Lord in prayer.

Are we weak and heavy-laden,
Cumbered with a load of care?
Precious Saviour, still our refuge
Take it to the Lord in prayer;
Do thy friends despise, forsake thee?
Take it to the Lord in prayer;
In His arms He'll take and shield thee,
Thou wilt find a solace there.[22]

Robert Cummings Neville mengungkapkan bahwa tradisi Kristiani tampaknya tidak memberi tempat yang sangat penting secara liturgis pada simbol “Yesus sebagai sahabat”. Hal itu terjadi karena simbol ini secara umum tidaklah menjadi suatu prinsip yang dapat berlaku untuk suatu ibadah atau komunitas umum. Pada umumnya orang masih memandang persahabatan sebagai urusan privat dan personal, bukan urusan publik atau komunal.[23]

Lebih lanjut Neville memaparkan bahwa persahabatan dengan Yesus dapat tumbuh dan berkembang dalam tiga pengalaman: pengalaman hidup sehari-hari (ordinary living), pengalaman puncak (peak experience), dan pengalaman berada dalam jurang terdalam (visits to the abyss).[24] Neville menerangkan lebih lanjut tentang kaitan antara pengalaman berada dalam jurang terdalam dengan Yesus dan sekaligus Allah.[25] Menurutnya, pada pengalaman pahit seperti kesepian dan penderitaan itu, persahabatan dengan Yesus yang terkoneksi dengan Allah menjadi sangat berarti. Maka, tulis Neville: “Friendship with Jesus is the symbol that allows us to relate to God in friendship.”[26]

Kalau kita menyimak kisah di balik lagu “What a Friend We Have in Jesus” di atas, maka kita akan mendapatkan sedikit gambaran bahwa apa dinyatakan Neville itu mengandung kebenaran. Berikut ini kisah di balik lagu yang sangat akrab di telinga orang-orang Kristiani.[27]

Joseph Medlicott Scriven, demikianlah penulis lagu itu, dilahirkan di Irlandia pada 10 September 1819, dari keluarga yang cukup berada. Scriven mengenyam pendidikan yang baik. Setelah selesai dari universitas pada 1842, ia merencanakan untuk menikah dengan seorang gadis Irlandia yang cantik. Namun, sehari sebelum pernikahan mereka, gadis tunangan Scriven mengalami kecelakaan dan meninggal dunia. Scriven merasa sangat terpukul oleh peristiwa itu. Ketika itu sebenarnya ia juga sedang bergumul dengan persoalan keluarganya yang tidak setuju kalau ia menjadi Kristen. Pada 1844 akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan Irlandia, pergi ke Kanada.

Di Kanada, selama beberapa waktu Scriven menjadi seorang guru. Mula-mula ia mengajar di sekolah umum, kemudian mengajar secara khusus di keluarga anak-anak orang kaya. Tidak lama kemudian ia pun bertunangan dengan salah seorang anggota keluarga kaya itu. Namun, lagi-lagi maut menjemput tunangannya. Pernikahannya yang sudah dipersiapkan dan tinggal beberapa hari lagi akhirnya batal.

Scriven benar-benar mengalami visits to the abyss. Di tengah kepahitan hidup yang dirasakannya itu, ia memutuskan untuk menyingkir dari keramaian. Lalu ia pun tinggal seorang diri dalam sebuah pondok di pinggir danau. Cara hidupnya sangat bersahaja. Uang dan tenaganya ia pakai untuk menolong orang miskin. Ia pun menolong banyak anak yatim piatu. Ia bekerja sebagai tukang kayu sukarela bagi para janda miskin. Masyarakat mengenalnya sebagai penolong orang-orang miskin dan para janda.

Sepuluh tahun setelah Scriven pindah ke Kanada, ibunya di Irlandia sangat sedih dan sakit keras. Scriven tidak bisa pulang ke negeri asalnya untuk menengok ibunya. Ia pun mendapat akal untuk menghibur ibunya. Seorang diri di kamarnya, ia menuliskan sebuah syair tentang Yesus, Sahabat yang sejati bagi orang yang lemah. Satu salinan ia kirimkan kepada ibunya di Irlandia, dan satu lagi ia simpan.

Dari kisah di balik syair lagu Scriven ini, kita melihat bagaimana pengalaman visits to the abyss memaknai relasi antara Scriven, Yesus dan Allah. Pemaknaan itu terungkap dalam tema persahabatan. Bagi Scriven, persahabatannya dengan Yesus dan sekaligus Allah menjadi daya kekuatan yang metransformasi hidupnya. Ia memang mengalami kepahitan hidup, tetapi ia pun berusaha untuk tidak tenggelam dalam kepahitan hidup. Scriven bangkit dan kemudian mewartakan “Yesus sebagai sahabat sejati” kepada orang-orang miskin, anak-anak yatim piatu, para janda miskin, ibunya yang non-Kristiani, dan akhirnya kepada semua orang, melalui perbuatannya yang nyata dan juga syair lagunya. Pada titik itulah persahabatan Scriven dengan Yesus tidak lagi menjadi urusan privat dan personal, melainkan juga urusan publik dan komunal.

Dalam rangka memperluas gambaran “Yesus sebagai sahabat”, yang tampaknya masih dipahami secara sempit (bersifat privat dan personal) oleh orang-orang Kristiani masa kini, maka pada bagian berikut ini saya mau memaparkan hasil pemikiran kembali (rethinking) atas Kristologi tradisional. Dalam hal ini, saya tetap berpijak pada paham wahyu Allah yang tak bisa lepas dari sejarah keselamatan Allah dalam Yesus Kristus. Alasannya, seperti dinyatakan Konstitusi Dogmatis “Dei Verbum” tentang Wahyu Ilahi:

“Dalam kebaikan dan kebijaksanaan-Nya Allah berkenan mewahyukan diri-Nya dan memaklumkan rahasia kehendak-Nya (lih. Ef 1:9); berkat rahasia itu manusia dapat menghadap Bapa melalui Kristus Sabda yang menjadi daging, dalam Roh Kudus, dan ikut serta dalam kodrat ilahi (lih. Ef 2:18; 2Ptr 1:4). Maka dengan wahyu itu Allah yang tidak kelihatan (lih. Kol 1:15; 1Tim 1:17) dari kelimpahan cinta kasih-Nya menyapa manusia sebagai sahabat-sahabat-Nya (lih. Kel 33:11; Yoh 15:14-15), dan bergaul dengan mereka (lih. Bar 3:38), untuk mengundang mereka ke dalam persekutuan dengan diri-Nya dan menyambut mereka di dalamnya. Tata perwahyuan itu terlaksana melalui perbuatan dan perkataan yang amat erat terjalin, sehingga karya, yang dilaksanakan oleh Allah dalam sejarah keselamatan, memperlihatkan dan meneguhkan ajaran serta kenyataan-kenyataan yang diungkapkan dengan kata-kata, sedangkan kata-kata menyiarkan karya-karya dan menerangkan rahasia yang tercantum di dalamnya. Tetapi melalui wahyu itu kebenaran yang sedalam-dalamnya tentang Allah dan keselamatan manusia nampak bagi kita dalam Kristus, yang sekaligus menjadi pengantara dan kepenuhan seluruh wahyu.”[28]

3.1. Sang Mahalain Hadir dalam Rupa yang Lain: Misteri Inkarnasi

Ketika menerangkan paham wahyu dalam bukunya Allah Menggugat: Sebuah Dogmatik Kristiani (Maumere: Ledalero, 2007), Georg Kirchberger membandingkan paham wahyu menurut Konsili Vatikan I (Dei Filius) dan menurut Konsili Vatikan II (Dei Verbum). Menurut Kirchberger, Dei Filius pada dasarnya memandang wahyu itu sebagai proses pengajaran yang dalamnya Allah menyatakan kebenaran-kebenaran yang secara prinsipal tidak dapat diketahui manusia dengan daya akal budinya sendiri. Memang, sebagai isi wahyu, Dei Filius menyebut “Allah sendiri dan keputusan-keputusan-Nya”. Namun, dalam seluruh uraian selanjutnya, Dei Felius menggambarkan wahyu sebagai proses dan sarana untuk mengajarkan “rahasia-rahasia ilahi” (DS 3015; 3016; 3041), “kebenaran terwahyu” (DS 3032), “ajaran iman” (DS 2020) atau “ajaran terwahyu” (DS 3042). Singkat kata, wahyu menurut Konsili Vatikan I berarti: “ajaran dari pihak Allah, dalamnya Allah memperkenalkan kebenaran-kebenaran adikodrati lewat Yesus Kristus dan para rasul yang dijaga dan ditradisikan oleh Gereja.”[29]

Berbeda dengan Vatikan I, Konstitusi Dei Verbum memberikan suatu pengertian tentang wahyu yang lebih personal dan menyeluruh. Dei Verbum tidak mulai dengan pengenalan alamiah akan Allah dan kemudian tambah wahyu adi-alamiah, melainkan dengan pewahyuan diri Allah dan berusaha untuk menggabungkan pengenalan Allah yang alamiah ke dalam pewahyuan historis dengan menggunakan gagasan “penciptaan oleh Sabda”. Maka, Dei Verbum tidak lagi menggambarkan wahyu sebagai pengajaran yang dalamnya Allah menyatakan kebenaran-kebenaran, tetapi sebagai persahabatan yang dalamnya Allah membuka hati-Nya dan membuka kemungkinan agar manusia bisa mengambil bagian dalam kekayaan dan kebahagiaan hidup ilahi.[30]

Dari paham wahyu menurut Dei Verbum sebagaimana dipaparkan Kirchberger tersebut, maka kita bisa memandang misteri inkarnasi Yesus sebagai bukti persahabatan Allah dengan manusia (dan alam) dalam sejarah hidup manusia. Penyebutan “dalam sejarah hidup manusia” ini sangat penting bagi kita karena pada titik itulah wahyu sebagai persahabatan Allah mendapat maknanya yang sedalam-dalamnya.

Ungkapan “dalam sejarah hidup manusia” pada hakikatnya menunjuk pada suatu keterbukaan dan penerimaan Allah secara penuh dan aktif atas hidup manusia (dan alam) yang tentunya lain dari-Nya. Berbeda dengan pantheisme, paham Kristiani memahami Allah Sang Pencipta sebagai yang tidak identik dengan kosmos.[31] Jadi, kalau Allah mau terbuka dan menerima hidup manusia (dan alam) dalam sejarah, atau dengan perkataan lain: mau bersahabat dengan sang lain dalam sejarah, melalui Yesus Kristus yang dilahirkan Maria, maka itu terjadi hanya karena kelimpahan cinta kasih-Nya demi menyelamatkan dunia. Penulis Injil Yohanes menuliskan:

“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia [Yunani: kosmos] ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia.” (Yoh 3:16-17)

Dalam kelimpahan cinta kasih-Nya Allah bersahabat dengan sang lain dalam rupa yang lain. Pada dasarnya “transformasi” Allah itu, yang kita katakan sebagai misteri inkarnasi, merupakan buah dari persahabatan-Nya dengan manusia sejak penciptaan. Tanpa persahabatan antara Allah dan manusia, misteri inkarnasi tak pernah ada. Ini pada gilirannya berkaitan erat dengan rencana penyelamatan Allah. Kita tahu, kelainan baru Allah dalam Yesus Kristus tidak pernah lepas dari rencana penyelamatan-Nya. Justru dengan kelainan baru itu, Allah dalam Yesus Kristus semakin otentik dalam bersahabat dengan manusia, dan dengan demikian semakin efektif melakukan karya penyelamatan-Nya di dunia. Konstitusi Dei Verbum menuliskan:
“Setelah berulang kali dan dengan pelbagai cara Allah bersabda dengan perantaraan para nabi, “akhirnya pada zaman sekarang Ia bersabda kepada kita dalam Putera” (Ibr 1:1-2). Sebab Ia mengutus Putera-Nya, yakni Sabda kekal, yang menyinari semua orang, supaya tinggal di tengah umat manusia dan menceritakan kepada mereka hidup Allah yang terdalam (lih. Yoh 1:1-18).

Maka Yesus Kristus, Sabda yang menjadi daging, diutus sebagai “manusia kepada manusia”, “menyampaikan sabda Allah” (Yoh 3:34), dan menyelesaikan karya penyelamatan, yang diserahkan oleh Bapa kepada-Nya (lih. Yoh 5:36; 17:4).[32]

3.2. Yesus dari Nazaret Bersama Sang Lain: Karya Kristus dan Misteri Paskah

Banyak pakar Kitab Suci modern berusaha mengungkapkan siapa Yesus yang sesungguhnya. Ketika pakar-pakar Kitab Suci menyodorkan kajian mereka tentang Yesus historis (historical Jesus), yakni sejak the First Quest for the historical Jesus berlangsung, maka ketuhanan Yesus pun menjadi perbincangan. Pada masa sekarang ini, perbincangan tentang Yesus, secara khusus tentang ketuhanan-Nya, kian ramai tatkala beberapa sarjana mengeluarkan teori-teori “aneh” mengenai Yesus.[33] Kategori “aneh” ini sebenarnya bisa berasal dari dua perspektif: perspektif para peneliti yang kritis terhadap teori-teori kontemporer yang cenderung populer tentang Yesus, dan perspektif umat Kristiani yang sudah terbiasa (atau mungkin, memakai bahasa Immanuel Kant: tertidur secara dogmatis) dalam memahami Yesus, lalu merasa aneh begitu para sarjana tersebut memaparkan kajian mereka tentang Yesus historis.

Bagaimana pun, setelah mengikuti perkuliahan Kristologi Kontekstual dalam semester genap 2007-2008 ini, kajian tentang Yesus historis tetap dibutuhkan. Kajian semacam ini pada dasarnya dapat memberikan suatu insight untuk ber-Kristologi dalam konteks masyarakat yang nyata. Kajian tentang Yesus historis, misalnya dengan pendekatan continuum – seperti ditawarkan para penulis Jesus from Judaism to Christianity: Continuum Approaches to the Historical Jesus (London & New York: T&T Clark, 2007) – yakni pendekatan yang mau menegaskan bahwa ke-Yahudi-an Yesus sambung (continue) dengan kekristenan perdana, dapat membuat penghayatan dan pengungkapan iman seorang Kristiani menjadi semakin mendalam, meluas dan membumi. Dengan memakai pendekatan continuum ini, seorang Kristiani pada gilirannya akan semakin mengenal siapa Yesus sebagai manusia, dan sekaligus semakin menyadari apa artinya beriman kepada-Nya. Untuk itu, kini marilah kita menengok siapa Yesus sekitar 2000 tahun yang lalu itu dari perspektif tema persahabatan.

Pada dasarnya seluruh hidup Yesus terjalin dalam persahabatan. Sejak kecil Yesus mengalami kebersamaan intersubjektif yang membuahkan transformasi diri masing-masing pribadi yang berelasi secara otentik. Kisah Yesus pada usia dua belas tahun misalnya (lih. Luk 2:41-51) membuktikan hal itu, setidaknya kalau kita memandang relasi Yesus dengan para alim ulama di Bait Allah, atau relasi Yesus dengan orang tuanya, secara khususnya ibu-Nya Maria, sebagai relasi persahabatan. Percakapan Yesus dengan pihak-pihak tersebut adalah percakapan antar-sang lain. Paling jelas kalau kita membaca secara cermat percakapan Yesus dengan ibu-Nya, maka kita menemukan ada sesuatu yang ganjil di sana. Hanya dengan perspektif relasi persahabatanlah kita akhirnya bisa memahami cerita ini.

“Dan ketika orang tua-Nya melihat Dia, tercenganglah mereka, lalu kata ibu-Nya kepada-Nya: ‘Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau.’ Jawab-Nya kepada mereka: ‘Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?’ Tetapi mereka tidak mengerti apa yang dikatakan-Nya kepada mereka. Lalu Ia pulang bersama-sama mereka ke Nazaret; dan Ia tetap hidup dalam asuhan mereka. Dan ibu-Nya menyimpan semua perkara itu di dalam hati-Nya.” (Luk 2:48-51)

Relasi Yesus dengan orang-orang di sekitar-Nya jelas adalah relasi persahabatan yang sejati. Untuk menunjukkan relasi yang demikian tersebut, Yesus pun memanggil murid-murid-Nya, membentuk suatu paguyuban yang hidup dalam kebersamaan intersubjektif (Mrk 3:13-19). Injil Yohanes menuliskan secara jelas, dalam suatu perjamuan makan terakhir, Yesus memberi perintah kepada murid-murid-Nya untuk hidup saling mengasihi: “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.” (Yoh 15:12). Itulah inti misi Kerajaan Allah, sebab “Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih.” (1Yoh 4:18).

Selanjutnya Yesus pun menegaskan bahwa mereka adalah sahabat (philoi)-Nya (Yoh 15:14). Pengertian ‘sahabat’ di sini mesti dipahami dalam terang ayat sebelumnya: “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” (Yoh 15:13). Kesimpulannya, ketika Yesus mengatakan murid-murid-Nya sebagai sahabat-Nya, maka ada dimensi panggilan-perutusan, yakni hidup saling mengasihi dalam relasi persahabatan, dan dimensi kualitas kasih seorang sahabat dalam relasi itu – ditunjukkan dengan kasih “yang memberikan nyawanya” bagi orang lain. Inilah kualitas seorang sahabat yang sejati: ditunjukkan dengan agape, dan bukan sekadar filia.

Pada kenyataannya Yesus menunjukkan sendiri kepada murid-murid-Nya tentang apa yang dikatakan-Nya itu melalui karya pelayanan-Nya di tengah masyarakat Yahudi yang sedang mengalami multi-krisis: krisis sosio-ekonomi (hidup di bawah ketidakadilan sehingga membuat banyak orang menjadi miskin dan terlantar), krisis sosio-politik (hidup di bawah penindasan penguasa Romawi dan antek-anteknya), krisis religius-kultural (hidup di bawah bayang-bayang kemunafikan dan kelaliman para elite keagamaan Yahudi). Bagi Yesus, semua orang yang dijumpai-Nya, secara khusus orang-orang miskin dan tertindas, adalah sahabat-Nya. Relasi intersubjektif Yesus ini seringkali mengundang kritik dari orang-orang Yahudi pada waktu itu (misalnya orang-orang Farisi), bahkan dari orang-orang terdekat-Nya sendiri, yakni para murid-Nya. Namun, Yesus tetap tampil sebagai Sang Lain dan Ia pun menganggap orang-orang di sekitar-Nya sebagai sang lain yang kepada mereka kasih (agape) itu dilimpahkan.

Dalam relasi persahabatan yang sejati, dengan kualitas sahabat yang ber-agape, Yesus menanggung penderitaan hingga kematian-Nya di kayu salib. Di sanalah Yesus bergumul dengan Allah Bapa-Nya. Yesus masuk pada pengalaman berada dalam jurang yang terdalam (visits to the abyss). Dari jurang derita yang paling dalam itu, menggelagarlah suara: “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?”. Inilah jeritan dalam kebersamaan intersubjektif antara Yesus dan Bapa-Nya. Yang jelas pada saat itu Allah Bapa dialami Yesus sebagai Sang Mahalain. Namun, kalimat akhir Yesus di kayu salib: “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku” (Luk 23:46) adalah kalimat penerimaan Yesus akan Sang Mahalain. Pada titik itulah wafat Yesus membuahkan daya kekuatan yang mampu mentransformasi kehidupan. Kebangkitan Yesus membuktikan betapa dahsyat daya kekuatan peristiwa salib. Itulah misteri Paskah, puncak sejarah penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus, yang kemudian diteguhkan oleh Roh Kudus melalui misteri Pentakosta.

PENUTUP

Dalam konteks masyarakat plural Indonesia, dengan segala krisis yang terjadi di dalamnya, maka pertanyaan reflektif penting dapat diajukan untuk kita sebagai para murid Kristus: ketika kita memandang “Yesus sebagai sahabat” – saya meyakini, banyak orang Kristiani memandang-Nya demikian, apa yang menjadi buah dari relasi persahabatan itu? Masihkah gambaran “Yesus sebagai sahabat” bersifat privat dan personal, sehingga cenderung menjadi sentimental?

Paparan di atas [yang barangkali mesti ditata lagi alur pemikirannyaJ] pada intinya hendak menegaskan bahwa persahabatan dengan Yesus mestinya membuahkan daya kekuatan yang mentransformasi kehidupan: kehidupan aku dan juga kehidupan orang yang menjadi sahabatku. Sesungguhnya Yesus memandang sesama-Nya sebagai sang lain yang bersamanya Dia membangun relasi lebih dari sekadar perjumpaan, yakni relasi persahabatan. Dia pun menunjukkan bagaimana menjadi sahabat yang berkualitas, sahabat yang sejati. Tidak lain, kualitas itu ditunjukkan dengan kasih tanpa pamrih, kasih yang siap berbagi hidup: agape, bukan sekadar filia.

Hendri M. Sendjaja


KEPUSTAKAAN

Adiprasetya, Joas. 2002. “Berteologi dalam Perjumpaan dengan Sang Lain,” dalam Jurnal Teologi Proklamasi, No. 2, Tahun 1.

Aditjondro, George J. “Orang-orang Jakarta di balik Tragedi Maluku,” dalam http://www.forums.apakabar.ws/viewtopic.php?t=15833&sid=d7c1c458211a9eae63173a270a38a1d2 (diakses 2 Mei 2008).

Birch, Charles. 1990. “Chance, Purpose, and the Order of Nature,” dalam Liberating Life: Contemporary Approaches to Ecological Theology, eds. Charles Birch, William Eakin, & Jay B. McDaniel. Maryknoll: Orbis Books.

Blum, Lawrence A. 1980. Friendship, Altruism, and Morality (London, Boston and Henley: Routledge & Kegan Paul.

Budi, Hartono. 2003. “Kristologi Belarasa bagi Dialog Profetik di Asia,” dalam Diskursus, Vol. 2, No. 1, April.

Dokumen Konsili Vatikan II, terj. R. Hardawiryana. 1993. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI & Penerbit OBOR.

Doyle, M.E., & Smith, M.K. “Friendship: Theory and Experience,” dalam The Encyclopedia of Informal Education, http://www.infed.org/biblio/friendship.htm (diakses 1 Mei 2008).
Gallagher, Charles A. 1995. Makna Persahabatan: Bagaimana Menghayatinya?. Jakarta: Penerbit OBOR.

Gunadi, Paul. “Song: What a Friend We Have in Jesus,” dalam: http://c3i.sabda.org/artikel/isi/?id=208&mulai=135 (diakses 10 Mei 2008).

Hadiwiyata, A.S. 2008. Tafsir Injil Yohanes. Yogyakarta: Kanisius.

Hardiman. F. Budi Hardiman. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas. Yogyakarta: Kanisius.

Hurtado, Larry W. 2003. Lord Jesus Christ: Devotion to Jesus in Earliest Christianity. Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Co.

_______. 2005. How on Earth Jesus Become a God? Historical Question about Earliest Devotion to Jesus. Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Co.

Kelompok V. “Symbols of Jesus: A Christology of Symbolic Engagement,” (Makalah Seminar Kristologi Kontekstual, Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, 10 Maret, 2008).

Kirchberger, Georg. 2007. Allah Menggugat: Sebuah Dogmatik Kristiani. Maumere: Penerbit Ledalero.

Knitter, Paul F. Knitter. 2008. Pengantar Teologi Agama-agama, terj. Nico A. Likumahuwa. Yogyakarta: Kanisius.

Martasudjita, E. 2002. Persahabatan secara Kristiani. Yogyakarta: Kanisius.

Neville, Robert Cummings. 2001. Symbols of Jesus: A Christology of Symbolic Engagement. Cambridge: Cambridge University.

Prasetyantha, Y.B. 2007. “Teologi Komparatif: Pendekatan Baru terhadap Pluralitas Iman,” dalam Diskursus, Vol. 6, No. 2, Oktober.

Setiono, Benny G. “Apa Kabar Tragedi Mei 1998?,” http://www.suarapembaruan.com%20/News/2004/05/13/Editor/edi01.htm (Diakses 01 Mei, 2008).

Sindhunata. 2006. Kambing Hitam. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Wibowo, Ivan. 2008. “Minoritas Cina, Berhentilah Meratap,” dalam Ivan Wibowo, ed., Cokin? So What Gitu Loh! Pemikiran Tionghoa Muda. Jakarta: Komunitas Bambu.

Zulkarnain, Iskandar. 2005. Gerakan Ahmadiyah di Indonesia. Yogyakarta: LKiS.


CATATAN AKHIR

[1] Robert Cummings Neville, Symbols of Jesus: A Christology of Symbolic Engagement (Cambridge: Cambridge University, 2001), h. 192-223.
[2]Kelompok V, “Symbols of Jesus: A Christology of Symbolic Engagement,” (Makalah Seminar Kristologi Kontekstual, Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, 10 Maret, 2008), h. 5.
[3] Larry W. Hurtado, Lord Jesus Christ: Devotion to Jesus in Earliest Christianity, (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 2003), h. 70-74. Lihat juga uraiannya yang agak panjang tentang ini pada buku Hurtado, How on Earth Jesus Become a God? Historical Question about Earliest Devotion to Jesus (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 2005), h.179-204.
[4] Berdasarkan tulisan seorang pengamat sosial, Benny G. Setiono, “Apa Kabar Tragedi Mei 1998?,” dalam http://www.suarapembaruan.com/News/2004/05/13/Editor/edi01.htm (Diakses 01 Mei, 2008).
[5] Analisis berdasarkan teori Renè Girard tentang fenomena tindakan kekerasan kepada orang-orang etnis Tionghoa di Indonesia, lihat: Sindhunata, Kambing Hitam (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 385-389.
[6] Ivan Wibowo, “Minoritas Cina, Berhentilah Meratap,” dalam Cokin? So What Gitu Loh! Pemikiran Tionghoa Muda (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), h. 17-18.
[7] Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2005), h. 291.
[8] Ivan Wibowo menuliskan: “Tampaknya kerusuhan [Mei 1998] tersebut adalah hasil kerja raksasa dari sebuah elite politik yang mempunyai sumber daya yang luar biasa besar dalam hal dan dan manusia.” Lihat: Wibowo, Op.Cit., h. 19. Analisis lain tentang keterlibatan sejumlah tokoh politik dalam kerusuhan-kerusuhan di Indonesia, secara khusus kerusuhan di Ambon yang menelan lebih dari 9.000 korban jiwa, dikemukakan oleh George J. Aditjondro. Analisis Aditjondro ini berbeda dengan banyak tafsiran yang menunjukkan bahwa kerusuhan itu adalah konflik antar-etnis atau antar-agama. “Orang-orang Jakarta di balik Tragedi Maluku,” http://www.forums.apakabar.ws/viewtopic.php?t=15833&sid=d7c1c458211a9eae63173a270a38a1d2 (diakses 2 Mei 2008).
[9] “Girls and Boys Come Out to Play” adalah sebuah sajak kanak-kanak (nursery rhyme) yang beredar sekitar 1708. Sajak ini muncul sebagai tulisan dalam buku Tommy Thumb’s Pretty Song Book (1744). Berdasarkan: http://en.wikipedia.org/wiki/Girls_and_Boys_Come_Out_To_ Play (diakses 10 Mei 2008).
[10] Istilah ini diperkenalkan oleh Thomas Kuhn, dalam The Structure of Scientific Revolutions. Kuhn membicarakannya dalam konteks paradigma-paradigma yang berkompetensi dalam sains. Richard Rorty dan Alasdair MacIntyre memperluas konsep incommensurability ke konteks kebudayaan dan kemasyarakatan. Lihat: F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas (Yogyakarta: Kanisius, 2003), h. 197-198.
[11] Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community and Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge, 1992), h. 158-170; berdasarkan Joas Adiprasetya, “Berteologi dalam Perjumpaan dengan Sang Lain,” dalam Jurnal Teologi Proklamasi, No. 2, Tahun 1, 2002, h.51.
[12] Adiprasetya, Ibid., h. 52-53.
[13] Charles A. Gallagher, Makna Persahabatan: Bagaimana Menghayatinya?, terj. Dominikus Y. Nahak (Jakarta: Penerbit OBOR, 1995), h. 3.
[14] M.E. Doyle, & M.K. Smith, “Friendship: Theory and Experience,” The Encyclopedia of Informal Education, http://www.infed.org/biblio/friendship.htm (diakses 1 Mei 2008).
[15] Mengenai kaitan antara moralitas dan persahabatan, lihat: Lawrence A. Blum, Friendship, Altruism, and Morality (London, Boston & Henley: Routledge & Kegan Paul, 1980), secara khusus bab III dan bab IV.
[16] Y.B. Prasetyantha menuliskan teologi komparatif ini sebagai “pendekatan baru terhadap pluralitas iman”. Lihat: “Teologi Komparatif: Pendekatan Baru terhadap Pluralitas Iman,” dalam Diskursus, Vol. 6, No. 2, Oktober, 2007, h. 195-208.
[17] Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama, terj. Nico A. Likumahuwa (Yogyakarta: Kanisius, 2008), h. 248.
[18] Ibid.
[19] James L. Fredericks, Faith among Faiths: Christian Theology and Non-Chirstian Religions (New York: Paulist Press, 1999), h. 173-177; sebagaimana: Knitter, Ibid., h. 249.
[20] Sebagaimana Knitter, Ibid., h. 246.
[21] Ibid.
[22] Syair lagu “What a Friend We Have in Jesus” ini ditulis oleh Josep Medlicott Scriven pada 1855. Untuk menyanyikannya, kita hanya memakai notasi lagu yang sudah akrab di telinga anak-anak sekolah Indonesia, yakni lagu “Kulihat Ibu Pertiwi”. Tentu saja, lagu “Kulihat Ibu Pertiwi” hanya merupakan penggantian syair dari lagu Scriven ini.
[23] Neville, Op.Cit., h. 198, 200.
[24] Neville, Op.Cit., h. 212.
[25] Neville, Op.Cit., h. 217-223.
[26] Neville, Op.Cit., h. 223.
[27] Lagu ini dapat ditemukan dalam Kidung Jemaat, No. 453, dengan judul “Yesus Kawan yang Sejati”, lihat: Yamuger, Kidung Jemaat (Jakarta: Yayasan Musik Gereja di Indonesia, 2004). Tentang kisah di balik lagu ini, lihat: Paul Gunadi, “Song: What a Friend We Have in Jesus,” dalam: http://c3i.sabda.org/artikel/isi/?id=208&mulai=135 (diakses 10 Mei 2008).
[28] Konstitusi Dogmatis “Dei Verbum” tentang Wahyu Ilahi, bab satu, pasal 2, dalam Dokumen Konsili Vatikan II, terj. R. Hardawiryana (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI & Penerbit OBOR, 1993), h. 318.
[29] Georg Kirchberger, Allah Menggugat: Sebuah Dogmatik Kristiani (Maumere: Penerbit Ledalero, 2007), h. 26-27.
[30] Ibid., h. 27-28.
[31] Menurut Charles Birch, ada tiga gambaran relasi antara Allah dan kosmos, termasuk manusia, yang mungkin dirujuk untuk doktrin ekologis, yakni: (1) pantheisme: Allah identik dengan kosmos dan berada dalam segala aspek yang tak dapat dipisahkan dari kosmos dan dari semua yang berada (eksis); (2) theisme klasik: Allah tidak identik dengan kosmos dan berada dalam segala aspek yang independen dari kosmos; dan (3) panentheisme: Allah terlibat di dalam kosmos tetapi tidak identik dengan kosmos; Allah itu sekaligus berada di dalam sistem kosmos dan independen dari kosmos. Lihat: Charles Birch, “Chance, Purpose, and the Order of Nature,” dalam Liberating Life: Contemporary Approaches to Ecological Theology, eds. Charles Birch, William Eakin, & Jay B. McDaniel (Maryknoll: Orbis Books, 1990), h. 194.
[32] Konstitusi Dogmatis “Dei Verbum” tentang Wahyu Ilahi, bab satu, pasal 4, dalam Dokumen Konsili Vatikan II.
[33] Lihat diskusi mengenai teori-teori kontemporer tentang sejarah Yesus antara lain dalam: Craig A. Evans, Merekayasa Yesus: Membongkar Pemutarbalikan Injil oleh Ilmuwan Modern (Yogyakarta: ANDI Offset, 2007), dan Ben Witherington III, Apa yang telah Mereka Lakukan pada Yesus? (Jakarta: Gramedia, 2007).

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Dalam pembahasan ttg Alkitab selalu saja mempertentangkana antara Alkitab Protestan dan Alkitab Katolik. Padahal banyak sekali kanon alkitab, misalnya saja kanon dari gereja Ortodox Ethiopia yang 81 kitab. Apakah teolog cenderung menganggap mereka yang menggunakan kanon diluar kedua kanon yang umum tsb tidak Kristen ?